UKURAN BRA LU BERAPA GIT?

2.1K 6 0
                                    

Seerror-errornya majikannya tadi memperlakukannya, Gita tetap senang dengan tawaran untuk melanjutkan kuliah tersebut. Ah, padahal rencananya dia akan mulai duduk di bangku universitas itu lima tahun setelah bekerja setelah uangnya terkumpul, tapi dengan kebaikan Jevi rencana itu bisa maju dibanding perkiraan sebelumnya.

"Bu, Gita akhirnya bisa masuk kuliah berkat bantuan dia, benar kata Ibu, ternyata Om Jevi ada baik-baiknya karena ibu lah yang merawatnya dari balita sampai remaja."

Gita peluk figura kecil yang berisi foto Ibunya tersebut. Ingin rasanya dia memberitahukan secara langsung tepat di depan makam orang yang melahirkannya itu. Tapi apa daya, karena jauhnya perjalanan yang harus ditempuh dan keterbatasan waktu, dia urungkan niatnya. Rencananya lebaran tiga bulan lagi dia akan ke situ sekalian menjenguk adiknya, Amri dan Cika, yang sekarang tinggal bersama neneknya yang sudah sepuh. Sekaligus melarung bunga ke laut, karena laut telah dia anggap sebagai tempat di mana roh Ayahnya abadi bersemayam dalam dekapan yang kuasa. Sutrisno dinyatakan hilang setelah 12 hari pencarian setelah kapal nelayannya kena badai besar yang menghantam samudera di siang bolong cerah yang tiba-tiba berubah perangai, sejak saat itu laki-laki itu tak pernah pulang lagi bahkan ketika Cika dilahirkan di dunia. Sepuluh tahun yang lalu tepatnya, dan dukun-dukun yang bisa melihat batas antar dimensi menvonis jika laki-laki itu sudah meninggal meski jasadnya tak pernah ditemukan.

Menyedihkan memang, dan diperburuk oleh keadaan keluarga Basagita yang secara ekonomi sudah tak stabil dari awal. Ibunya dulu pernah punya rencana untuk kembali menjadi pembantu rumah tangga ke kota setelah suaminya tak pernah pulang untuk menghidupi keluarga mereka, tetapi perencanaan itu batal karena Sumi malah terkena penyakit komplikasi yang menggerogoti kesehatannya dari waktu ke waktu. Untung saja ada bantuan pengobatan dari pemerintah, tapi tetap saja untuk makan sehari-hari beserta biaya sekolah anak-anak, Sumi harus rela menjual beberapa petak tanah, rumah, dan tentunya Gita dan Amri harus berjualan beberapa makanan titipan dari tetangga ke sekolah.

Gita turun dari ranjangnya, lalu mengeluarkan berkas-berkas yang dibutuhkannya untuk mendaftar ke universitas. Meski nilainya termasuk rata-rata, tapi dia tetap tak sabar untuk kembali belajar dan menjalin pertemanan dengan remaja lainnya.

Disusunnya kertas-kertas itu ke dalam map terpisah. Jika majikannya itu sudah menyuruhnya untuk mendaftar, maka akan tinggal disodorkan ke pihak universitas.

Gita tak mampu membayangkan jika nanti di sana dia bertemu jodohnya. Mana tau, lagian ada benarnya juga kata Jevi tadi, jika Gita sudah melewati batas anak di bawah umur menurut undang-undang dan beberapa bulan lagi sebenarnya sudah legal untuk menikah. Apalagi teman-temannya di kampung juga sudah pacaran dari semenjak mereka SMP malahan, masa Gita yang sudah mau kuliah tidak diperbolehkan. Ah, nggak sabar bertemu dengan Jungkook, Lee min ho, atau Kim bum versi Indonesia di universitasnya nanti. Apalagi di tempat Gita tinggal banyak sekali keturunan Chinese yang wajahnya rada mirip oppa-oppa korea.

Ya, satu lagi, dia langsung membayangkan bagaimana ciuman perdananya dengan pacar pertamanya nanti. Apalagi dia berharap ciuman tersebut terjadi dibawah sorot lampu taman saat mengantarkannya pulang ke rumah, ah pasti romantis sekali. Mengingat-ngingat itu, membuat Gita susah tertidur. Tapi dia bertekat dalam hati, akan segera berbenah, dan tak akan membuat ulah lagi di rumah majikannya ini, biar Jevi tak berubah pemikiran untuk menyekolahkannya sampai jenjang universitas.

Gita setel alarm jam 5 pagi, pokoknya sebelum Jevi bangun besok pagi, semua dalam rumah akan bersih, rapi, dan wangi kayak slogan laundry.

---

"Git, ini gimana gue bisa turun nih? Basah semua gila! Lu kira rumah gue sawah kali ah, sampai kegenang air di mana-mana. Gita.... Gita!"

Tepat jam tujuh pagi Jevi sudah berteriak-teriak kepada pembantunya itu karena dia tak berani turun tangga sebab banyaknya air yang tergenang di sana. Ogah baginya untuk kembali pakai krauk ke mana-mana. Cukup sekali saja dia mengalami itu, meski dokter yang akan menanganinya nanti adalah Sintia; selingkuhannya sendiri.

"Iya Om, Gita lagi ambil kain lap."

Gita lagi berteriak dari arah kamar mandi di belakang tangga. Lalu gadis itu tergopoh-gopoh mengelap air yang tersisa di lantai dengan posisi menungging dan kedua tangannya memegang kain itu dengan erat dan membawanya kian kemari beserta ember di sampingnya.

Oh Tuhan, kain jarik kurang selutut yang dijadikannya rok ditambah kebaya dengan potongan dada rendah itu benar-benar mengingatkan Jevi terhadap inem pelayan seksi yang populer di tahun 90-an. Kulit Gita yang putih bersih, dadanya yang sintal, lekuk pinggangnya yang menonjol karena mempunyai bokong yang besar, benar-benar sangat indah untuk dilihat apalagi jika dia punya kesempatan untuk menggigitnya atau sekadar meletakkan bagian sensitifnya di daerah sana. Tak sampai di situ saja, sifat Gita yang polos dan tak tau jika ada buaya lapar sedang ileran menunggu dagingnya untuk melahap kejantanannya, sungguh menambah kesan seksi seperti karakter wanita lugu yang biasanya muncul di film panas asal negeri sakura.

"Om, udah beres! Om jalan lewat sini aja ya, ikutin aja bagian yang keringnya! Jangan ke belakang dulu karena masih basah, dan di meja makan udah ada sarapan. Serius sekarang rasanya nggak kayak muntah kucing, percaya deh sama Gita!"

Jevi tak bisa melepaskan pandangannya dari tubuh gita yang menurutnya super aduhai. Apalagi pakai pakaian yang ngepas badan seperti yang dikenakannya saat ini.

"Ukuran bra lu berapa Git?"

"38C, Om mau beliin Gita bra baru ya? Makasih loh Om, padahal nggak perlu repot-repot, Gita juga bisa beli sendiri kok dari uang tabungan kok, lagian di pasar banyak. Murah lagi!"

Jevi menelan ludah, jakunnya sekarang sudah naik turun. Wanita itu sempurna untuk dijadikan fantasi seksualnya jika selingkuhannya lagi tak bisa memuaskannya di ranjang.

"Celana dalam lu?"

"XL emang kenapa Om, mau beliin juga? Jadi nggak enak Gita kalau Om gini. Padahal nggak usah repot-repot. Hehe!"

Jevi akhirnya menuruni 2 sisa anak tangga dari tempat dia menunggu pembantunya tadi. Gita tetap berdiri memastikan majikannya itu tak terpeleset seperti sebelumnya. Lalu mengikutinya sampai di meja makan, dan setelah dipastikan laki-laki itu duduk dengan aman, baru Gita meletakkan nasi goreng ke piring untuk dinikmati majikannya.

"Om, makan ya, insyaallah ini bisa dimakan, soalnya Gita pernah bikin ini selama di kampung dan rasanya baik-baik aja."

Sekarang giliran Jevi yang ragu memasukkan masakan itu ke mulut. Takut ntar nyawanya di ambang maut, kayak yang dulu-dulu pernah keracunan karena makanan pembantunya ini terkontaminasi bakteri berbahaya.

"Semua bahan udah lu cuci kan? Udah lu pastikan mateng juga kan? Dan waktu lu nyuci piring nggak ada sabun yang tersisa kan?"

"Iya, aman Om. Gita belajar kok cara nyenangin Om biar Om nggak marah lagi ke Gita karena kerjaan rumah nggak ada yang beres."

Jevi mengunyah makanan pembantunya itu dengan trauma yang mendalam. Pelan-pelan, sejauh ini tak ada yang salah, tapi tunggu, kressss, seperti ada yang berdarah di mulutnya. Dan benar, rasa makanan itu berubah jadi asin seketika itu juga.

"Git, lu kira gue kuda lumping sampai bisa makan beling kayak gini. Gila kali lu ya, mau membunuh gue dengan sengaja lu? Ini apaan nih?"

Jevi mengeluarkan satu pecahan kaca dari mulutnya diikuti dengan memuntahkan apapun yang barusan dikunyahnya. Gita segera mengambil tissue dari meja untuk membantu Jevi membersihkan mulutnya. Gadis itu sebenarnya sedih, karena niatnya menyenangkan majikannya tak berjalan lancar.

"Maaf Om," sesal Gita dengan wajah yang hampir menangis.

"Kan udah gue bilang, jangan sok-sok an tampil sebelum belajar dari kesalahan. Itu beling asalnya dari mana coba!"

"Tadi piring buat letakin nasi goreng yang baru keluar dari kuali pecah karena kepanasan. Jadinya waktu gita pindahin ke piring besar ini, tak sengaja belingnya ke angkut."

Jevi geleng-geleng kepala melihat kecerobohan pembantunya ini. Selalu saja begitu berulang-ulang.

"Git, apa sih di dunia ini bisa lu lakuin dengan benar, salah mulu perasaan! Ya Tuhan, demi apapun, kualitas pelayanan lu beda banget sama Mbak Sumi. Gue mandi dulu kalau gini!"

Gita menekukkan wajahnya itu. Jevi sudah berjalan menuju tangga. Tapi dengan jalur berbeda.

"Om awas Om, masih basah!"

Ah, terlambat, majikannya itu sudah terjengkang. Yah, dokter ortopedi lagi, dokter ortopedi lagi!

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now