DIA SUDAH PERGI DAN TAK PERNAH BERJANJI UNTUK KEMBALI

214 3 0
                                    

Gita merasa hancur, setelah melihat Neneknya terbujur kaku dan sudah ditutupi kain jarik di sekujur badannya itu. Hampir 7 jam neneknya itu berjuang untuk melepaskan kejang dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya sebelum mendapatkan operasi jantung. Padahal 2 hari belakangan kondisinya sudah baikan dan dizinkan pulang ke rumah, tapi takdir berkata lain, Tuhan lebih rindu dia, dan sekarang Tuhan benar-benar membawa ruh wanita itu jatuh ke dalam pelukanNya

Kini Gita hanya bisa merenung dengan air mata yang meleleh di pipinya yang pucat pasi. Adik-adiknya juga begitu, bingung dengan siapa tempat bersandar setelah ini. Semuanya terlalu cepat pergi dan tak pernah berjanji untuk kembali.

Satu demi satu orang-orang datang ke tempat kemalangan, dan mereka terlibat dalam menyelenggarakan jenazah dari mandikan sampai menguburkan. Tangis Gita bertalu-talu sampai akhirnya Neneknya itu masuk ke liang lahat. Baru 5 bulan setelah berduka karena Ibunya, sekarang dia kembali menelan pil pahit karena Neneknya pulang ke tangan yang kuasa. Amri yang masih kelas 1 SMA, beserta Cika yang baru kelas 2 SD mau tak mau harus diurusinya seorang diri tanpa bantuan siapa-siapa.

"Dek Gita, kalau butuh kerjaan Adek bisa ke tempat Bapak. Bapak kebetulan ada toko sembako di pasar, adek bisa di sana buat bekerja."

Gita menoleh ke Bapak-bapak paruh baya yang berada di sampingnya itu. Dia bangkit dari menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah itu. Berdiri dengan muka hormat, berusaha tersenyum hangat pada orang yang sudah bersedia membantunya itu. Memang itulah yang dibutuhkannya jika ingin hidup di sini dan bisa memenuhi kebutuhan dia dan adiknya, apalagi kalau bukan sumber mata pencarian.

"Kalau Adek mau, ini alamat lengkapnya, temuni Bapak di pasar!"

Bapak-bapak itu lalu pergi setelah memberikan secarik kertas pada tangan Gita yang dingin. Mungkin dengan ini satu masalah akan teratasi karena bulan depan dia akan ada penghasilan. Dan untuk sebulan ini, Gita akan menguras tabungannya dulu untuk menghidupi adik-adiknya ini sebelum menunggu gaji pertamanya bekerja di toko tersebut.

Para pelayat sudah pulang satu-satu meninggalkan mereka bertiga. Gita dengan mata yang masih basah mengajak adik-adiknya meninggalkan pemakaman segera. Ini saatnya, mereka kembali manata kehidupan yang baru di kampung halaman.

"Cika, kakak beliin bakso ya, Amri juga, Ayo kita berangkat ke warung bakso PakDe Udin."

Begitulah cara Gita melebur kesedihan, melupakan jika dia sekarang sudah tak tahan, dan berusaha memperlihatkan ke orang yang dia sayang jika semuanya akan baik-baik saja adanya. Padahal rasanya sekarang dia paling butuh bahu seseorang yang dia percayai untuk bersandar dan mengeluhkan semuanya.

---

"Apa lu bilang, berhenti kerja jadi pembantu gue?"

Gita berusaha tenang menghadapi cerocosan majikannya tersebut. Tak terprovokasi apapun meskipun dia sendiri secara emosi masih lemah dan hampir runtuh.

"Om utang Gita dibayar ntar ya? Adik-adik Gita sedang butuh biaya untuk sekolah Om. Gita nggak jadi kuliah juga nggak apa-apa, tapi adik-adik Gita harus sekolah sampai SMA. Jadi Gita mau resign dari tempat Om itu, Gita jadinya tinggal di sini saja sampai mereka semua bisa mandiri."

Jevi terdengar sedang menghela napasnya. Dia tahu jika Gita tak punya siapa-siapa lagi untuk jadi sandaran. Wanita itu benar-benar menjadi tulang punggung bagi keluarganya yang tersisa tanpa adanya bantuan moril atau materil dari orang dewasa.

"Lu pulang ke sini Git, bawa Adik lu itu ke sini. ntar Biar kita urus sama-sama!"

"Mak..sud Om?" suara Gita terdengar bergetar

"Oke deh, gini aja Gue ke sana besok pagi pakai penerbangan paling pagi. Dan lu tungguin gue di sana dan please kalian siap-siap karena kita akan cepat-cepat lagi balik ke rumah gue."

"Om, Om kan musti kerja!"

"Demi anak Mbak Sumi apapun gue lakukan!"

Jevi sepertinya sudah bertekat sangat kuat. Tapi Gita tetap tak enak hati karena takut merepotkan.

"Om, Gita nggak mau hutang budi sama Om!"

Jevi langsung mematikan panggilannya, berdebat bukan caranya menyelesaikan masalah dengan cepat. Dia berubah pikiran sepertinya, sekarang dia memutuskan untuk naik kereta api sore ini setelah memperhitungkan jika naik transportasi itu akan lebih cepat sampai dibandingkan naik pesawat besok hari.

---

Besok harinya ...

Gita menatap warna lembayung yang memantul dari langit ke arah samudera, duduk di tumpukan batuan menunggu selesainya senja. Lautan kali ini sepertinya bernyawa, siap mendengarkan semua keluh kesahnya yang tertahan di rongga dada. Dia ingin lepaskan semua beban yang ada, mumpung adik-adiknya tak akan melihat air matanya yang tumpah karena mereka berdua lagi beraktivitas di rumah.

Gita memeluk lututnya, berusaha meyakinkan dirinya jika dia bisa melewati semua. Tapi rasanya di depan itu ada batu besar yang menghadang, bagaimana nanti jika uangnya tak cukup menyekolahkan kedua adiknya, bagaimana jika suatu saat dia tak dapat lagi menjadi kakak yang baik, dan bagaimana nanti jika mereka bertiga terpisah-pisah karena konflik.

Gita kelihatan memang seperti karang yang dihajar ombak berulang-ulang tapi tetap tegar, tapi aslinya hatinya itu seperti atap seng yang punya satu paku lalu ditiup angin ribut, dan bisa terbang kapan saja dari tempat seharusnya dia berada.

Tak ada manusia yang tersedia yang menjadi tempat mengeluh sekarang. Kalau dulu memang dia bisa mengutarakan ke neneknya ketika dia yatim piatu. Dia juga dapat menyandarkan tubuhnya ke wanita tua itu, tapi kini akan ke mana dia harus membicarakan dan melabuhkan semua keluh kesah. Adik-adiknya juga lagi rapuh, bahkan Cika yang baru kelas 2 SD pun sudah tau seperti apa kehidupan mereka selanjutnya uanh mungkin akan lebih keruh. Secara perekonomian mereka tak siap, secara kedewasaan Gita mungkin tak terlalu dewasa untuk menjadi pemegang kontrol semuanya, dan tentunya untuk melindungi adik-adiknya Gita juga punya keterbatasan tenaga. Rasanya beruntung sekali mereka yang sudah pergi meninggalkan dunia, bebannya mungkin hanya dirinya sendiri dan pertanggung jawabannya ke yang maha kuasa.

Gita berteriak di pesisir yang sepi sampai lautan menelan suaranya. Biarkan air ini mengantarkannya kembali teriakan itu lewat amuk badai pada rumahnya malam nanti saat Gita membaringkan diri di ranjang. Gita berjanji ini terakhir kali mengeluh di sini dan besok akan menanti untuk hari yang baru.

"Git, kata warga mau badai woi, ngapain lu di sana?"

Gita menoleh seketika ke arah sumber suara. Itu majikannya yang datang ditemani oleh Amri dan Cika yang berada di sampingnya. Gadis itu naikkan tubuhnya, lalu berjalan hati-hati di antara batu dan melompat di hamparan pasir pantai. Ternyata Jevi benar-benar ke sini, padahal tadi pagi dia bilang dia sibuk dengan kerjaannya.

"Om, Om kok ke sini?"

Gita menatap Jevi dengan prihatin. Muka pria itu kini kelihatan lelah setelah perjalanan jauh.

"Gue ingin nyelamatin kalian bertiga. Ayo malam ini kita semua berangkat ke kota."

Cika bersorak girang di lengan Jevi. Adik Gita paling bontot itu memang suka sekali sama pria ini sejak mereka bertemu pertama kali. Entahlah apa sebabnya, mungkin karena orang yang mirip Jevi ada di sinetrom yang ditontonnya tiap sore dia rumah tetangga.

"Kita ke kotakan ya Cik, iya kan Ri? Kakakmu kalau nggak mau suruh aja dia berenang di laut biar abadi dia jadi penghuni daerah ini!"

Amri mengangguk, memang adik Gita yang laki-laki itu mengidam-ngidamkan tinggal di kota dari dulu. Dia ingin melihat gedung-gedung tinggi, jalan tol yang panjang, dan tentunya cewek-cewek kota yang mukanya seperti bintang film laga.

"Om, tapi kan Cika sama Amri belum diurus surat kepindahannya. Ntar sekolah gimana?"

"Ya udah berarti ditunda sampai besok siang. Gue temanin lu urus sampai selesai semuanya. Gampang kan?"

Pria berkemeja pantai itu menganggap semuanya gampang adanya. Tak ada yang bisa menghentikan keputusannya, lembaran baru sudah dibukanya dengan sengaja, membiarkan mereka bertiga ini masuk di kehidupannya yang fana.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang