TAK ADA SOPAN-SOPANNYA SAMA ORANG TUA

501 2 0
                                    

Jevi pulang terlalu larut, rumah sudah gelap, dan sepertinya pembantunya itu sudah terlelap dari tadi. Jam satu dini hari, dia memutuskan balik ke rumah dibanding harus berseteru dengan Maminya lagi tentang rencana perjodohannya yang harus dilanjut. Jevi butuh ketenangan dibanding harus terprovokasi dengan pandangan seseorang untuk menentukan keputusannya. Dia coba memikirkan untung rugi menikahi janda itu semalaman ini, dia harus memprediksi nasibnya nanti saat langsung mempunyai dua tanggungan lain sebelum dia punya darah dagingnya sendiri.

Jevi hempaskan dirinya ke sofa, lalu dia berusaha memijat kepalanya sendiri yang kembali pening. Ada saja masalah yang menderanya akhir-akhir ini. Bahkan untuk suatu kesempurnaan yang datang selalu disertai dengan kecatatan yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Jevi berjalan dengan tujuan ke arah kulkas di dapur karena kerongkongannya mulai kering dan serak. Rencananya, dia mau ngambil air dingin untuk pereda haus. Dia nyalakan lampu satu-satu sampai menuju tempat tersebut. Satu hal menarik perhatiannya yakni kamar pembantu di sayap kanan dapur yang terlihat gelap tanpa cahaya lampu. Jarang-jarang Basagita mau tidur gelap-gelapan tanpa satupun penerang.

Kerongkongannya sudah basah oleh air dingin, sekarang dia penasaran dengan keadaan pembantunya setelah ditinggal lebih dari 1.5 hari. Dia dorong knop pintu yang sudah rusak di kamar itu, dia nyalakan lampu, dan ternyata tempat itu kosong tanpa satupun manusia yang ada di situ.

Gita kemana? Tak mungkin pembantunya itu tidur di ruang lainnya. Enam kamar lain selama tak dihuni, seprai beserta selimutnya sengaja tak dilekatkan agar tak berdebu, dan beberapa kamar juga dikunci sampai ada penghuninya yang baru. Tapi ada satu petunjuk ditemukan Jevi di atas meja kamar pembantunya itu, berupa satu kertas berwarna yang ditulis dengan tinta berwarna biru.

Om, Gita pulang dulu, soalnya nenek sakit. Gita izin ya Om untuk beberapa hari ke depan. Gita udah chat Wa Om dan Mama Om tapi sayangnya tadi pada ceklis satu. Pamit ya Om. See you!

Jevi membaca satu demi satu kata-kata itu untuk memastikan kembali jika dia tak salah mencerna. Dia buka pintu lemari kamar ini. Benar ternyata, gadis itu pasti sudah pulang dengan membawa beberapa barang-barangnya yang dimasukkannya dalam satu tas besar.

Nekat juga, perjalanan darat saja ke tempat Gita bisa dihabiskan sehari semalam. Mungkin dia naik kereta, dilanjutkan dengan bis untuk mencapai kediamannya. Lagian naik pesawatpun percuma, memang lebih cepat 8 jam sih tapi tetap saja hitungannya harus transit 1 kali, dan nyambung dengan bis antar daerah lagi dua kali, dan Jevi yakin juga Gita tak punya cukup uang sebanyak itu untuk naik sarana transportasi udara.

Sepi juga rasanya menunggu besok hari. Jevi baringkan dirinya di kasur pembantunya ini. Berharap pagi cepat datang dan dia bisa melupakan kecemasannya sekarang dan larut lagi pada kesibukan besok hari.

---

Pria berkemeja putih bersih itu sedari tadi tampak gelisah. Dia duduk sambil memutar-mutar pena dan menggerakkan kursi putar itu ke kiri dan ke kanan. Maminya baru saja menelepon ke nomor kantor, memberitahukannya jika Nabila akan datang sebentar lagi ke sini untuk menemuinya. Jevi aslinya tak siap, tapi demi usaha travelnya ini bisa bertahan lama dengan sokongan modal orang tua, terpaksa dia iyakan dan bersiap dengan penyambutan.

Penyambutan seperti apa sebenarnya yang harus disiapkannya kini? Nabila tak akan suka dengan setangkai mawar yang digigit seorang pria yang memakai kemeja yang kancingnya dibukakan tiga, dan tipe seperti dia juga tak suka dengan tas mewah dan seperangkat lingerie di atasnya sebagai sogokan agar dia memakainya untuk bercinta pada kencan pertama. Nabila itu dari penampilannya tidak menunjukkan cewek sembarangan yang mudah terperdaya degan barang mahal dan bukan juga orang yang haus akan rayuan karena sejatinya dia sudah kaya raya dan selalu menjaga auratnya.

Jevi bingung sendiri, tapi pintu sudah diketuk tiga kali.

Tok tok Tok

"Iya masuk!" sahut Jevi.

Baru saja Jevi bergulat dengan pemikirannya. Sekarang ukhti-ukhti solehah dengan setelan biru toska itu sudah di hadapannya. Dia juga menyertakan satu anaknya yang memakai setelan yang sama persis dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mereka berdua itu dari segi penampilan sudah kayak anggota dari grup pengajian subuh-subuh yang mengisi acara dakwah di TV.

"Mas, kenalin ini anak aku namanya Rara, nama aslinya Humaira cantika. Umurnya masih 7 tahun 7 bulan. Ayo Ra kenalin diri ke Om Jevi!"

Rara menatap laki-laki itu dengan tatapan membenci. Seperti Om-om gagah ini adalah ulat bulu baginya yang musti disingkirkan dari hadapannya sekarang juga.

"Hai Ra, Nama aku Om Jevi, panggil Om Jev aja ya."

Jevi bangkit dari kursi untuk melihat anak perempuan lucu berpipi gembul itu secara lebih dekat. Dia tundukkan badannya sejajar dengan tubuh Rara ketika mereka saling berhadap-hadapan.

Plak, suara itu tak keras, malah hampir tak terdengar. Sakitpun tidak, tapi tetap saja Jevi syok dengan anak dari calon istrinya itu. Tampilan anak itu kelihatan rohani sekali, tapi kelakuannya itu roh halus. Barbarnya juga tak kira-kira dalam menyingkapi orang yang tak dia sukai, bukan buang muka lagi, tapi sudah menampar meski tenaganya masih lemah adanya.

"Rara nggak mau punya Abi kayak dia!"

Sumpah, anak ini belum apa-apa sudah menabuh genderang perang. Apa dipikirnya Jevi mau kali ah punya anak macam titisan dajjal kayak dia. Tak ada sopan-sopannya sama orang tua.

"Eh Ra, nggak boleh gitu sama Om Jev, Rara sini deh ke Umi. Biar Umi bilangin sesuatu."

Anak itu lalu dipeluk oleh Umi nya tapi tak membuat Jevi bisa berdamai begitu saja dengan apa yang sudah terjadi. Apalagi setelah didudukkan di sofa agar dia dapat menenangkan diri, dia masih bisa berkata-kata bermaksud untuk menghina Jevi bertubi-tubi.

"Masih gantengan Abi, ngapain sih Umi habis-habisin waktu sama dia. Liat aja mukanya jahat gitu."

Jevi menggeleng tanda tak suka. Muka laki-laki itu benar-benar sudah berubah ekspresi seperti dalam hatinya telah terpantri jika bocah kecil ini akan menjadi musuh abadinya selamanya. Jika bukan anak Nabila saja, kayaknya ini anak sudah Jevi gantungkan ke dinding dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Biar kapok tuh mulut agar tak asal bicara.

"Umi kenapa sih ..." ucapan Rara segera terpotong karena Nabila sudah mendekap mulutnya dengan telapak tangannya yang hangat.

"Mas, maaf ya. Anakku yang satu ini memang suka sekali bikin ulah. Mungkin karena sampai sekarang tak bisa menerima jika aku dan suamiku pisah."

Jevi mengangkat bahunya dan menaikkan bibirnya sedikit. Dari dulu Jevi memang tak suka dengan anak-anak apalagi tingkahnya macam Rara yang tak ada sopan-sopannya. Untung saja selama ini, dia tak pernah kebablasan dalam berhubungan badan, selalu punya pencegah kehamilan untuk dia pakai sebelum mantap-mantapan. Kalau nggak, nggak kebayang berapa banyak kehamilan yang telah dia ciptakan pada banyak wanita berbeda yang pernah tidur bersama di ranjangnya itu. Anak hasil zina ntah bagaimana pula kelakuannya, anak hasil bergumul secara sah saja cetakannya macam gini nakalnya.

"Mas, aku minta maaf ya, ayo Ra minta maaf ke Om Jev!"

Rara membuang muka lalu melipat tangannya di bawah dada. Songong sekali gayanya. Dia masih tak terima dihadapkan pada pria yang direncanakan sebagai pengganti Abinya tersebut. Benar-benar tak ada manis-manisnya anak ini, wajahnya doang yang seperti peri kecil tapi tetap saja kelakuannya mengganggu macam kutil.

"Nggak mau ah Umi, Rara ingin pulang! Nggak ada yang boleh menggantikan Abi di dunia ini!"

Gadis kecil itu sudah melepaskan diri dari Uminya tersebut. Lalu dia segera berlarian dan menarik pintu ruangan Jevi agar bisa keluar dari tempat ini. Sekarang tak tau dia kemana, yang pasti Uminya itu segera mengejarnya dan Jevi hanya membiarkan dua anak beranak itu sibuk dengan urusan mereka berdua.

"Ya Tuhan, kesialan macam apa pula ini yang sedang kau berikan," rutuk Jevi dalam hati.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now