SEDIKIT DEMI SEDIKIT TERUNGKAP

60 1 0
                                    

Jevi menunduk lesu, suasana duka dan haru menyelimutinya yang baru tau jika Nugraha sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Treatment dari alat pacu jantung yang barusan diberikan padanya tak bisa membuat di dalam dada itu kembali berdetak, Nugraha dinyatakan sudah tak hidup lagi, sesaat setelah Jevi datang di lokasi.

Tresna adalah orang yang keliatan paling kesetanan. Make up tebal di mukanya luntur, begitupun dengan pencitraan nenek-nenek elegan yang selama ini berusaha dia tegakkan kini sudah baur. Sekarang dia meronta-ronta, meminta kembali agar dokter memeriksa raga Nugraha sebelum kain putih itu menutupi jasadnya.

"Mohon maaf Bu, Bapak udah nggak ada, Ibu yang tabah ya, doain semoga Bapak tenang di dekapan Tuhan," ucap Dokter yang memakai pakaian serba putih tersebut.

"Nggak mungkin Dok, nggak mungkin, suami saya, tadi sore masih nggak apa-apa. Mungkin dia kecapekan aja. Nggak mungkin dia pergi dalam waktu secepat ini Dok! Tolong lakuin segala cara agar dia bisa bernapas lagi, saya rela bayar berapapun. Tolong dokter!" Tresna meminta dengan perasaan yang teramat terluka. Dia seperti kehilangan jiwanya karena kepergian Nugraha.

"Mi, udah Mi, udah. Papi nggak bakal tenang kalau Mami gini terus dan nggak ikhlasin Papi!"

Tresna setengah berteriak, kembali menyentuh wajah Nugraha yang sudah pucat.

"Nak, Papimu nggak mungkin pergi secepat ini, nggak mungkin, kata dokter di Singapura, keadaannya sudah membaik dan nggak mungkin tiba-tiba drop begini!"

"Mi, udah ya! Papi udah baik-baik saja di sana! Jevi tau Mami sangat sayang Papi tapi sekarang Tuhan yang minta Papi. Kita harus ikhlas ya, ntar kita urus pemakaman Papi!"

Percayalah Jevi hanya pura-pura tegar berbicara demikian. Dalam perasaannya yang terdalam kini sudah remuk redam. Namun kesedihannya tak bisa dia ungkapkan ketika Maminya terlihat lebih menggenaskan. Tresna sangat acak-acakan kembali terisak dalam tangis tak berkesudahan, sampai tak lama dia pingsan, dan keadaan lebih mengkuatirkan dibanding sebelumnya. Keutuhan keluarga mereka sudah mulai berkurang pelan-pelan.

***

Alvaro sangat suka pantai, tak ada pengecualian di manapun tempat dia memandang. Tak peduli jika pantai itu adalah pantai wisata maupun area perkampungan nelayan yang kumuh dan biasanya dijadikan tempat untuk memulai pelayaran seperti yang dia datangi sekarang. Gita membantunya duduk di atas batu. Setelah mereka tadi mengantarkan Cika untuk belajar, sekarang dua orang itu memutuskan untuk bersantai ria mumpung matahari belum terik dan berada tepat di atas kepala.

"Gita, aku suka laut. Kalau kamu suka apa?"

Gita menoleh ke anak kecil itu saat pikirannya mengelana jauh.

"Gita juga suka laut, sama kayak Alvaro."

"Kamu kenapa suka laut Gita, apa kamu suka ikan? Ayahku punya banyak tambak ikan, kita bisa sesekali ke sana!"

Gita mengerjap, lalu menatap bocah kecil yang berpakaian layaknya nahkoda kapal itu lekat-lekat. Iya, baju ini adalah pakaian favorit Alvaro, di masa depan dia bercita-cita bisa jadi seorang nahkoda yang handal dalam mengarungi lautan.

"Gita tak terlalu suka ikan. Tapi Ayah Gita dikuburkan di laut. Makanya saat ke laut, Gita selalu berpikir sedang menziarahi kuburan Ayah Gita, Varo!"

Bocah laki-laki itu menatap Nannynya dengan sendu. Masih sekecil itu, dia sudah peka terhadap apa yang orang lain rasakan. Sungguh perubahan tak terduga, mengingat Alvaro dulu diatur saja susahnya ampun-ampunan.

"Ibuku juga dikremasi, kata Bi Minah, abunya juga dibuang ke lautan. Mungkin orang tua kita bisa bertemu di lautan, Gita!"

Gita menyatukan alisnya, banyak hal yang tak dia ketahui sebelumnya, kini telah terungkapkan.

"Maaf, Ibu Alvaro dan Ayah Alvaro beda agama?"

Bocah itu tak langsung mengiyakan, dia kembali menerawang ke lautan luas.

"Entahlah Gita, aku juga belum mengerti, tapi Ibuku tak melakukan apa yang guru TK ku ajarkan mengenai shalat dan berdoa, walaupun di sisi lain Ayah selalu melakukan itu."

Gita hela napasnya, semua masa lalu keluarga ini sedikit demi sedikit terungkapkan. Ternyata banyak juga perbedaan antara Keenan dan istrinya tersebut saat mereka berumah tangga.

"Gita, adakah kesempatan untuk orang yang sudah meninggal digantikan posisinya oleh orang lain di dunia ini demi menjaga seseorang yang ditinggalkannya?"

Otak Gita seperti benang kusut, pertanyaan Alvaro tadi seolah-olah membuat pikirannya lisut.

"Gimana, gimana?"

"Posisi Ibuku mungkin digantiin sama kamu nggak Gita? Setiap aku mengingat Ibu aku selalu mengingat kamu. Aku juga tidak mengerti kenapa itu terjadi."

Jantung Gita berdebar dengan teramat kencang. Pernyataan sekaligus pertanyaan Alvaro itu berkejar-kejaran di benaknya seolah-olah setelah ini ada tanggung jawab yang akan diembannya.

"Gita?"

Gita dipaksa harus menjawab pertanyaan anak balita ini.

"Gita, Gita juga tidak tau Alvaro!" jawab Gita tergagap-gagap.

"Apakah di masa depan kamu akan menikah dengan kakek drakula itu dan punya anak dengannya, Gita?"

Ah Jevi, mood Gita menjadi buruk setelah mengingat pria tersebut. Dia kembali merasa bodoh karena sudah membiarkan dirinya terjebak dan menjadi salah satu korban yang suka rela memberikan harga dirinya pada seorang buaya seperti Jevi.

"Gita nggak tau Varo, entahlah."

"Bukankah dia jahat Gita, wanita yang menyekap kita itu adalah pacarnya kan Gita?"

Gita menghembuskan napasnya frustasi. Alvaro sepertinya tau secara garis besar apa yang telah terjadi. Anak laki-laki ini sepertinya sudah mampu menganalisa sedikit demi sedikit masalah orang dewasa. Ntah dari mana dia belajar hal-hal rumit seperti ini.

"Bukankah kalau kita punya pasangan, kita musti selalu dengan pasangan kita Gita?"

Gita mengangguk, dia seperti sedang terpojokkan dengan bombardir pertanyaan dari Alvaro.

"Oh iya. Kamu harus melihat ini Gita, aku kesini juga ingin minta tolong sesuatu padamu untuk mengajari aku memahami dengan jelas kalimat-kalimat di dalam buku ini. Aku baru menemukan ini di laci kerja ayah. Ini kepunyaan ibu."

Gita menunggu tangan kecil Alvaro membuka tas ransel itu. Anak itu angkat satu buku bermotif floral dari situ, sepertinya itu diari dari seseorang yang melahirkannya ke dunia ini.

"Gita, ini!"

Gita terima buku tersebut lalu membukanya dari halaman pertama. Di sudut bawah buku tersebut terlihat ada nama Monalisa tjahyadi, beserta tanda tangannya. Iya, itu nama istri Keenan yang sudah meninggal.

"Tulisan Ibu Varo rapi ya. Senang liatnya juga!"

Alvaro mengangguk, lalu tak lama dia merogoh tak ranselnya sekali lagi. Kemudian menyerahkan satu lembar foto berwarna ke hadapan Gita.

"Gita apakah seorang yang sudah menikah masih bisa bersama orang lain?"

Gita perhatikan dua wajah yang ada di foto tersebut. Itu adalah Ibunya Alvaro dan seorang laki-laki yang tak Gita ketahui siapa identitasnya. Tapi foto mereka cukup mesra karena wanita yang di foto tersebut mencium pipi sang pria yang matanya terlihat menutup. Apakah ini adalah salah satu alasan Keenan menjadi suka bertengkar dengan Ibu Alvaro? Kepanasaran Gita meningkat-ningkat, ntah kenapa rasa ingin taunya sekarang menjadi berlipat-lipat.


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now