OM NODAIN GITA YA SEMALAM?

1K 2 0
                                    

Campuran aroma cendana, citrus, beserta wangi hugo boss yang maskulin, menyatu dalam penciuman gadis yang sedang menggerak-gerakkan badannya sedikit sebelum membuka mata. Menenangkan sekali, untuk memulai hari dengan kondisi seperti ini. Bahkan semua fasilitas yang menunjang tidurnya semalam sangat terasa ekslusif, bantal bulu angsa premium, selimut dengan bahan dasar bulu domba yang halus, bahkan seprai katun yang menjadi alas tidurpun terasa dapat meningkatkan kualitas tidur dari gadis tersebut. Tapi tunggu dulu, rasanya kulitnya menempel dengan sesuatu, terasa seperti bersentuhan dengan daging yang ditumbuhi banyak bulu, dan sekarang separuh tubuhnya terasa dikuasai oleh manusia itu.

"Om, ngapain di sini?"

Gita berteriak sesaat setelah membuka mata. Dia tarik selimut itu dan dia tutupi tubuhnya yang terbuka.

Jevi segera terjaga setelah mendengar pekikan yang terasa sangat kuat di telinga. Dia amati sela-sela gorden belum menunjukkan adanya cahaya matahari yang masuk ke kamar. Dia lirik jam yang tergantung di dinding. Masih jam 3 pagi dan terlalu pagi buta untuk terjaga.

"Kenapa Git? Heboh amat lu, masih jam 3 ini. Lebay dah lagian sekarang hari minggu juga, buruan tidur lagi!"

Gita sedikit lega, karena pria di sampingnya itu masih berpakaian walaupun hanya celana panjang semata kaki. Gilirannya untuk mengintip ke dalam selimut yang membelit hampir semua badannya. Polos sampai pusar, satu-satunya pakaian hanya celana dalam berenda yang sedikit transparan.

"Om nodain Gita ya semalam?" tuduhnya curiga.

"Lu ingat lagi deh ya, lu semalaman ngapain sama gue. Udah ah, gue mau tidur lagi."

Jevi mengambil selimut ekstra yang ada di bawah kaki panjangnya. Lalu memasukkan tubuhnya ke dalam sana dengan segera.

"Sini Git, dekat-dekat biar kita saling menghangatkan. Jangan melamun mulu lu. Gue nggak tanggung jawab kalau lu kerasukan ntar!"

Gita semakin menjauh dan berinsut ke tepi ranjang. Dia berusaha mengingat-ingat kejadian semalaman.

Ah, rasa pusing sedikit mendera, tapi dia dapat mengingat hal-hal memalukan seperti bibirnya dijamah, dilumat, dua gumpal daging depan belakang itu diremas, dan tentunya dia juga ingat ketika dia menggoda Om-om mesum ini minta dipuaskan. Benar-benar sangat memalukan!

Dia julurkan tangannya saat masih di duduk di tepi ranjang untuk bisa meraih pakaiannya yang terkulai lemas di lantai. Gita berusaha melindungi aurat yang sangat penting itu dengan menggenggam selimut itu kuat-kuat, jangan sampai Om-om bejat ini kembali melihat.

"Lu nutupin kayak apapun gue udah liat semua kecuali bagian pusat kenikmatan itu. Tapi gue sudah bisa memprediksi sih, tembemnya seberapa, serapat apa, dan bentuknya gimana, berkat celana dalam transparan lu itu, apalagi lu semalam duduknya ngangkang-ngangkang nggak jelas," ucap Jevi licik yang membuat Gita bergidik.

Gita malu, mukanya langsung merah padam. Rasanya ingin sekali dia menghajar pria itu saat ini juga.

"Om apa-apaan sih, punya anak wali tapi nggak dijaga. Apanya yang nyamain posisi Ayah dan Ibu Gita buat ngejaga Gita."

Gita mulai naik pitam, menatap Jevi yang sedang berbaring itu dengan tajam. Sakit hatinya sudah menghujam.

"Eh, yang minta dipuasin semalam siapa ya? Yang menggoda minta nambah lagi juga siapa? Lu kira enak gue ngeluarin sendiri di kamar mandi? Sudah syukur lu nggak gue nodai," ucap Jevi santai tanpa beban yang semakin membuat Gita uring-uringan.

"Buruan tidur lagi, subuh juga belum ini. Lu malam tadi tidurnya kecepetan, makanya bangunnya kepagian. Ayo sini!"

Jevi membentangkan satu tangannya agar dapat memeluk Gita secepatnya. Tapi gadis itu tak boleh begini, seharusnya tidak berada di tempat ini, dan lebih baik sekarang dia ke kamarnya sendiri.

Dia kemasi pakaiannya, meski selimut yang membelit itu sangat susah dibawa kesana kemari, beberapa kali dia terjatuh karena salah langkah, Jevi hanya tertawa dan berkata-kata 'mampus', tapi Gita sudah bertekat dia akan ke kamarnya untuk membersihkan diri.

---

Hangat meresapi tubuh Gita yang kini tidak ada lagi pakaian yang melekat pada tubuhnya yang halus. Sesaat setelah dia tenggelamkan tubuhnya di bath up rasa nyaman kembali menderanya. Sejenak dia lupakan apa yang terjadi padanya dan Jevi tadi malam, lalu berusaha larut dengan perasaan yang menenangkan sebelum matahari bangkit lagi hari ini.

---

Jam 6 pagi, Jevi menggedor kamarnya saat Gita baru selesai dengan make upnya yang tipis. Laki-laki berkaos oblong itu terlihat segar karena sepertinya habis menyelesaikan ritual paginya yakni membersihkan diri. Dia langkahkan kakinya masuk ke kamar tanpa dipersilahkan Gita terlebih dahulu, sepertinya laki-laki ini sedang mencari-cari sesuatu yang Gitapun tak tau apa itu.

"Om, ada apa?"

"Nggak, cuman mau nyari kunci mobil, di elu kan kemarin?"

"Iya ada kok di tas Gita, emang kenapa?"

"Nanya lagi kenapa, ya buat pulang ntar sore lah. Semoga tuh Mak lampir and the gang udah minggat dari rumah gue."

Jevi sedikit lega meski Gita memperhatikan sikapnya curiga.

"Apa lu liat-liat?"

"Emang ngeliat Om ngelanggar HAM ya?"

Jevi sebenarnya salah tingkah dilihat oleh gadis cantik ini seperti itu. Benar-benar membuat rasa di dadanya memberontak hebat.

"Lu makai lipstik tipis amat, lu hemat-hemat banget ya makainya? Lagian ntar kalau habis kan bisa gue beli lagi buat lu."

"Sayang Om, mahal, merek ini Gita cek di internet masa 450 ribu."

"Alah segitu doang, kayak gue nggak mampu beli aja buat lu."

Jevi mengangkat bahunya, lalu memperhatikan Gita lebih dekat.

"Git maskara lu ada yang ngegumpal tuh."

"Emang iya ya Om? Bentar Gita lihat dulu di kaca."

"Nggak usah biar gue yang liat dari sini, tutup mata lu biar gue ambilin yang ngegumpal."

Gita memejamkan matanya. Jevi mulai dihadapkan dengan jutaan hal yang membuat dia merasa dirinya tak lagi menapak di darat. Sungguh keterlaluan respon biologisnya di hari-hari belakangan. Adalah suatu kebohongan besar kalau dia bilang jika dia tak menginginkan Gita sepenuhnya.

"Om udah?"

Wajah itu, bibir itu, tubuh itu, dan semuanya, apakah haram bagi Jevi miliki untuk selamanya? Lagian perbedaan usia yang jauh seharusnya tak terlalu bermasalah asalkan Gita yang masih remaja rela bersuamikan laki-laki yang hampir berkepala empat dan tak lagi perjaka. Iya, seharusnya tak apa-apa, tapi tunggu, mikir apa sih ini. Kenapa pikirannya malah ngaco kayak gini.

"Maafin gue Git, gue nggak kuat!"

"Maksud Om?"

Gita baru saja membuka mata, tapi langsung tercekat karena bibirnya kini sudah dilumat. Terasa hangat apalagi ketika tubuh besar Jevi sudah semakin merapat. Tangan pria itu berada satu di belakang pinggang Gita dan satunya lagi ditekuk gadis itu agar pergerakannya mudah dikendalikan dengan cepat. Gita awalnya memang sempat mendorong tubuh laki-laki itu tapi tak berlangsung lama, karena rasa ciuman ini benar-benar sudah mengalahkan logika mengenai jarak usia beserta status mereka berdua.

Lembut sekali di bibir, seolah-olah Jevi melakukannya dengan perasaan yang selama ini tertahankan. Gita terlena di antara jantungnya yang berdetak kuat. Dia balas lumatan itu sembari tangannya dia kalungkan ke leher Jevi yang kokoh. Dia sedikit berjinjit agar majikannya itu tak terlalu pegal menunduk karena perbedaan tinggi di antara mereka berdua. Kehangatan ini rasanya mengalahkan hangatnya mentari pagi yang baru bangkit. Dan benih-benih perasaan mengasihi di antara mereka berdua mulai tumbuh dan akan segera menampakkan diri ke kehidupan sehari-hari.

Jevi tersenyum haru ketika pergulatan bibir mereka diakhiri dalam 90 detik lumatan yang lembut. Dia kecup puncak kepala Gita kemudian mengusapnya penuh dengan kasih sayang.

"Makin jago ya lu? Jangan lu praktekin ini ke siapa-siapa kecuali ke gue. Ayo sarapan!"

Gita mengekori Jevi di belakang, dalam dada pria itu kini seperti sedang diletupi kembang api yang jumlahnya jutaan.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang