PENCARIAN KAMI HENTIKAN!

48 1 0
                                    

Anak itu menangis, terisak, tapi kini dia tak sambil membentak ataupun melukai orang yang dihadapinya. Tangis yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya terdalam, bercampur trauma yang tertancap dan membekas pada benaknya itu. Ayahnya menggendongnya ke dalam rumah setelah dia kabarkan jika pengasuhnya dihabisi sampai lebam-lebam. Semalaman suntuk, mereka berdua itu disekap dalam gudang dengan orang yang berpakaian hitam-hitam, dan salah satu pelakunya bersuara cempreng seperti Gita, mungkin seorang perempuan yang menjadi pelaku penyekapan itu.

"Jadi sekarang Gita di mana, Varo?" tanya Keenan dengan kecemasan tingkat tinggi.

"Nggak tau Yah, setelah aku bangun, dia sudah tak ada di gudang ikan itu!"

Alvaro masih terseguk, kepalanya sekarang ditekuk. Kini pikiran Keenan tertuju pada seorang laki-laki yang kemungkinan adalah Jevi yang menjemput mereka berdua di yayasan tersebut. Bukannya tidak mungkin jika Jevi terlibat dengan semua yang telah terjadi pada dua orang ini.

"Sebentar Ayah ambil obat untuk mengobati lukamu, tunggu di sini. Dan sebentar lagi kita cari Gita!"

Alvaro akhirnya duduk diam di sofa ruang tamu dengan mata yang bengkak, jiwanya terpukul, tak seharusnya di umur sedini ini beban itu dia pikul.

Keenan akhirnya menggendong anaknya setelah mengobati luka di jidatnya. Mereka berdua kini pergi mencari Gita dengan menaiki mobil yang terparkir di halaman. Keadaan ini genting karena bagaimanapun keselamatan Gita juga penting.

***

"Lu kenapa ngikutin gue mulu sih, Dir? Nggak capek ya lu?"

Dira sekarang mengekori Jevi, berjalan di belakang tubuh tegap pria itu terburu-buru. Melewati gerbong demi gerbong sampai tempat yang Jevi tuju.

"Lu duduk di sini Jev?"

Jevi menaikkan barang-barangnya ke tempat bagasi. Diikuti Dira yang melakukan hal yang serupa. Kebetulan sekali kursi di samping Jevi tak berpenghuni, dan gerbong ini sepi karena sangat sedikit diisi penumpang yang lain.

"Lu bukan duduk di sini kan? Tadi tiket lu bukan di sini kan?"

Jevi menghalangi Andira yang ingin menempati di samping kursi yang dia duduki. Wanita ini sungguh gigih untuk membangun kembali hubungannya dengan Jevi. Dia tak terpengaruh dengan apapun usaha Jevi untuk menghindarinya sehingga meskipun mereka berdebat tetap saja Andira berhasil mendapatkan satu kursi di kereta api ini.

"Kan kosong. Boleh dong!"

Jevi melipat dahinya, lalu terpaksa mengizinkan Andira untuk duduk di sampingnya.

"Ya udah silahkan!"

Jevi membuang muka, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melihat bentang alam yang dilalui kereta api ini.

"Jev, kok elu bisa suka Gita sih, emang apa kelebihan cewek itu dibanding gue Jev?"

Perhatian Jevi teralihkan. Dia tersenyum tipis sambil mengenang. Hatinya yang tadi menanggung panik sendiri karena Gita yang mendadak hilang, kini seperti menemukan wadah untuk berkeluh kesah.

"Dia bisa bikin jantung gue kembali bergetar kencang. Dia sederhana, lucu, ngegemasin, baik hati, bikin gue ketagihan, penuh—"

Andira menutup mulut Jevi rapat-rapat dengan telapak tangannya yang hangat. Kini mata wanita itu berkaca-kaca. Pernyataan Jevi itu benar-benar menghancurkan hatinya.

"Jev, apa gue dulu nggak kayak gitu? Gue juga sama kayak dia. Emang lu lupa kalau gue pernah lu bilang sederhana, lucu, ngegemesin, dan bikin ketagihan. Tapi kenapa nggak lu perhitungkan untuk jadi pendamping lu Jev? Kenapa?"

Andira berubah bengis, rasanya Jevi terlalu tidak adil memperlakukannya seperti ini. Kenapa hanya Gita yang laki-laki itu cintai, padahal semua kualifikasi yang diucapkan Jevi tadi juga Andira punyai. Ya dulu, masa lalu, saat mereka masih berbagi ranjang untuk menyalurkan birahi.

"Makanya lu dengerin gue dulu, jangan bekap-bekap kayak gini aja, wanita itu punya satu yang membedakan dibanding elu dan wanita lainnya. Dan yang membedakan itu adalah Gita merupakan manusia yang penuh cinta. Sama siapapun dia berurusan, dia menghindari menyakiti orang lain apalagi membunuh seseorang demi mewujudkan sebuah ambisi untuk laki-laki yang dia cintai. Hati tunangan gue itu bersih dan tulus, makanya gue mencintai dia dengan semua yang gue miliki."

Jevi menghembuskan napasnya sedikit lega dengan apa yang disebutkannya barusan. Memang itu sindiran tegas untuk seorang Andira yang notabene-nya pernah ditangkap untuk sebuah kasus percobaan pembunuhan dan akibatnya yang disindir-sindir sekarang memandangi Jevi dengan dahi berkerut-kerut.

"Oh gitu ya Jev? Permisi gue ke kamar mandi dulu!"

Andira bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan laju kereta api. Dia berjalan terbata-bata karena emosinya terasa membakar sampai ke rongga dada. Tangisnya pecah, napasnya sesak, badannya bergetar, rasanya dia baru saja terhempas dari gedung yang tinggi lalu menjadi berkeping-keping setelah mendengar pengakuan Jevi tadi.

"Dir, jangan balik ke sini lagi ya, balik aja ke tempat lu lagi. Nanti ada kondektur kereta yang bakal meriksain tiket Lu!"

Jevi memperingatkannya dengan sedikit berteriak, Andira tak sedikitpun menoleh pada laki-laki tersebut. Kini dia percepat langkah agar sampai ke tempat tujuannya di toilet gerbong ini. Ingin sekali dia buat hidup wanita yang disukai Jevi itu hancur sehancur hancurnya dan tak akan ada lagi di bumi. Sisi tergelapnya sekarang sudah mulai kembali unjuk gigi.

Pintu toilet itu terbuka. Andira masuk dan mengambil handphone yang ada di saku celana levi's nya. Ini saatnya. Ya, ini adalah waktu yang tepat untuk itu semua.

"Bunuh dia! Buang jasadnya ke lautan luas dan pastikan dia tak akan kembali lagi!"

Andira menyeringai dengan tampang yang puas setelah seseorang di telepon itu berbicara 'siap'. Beginilah jiwanya yang sesungguhnya; ganas, tanpa belas kasihan, dan berbahaya.

***

Keenan masih mencari pengasuh anaknya itu setelah berputar-putar hampir di bagian semua desa kecil ini. Polisipun sudah turun tangan dari tadi, mencari keberadaan Gita yang kini tak diketahui. Hanya Alvaro yang kini menjadi saksi kunci sedangkan laki-laki yang bernama Jevi masih belum bisa dihubungi karena satu-satunya yang punya kontaknya hanya Amri. Adik pertama Gita itu masih sekolah sampai jam 1 nanti.

Duda tampan itu berulang kali menghela napasnya, ada rasa kepanikan di dalam dadanya apalagi setelah Alvaro berulang kali berbicara tentang mengerikannya kondisi Gita dini hari tadi. Keenan yakin ini sebuah kejahatan yang tak ada hubungannya dengan perampokan, tetapi merupakan sebuah kejahatan yang terencana dan mempunyai motif melebihi memperebutkan harta benda yang korbannya miliki.

Ponsel Keenan berbunyi nyaring. Itu dari salah satu polisi. Untunglah, kasus ini cepat ditangani walaupun belum mencapai 1x24 jam berkat teman Keenan yang termasuk jajaran petinggi di instansi tersebut.

"Pak, pencarian kita hentikan, yang dicari sudah kami temukan!"

"Bagaimana keadaannya Pak?"

Hembusan napas polisi itu terasa berasal dari tarikan yang sangat dalam. Keenan semakin jantungan dibuatnya.


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now