MENJUAL DIRI DEMI MATERI

125 1 0
                                    

Ini buruk, lebih buruk dibanding yang tadi.

Saat mobil tuan rumah baru terparkir di depan gerbang, dari arah berlawanan sudah ada mobil Dahlia yang datang dengan tujuan yang sama yakni masuk ke rumah Jevi. Wanita itu segera keluar dari kendaraannya, menaikkan sun glasses-yang menghalangi pandangan ke atas kepala, lalu berlari menuju orang yang ingin diterkamnya. Dalam waktu sepersekian menit, Dahlia sudah mulai menerjang lalu menarik rambut Gita yang barusan diperintahkan Jevi untuk membuka pintu gerbang.

"Masih berani ke sini kamu cewek murahan? Nggak tau diri ya gangguin calon suami orang terus! Atau mau aku laporkan kamu ke polisi?"

Gita berteriak saat rambutnya dibubut dan hampir terlepas banyak dari akar-akarnya. Jevi, Amri, beserta Cika berbondong-bondong keluar dari mobil untuk menyelamatkan Gita yang kini kepalanya malah dihantam-hantamkan dengan kerasa oleh Dahlia ke gerbang besi. Tak lama, suasana mulai kondusif tetapi mulut pelaku kekerasan itu terus meracau-racau sekaligus menghardik korbannya, meskipun tubuh kurusnya ditahan oleh pria yang berbadan besar dari belakang. Semua yang selama ini ditutup-tutupi semakin terlihat jelas, tentunya berasal dari setiap hujatan-hujatan wanita itu yang semakin mengeras. Amri semakin tau apa yang sebenarnya terjadi. Intinya, kakaknya itu adalah orang ketiga dari hubungan dua orang yang akan menikah ini.

"Murahan, wanita bajingan, pergi kamu dari hidup calon suami saya sekarang! Pergi!" pekik Dahlia semakin kuat.

Kening Gita bengkak, hidungnya berdarah, bibirnya pecah, saking kerasnya hantaman besi tadi ke wajahnya yang masih terlihat lemah. Hati Jevi menjerit, dia merasa sangat berdosa kenapa semua ini menimpa gadis yang dia cintai. Wanita yang sedang menepis darah yang mengaliri wajahnya itu kini terlihat menderita karena ulahnya sendiri. Adik Gita memang membantu Gita untuk berdiri, tapi sebentar lagi setelah mereka membereskan semuanya, ketiganya pasti akan memutuskan untuk lari.

"Ayo Kak, kita pergi, kita mulai dari awal lagi. Sudah saatnya Kakak lupakan semuanya. Maafin kami ya Kak karena menjadi beban sehingga kakak berbuat nekat untuk dapat semuanya!"

Gerbang itu akhirnya terbuka, tapi beberapa orang tetangga datang karena ada keributan. Agar kondisi keributan ini dapat dikendalikan, sekaligus meredam suara Dahlia yang menyerocos seperti kereta api, maka mereka memindahkan kebisingan itu ke dalam rumah.

Hujan gerimis sore ini membawa tangis.

Semuanya kacau balau. Tak ada yang bisa dilakukan Jevi untuk menahan Gita pergi termasuk hardikan calon istrinya yang masih membabi buta saat ini. Menyakiti hati semuanya tentu saja, termasuk Cika yang kini merasa kakaknya itu adalah seorang wanita tak benar yang sudah menjual diri demi materi.

***

Jevi kehilangan jiwanya. Dia hantam apapun yang ada di depannya. Satu meja kaca pecah karena tendangan, satu vas bunga berderai karena hempasannya, bantal sofa berserakan ntah kemana-mana, dan tentunya penampilannya juga kacau tak kira-kira; pakaiannya berantakan, kancing kemeja banyak terlepas, di wajahnya kembali ada cakaran termasuk di tubuh yang lainnya yang juga luka besetan.

Dahlia yang sudah dia usir, tetap tak akan bisa membuatnya berdamai dari hilangnya anak Mbak Sumi di hidupnya itu. Mereka bertiga itu akhirnya meninggalkan rumah ini dengan hati yang hancur, jiwa yang remuk, dan kecewa yang suatu saat akan membekas menjadi trauma yang lama. Terusir dan merasa terhina, terlebih ketika Dahlia secara terang-terangan menginjak-injak keluarga yatim piatu itu dengan tajamnya perkataannya.

Hujan lebat di luar, petir menyambar, kebahagiaan Jevi sudah bubar. Mereka bertiga itu sudah tak tau harus dicari di mana, terakhir Jevi hubungi pihak asrama, ternyata dua adik Gita tak pernah balik lagi ke sana setelah minta izin ke luar. Nomor telepon mereka bertiga juga tak bisa dihubungi, ada yang benar-benar direject, dimatikan, atau memang sudah tak aktif lagi. Mereka pergi begitu saja, sampai Jevi tak tau ketiganya pakai moda transportasi apa, dan tujuannya entah kemana.

***

Keesokan harinya

"Ri, Kakak bukan simpanan Om Jevi. Kakak nggak ngelakuin apapun yang seperti Kak Dahlia tuduhkan," jelas Gita sekali lagi tapi tak ditanggapi Amri.

Mereka bertiga baru sampai di dalam rumah ini. Cika sudah tidur karena jam sudah menujukkan jam 8 malam dan dia kelelahan akibat perjalanan jauh. Sedangkan Amri masih terjaga untuk mencari cara menyalakan listrik di rumah ini karena tokennya habis.

"Kak, Amri mau ke kedai dekat pos ronda dulu. Mau beli token listrik!"

Amri berlalu pergi begitu saja dalam keadaan rumah yang hampir gelap gulita, hanya ada cahaya dari sebatang lilin yang menerangi Gita dan Cika yang berada di tengah rumah ini. Laki-laki itu merasa tak bisa lagi dibohongi dengan semua bukti-bukti yang sudah jelas di depan matanya kini.

Gita tau Amri memendam kecewa yang teramat sangat, adiknya itu memang orang yang beragama dengan taat. Bagi Amri, kesalahan kakaknya itu sangat fatal adanya, bagaimana bisa Gita menjual dirinya demi menyekolahkan adik-adiknya dan hidup enak.

Gita mengecek HP-nya yang sudah mati seharian meski baterainya masih terisi penuh. Amri memang memaksa kakaknya menyingkirkan telepon tersebut karena walaupun didapatkannya karena ganti rugi dari orang tua mahasiswa, tapi tetap saja asal muasalnya adalah Jevi yang membelinya lalu menghadiahkannya pada kakaknya. Namun Gita hanya mematikannya agar Amri tak terus-terusan meminta agar dia membuangnya. Saat telepon selular itu dinyalakan, yang menanyakan tak hanya Jevi, tapi juga ada pembantu lainnya yang mengintrogasinya tentang keributan yang terjadi kemaren hari.

Image Gita sebagai wanita baik-baik benar-benar porak poranda. Komplek tempat tinggal Jevi menganggapnya sekarang adalah pembantu sekaligus wanita simpanan karena cercaan Dahlia sore itu. Benar, desa ini adalah salah satu tempat yang masyarakatnya masih menganggap gadis itu berakhlak baik.

Jevi tiba-tiba meneleponnya ketika Amri baru pulang membeli token listrik.

"Siapa Kak? Udah buang saja hp nya."

Gita menjauhkan telepon selular itu dari jangkauannya, dia terkejut karena Amri memergokinya karena masih memegang Hp tersebut.

"Iya Ri, kakak—" ucapan Gita segera terpotong oleh perkataan Amri.

"Udah Kak, lupakan! Ayah dan ibu di alam lain juga akan marah kalau kakak melakukan ini demi menyelamatkan keluarga kita. Ya udah nanti HPnya Amri jual lagi aja, dan uangnya akan Amri kasih lagi ke Om Jevi. Jadi HP ini di Amri dulu ya Kak. Hp yang kakak warisin ke Amri kakak pakai lagi dan sekalian nomornya kakak ganti. Dan Hp Cika sekarang biar Amri pakai lagi."

Telepon genggam itu sudah berpindah tangan. Itu padahal satu-satunya akses pertolongan dari kota. Gita harus mengatur kehidupannya lagi, memikul bebannya, dan berharap bisa mengatasi semua masalah yang nanti akan terjadi.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang