PENDOSA YANG BERTOBAT NASUHA

203 1 0
                                    

Jevi merasa ada yang ringan dalam hatinya ini, mengetahui anak-anak yang selama ini sangat sulit dia kendalikan sudah berubah menjadi anak-anak yang sedikit tak cari perkara. Makan malam kali ini, Jevi merasa sangat berterima kasih dengan ketiga anak yang duduk berjejer di hadapannya itu. Mereka juga bahagia karena dibelikan sate padang yang mereka sukai meski lewat jasa kurir pesan antar. Jevi juga memakan hal yang sama dan memang itu yang Jevi harapkan yakni menghilangkan perbedaan hidangan di meja makan antara saudara pembantu, pembantu, dan majikan.

"Makasih Om Jev, kami selalu disuguhi makanan enak hari ini! Maafkan kami karena belum bisa membalas jasa Om Jev bagaimana." Amri mengucapkan itu saat makan malam baru saja dimulai. Walaupun dia lapar, tetap saja dia tak akan makan duluan bersama adik dan kakaknya. Tapi akan menunggu Jevi menyendok pertama makanan itu ke mulutnya.

"Gue makasih juga sama kalian, karena sudah bisa menjinakkan dua gembelehe itu. Pusing tau nggak tiap ketemu mental gue rasa dihancurin sama dua curut itu."

"Hush Om, calon anak sendiri masa dibilang curut sih!" kata Gita mengoreksi perkataan Jevi.

Jevi santai, dia cuman berharap agar selanjutnya dua anak itu bisa lebih baik menerimanya. Tadi aja sudah syukur mau menyalami tangan Jevi, itupun dikompori Cika agar mereka hormat pada orang yang lebih tua. Tapi syukurlah, akhirnya mereka tergerak juga hatinya.

"Selamat makan untuk kita semua."

Wah akhirnya, perut ketiga anak yang keroncongan itu makan malam juga setelah Jevi menyuap suapan pertamanya. Mereka makan dengan lahap, emang sesuka itu mereka dengan yang namanya sate.

"Git, kalian sekeluarga doyan makanan ini banget ya?" ucap Jevi penasaran karena ketiganya seperti makan tanpa bernapas.

"Iya Om, kami dulu kalau diberi santunan anak yatim, uangnya kami beliin ke sini dulu. Baru ke yang lain!"

Jevi menghela napasnya. Benar-benar mengkuatirkan keluarga ini sebelumnya. Masa makan sate saja dianggap sesuatu hal yang mewah buat mereka semua. Tapi untunglah dari mereka tak ada yang mengalami gizi buruk.

"Tapi ini lebih enak nggak sih kak, lebih kerasa dagingnya dibanding sate Ajo predi di dekat balai desa," ujar Cika polos tanpa terbebani apa-apa.

"Iya lah Cik, ini belinya di restauran padang tuh ada labelnya," kata Amri memberikan informasi.

Cika mengeja tulisan di belakang bungkus sate padang itu. Iya, dia tau karena kalau mereka ke kabupaten memang ada restauran yang bernama sama dengan itu.

Jeli juga Amri rupanya, Jevi memperhatikan itu jadi berdecak kagum.

"Ri, lu pengen jadi apa di masa depan?"

"Pengen bikin jalan Om!"

Jevi mengangguk-angguk. Teknik sipil kayaknya jurusan yang cocok bagi laki-laki ini.

"Mau ngerancang jalan maksud lu kan?"

"Bukan Om, mau bikin jalannya langsung. Di desa kami ada beberapa pemuda yang ke kota untuk bikin jalan. Terus kalau uangnya kekumpul balik lagi ke desa dan nunggu proyek selanjutnya. Amri ingin waktu kembali lagi ke desa, Amri nyambi jadi guru ngaji."

Jevi memukul kepala, aduh, anak ini pantesan selalu tergila-gila sama jalanan. Ternyata cita-citanya jadi buruh harian yang dipekerjakan kontraktor toh.

"Lah kenapa nggak lu aja yang ngerancang jalannya."

"Habis SMA pengen langsung kerja Om, kalau kuliah nggak tau mau dapat uang dari mana?"

"Gue yang bayarin, yang penting lu rajin belajar, dan di masa depan lu harus sukses, bagaimanapun caranya."

Amri tercekat, dia lalu batuk-batuk karena makanan yang baru dikunyahnya salah masuk ke saluran pernapasan. Di sekolahin saja di sekolah bagus dia sudah sangat bersyukur, lah ini mau dikuliahin juga.

"Om, Amri jadi nggak enakkan sama Om, karena Om baik banget ke kami."

"Ibu kalian itu lebih baik lagi ke Om, udah sekarang makan ya, habis itu jangan lupa cuci kaki dan tidur yang nyenyak sampai besok pagi!"

Mereka semua mengangguk, lalu melanjutkan makan malamnya sampai kuah sate yang tersisa mereka tambahkan nasi saking sukanya dengan makanan tersebut.

---

Gita tengah malam dihubungi Jevi yang galau dengan hubungan percintaannya dengan Nabila. Untung saja, wanita itu masih belum tidur, karena chatting sama Fares dulu sampai tengah malam. Gita kayaknya memang bucin dengan laki-laki tersebut, meski mereka tak ada hubungan jelas yang mengikat di antara ke duanya.

Pelan-pelan Gita keluar ruangan agar tak mengganggu adiknya yang tertidur lelap, lalu dia langkahkan kakinya ke lantai dua, tempat Jevi sedang duduk di tepi ranjang dengan keadaan pusing tujuh keliling.

"Om kenapa sih? Udah jam satu loh ini!"

"Lu yang kenapa udah jam satu tapi online aja di WA," tanya laki-laki berpiyama navi tersebut.

"Ye, kan Gita cuman ngecek grup."

"Jangan boong lu, sini duduk!"

Gita mengikuti perintah Jevi, lalu mendudukkan dirinya di dekat pria tersebut.

"Jadi ada masalah apa Om, kapan nikahnya?"

Jevi loh yang akan menjalani pernikahan ini, tapi yang tak sabar adalah pembantunya sendiri.

"Nggak tau, gue pun bingung. Nabila juga masa lalunya buruk amat, suka main laki-laki ternyata."

"Emang Om nggak suka main perempuan gitu?"

Ah, perkataan Gita itu langsung menancap di hulu hati jevi. Tak disaring dulu. Emang ya kenyataan itu selalu menyakitkan dibanding proses menerima semuanya.

"Ya bukan gitu juga, dia aborsi 3 kali loh, Git!"

"Om, Gita udah tau tentang mantap-mantap dan mulai mengerti apa yang disebut dengan istilah kopulasi dan lain-lain berkat Om yang bilang tentang seks edukasi. Jadi ya Om, menurut Gita, emang selama ini Om nggak buang anak Om sendiri gitu?"

Jevi mendadak gagu. Sebenarnya benar sih, ada korelasi dengan semua itu. Bedanya hanya Jevi tidak meninggalkan bekas apa-apa, dan tentu saja berbeda dengan wanita jika melakukan hal yang sama, apalagi tak memakai pengaman, kemungkinan hamil itu besar sekali.

"Ya gue tau, tapi Git, dia juga pernah makai narkoba juga. Gila nggak sih itu!"

Gita menghembuskan napasnya kasar. Lalu mengusap-ngusap punggung majikannya itu dengan hangat.

"Om tau nggak penghuni surga yang paling banyak siapa? Pendosa yang bertobat nasuha. Gita aja suka liat Kak Nabila, adem aja gitu bawaannya."

Jevi merasa tertampar dengan perkataan pembantunya tersebut. Dia tak bisa berkomentar apa-apa lagi selain menerima. Gita terlihat semakin menarik jika dia bersikap dewasa seperti demikian.

"Om, Kak Nabila sudah melewati banyak cobaan dan hukuman dalam hidupnya pasti. Tapi dengan seperti itu dia sebenarnya sudah banyak belajar, lagian Om jika selalu punya ekspektasi untuk wanita yang tak punya kecacatan hidup kayaknya Om nikahin aja orang seumuran Cika. Lagian kalau udah dewasa ya kita pasti banyak dosa lah Om, namanya juga manusia."

Jevi diam seribu bahasa. Dia pastikan ini Gita, si anak walinya yang suka bikin masalah itu, dengan meletakkan tangannya di kening gadis tersebut.

"Kenapa sih Om?"

"Nggak, lu beda aja! Gue mulai paham kenapa lu bisa suka sama Fares. Oh ternyata ini!"

Gita kembali bersemu merah jambu. Ya itulah hidup yang harus dijalani.

"Seharusnya kita bangga bisa membawa orang lain ke jalan yang lebih baik Om, jangan mau enaknya aja, nerima hal instan tanpa berusaha. Kayaknya berubah bersama akan lebih menyenangkan, jadi ingat proses yang telah terlewati apa saja. Ya mungkin, nggak seinstan itu juga prosesnya. Dan banyak hal berat juga yang harus dilalui. Semangat Om buat Kak Nabilanya."

Gita mengacungkan tinjunya ke udara. Jevi mulai memikirkan wanita ini sebagai wanita dewasa.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now