LUAR BIASA GILA!

72 1 0
                                    

Terminal ini terlihat cukup ramai meski matahari baru saja bangkit dari tempat peraduannya. Jevi sudah datang 10 menit lebih awal sebelum bus yang akan di membawanya ke kota sebelah itu datang ke sini. Tak ada yang mampu dia usahakan saat ini dari hubungannya dengan Gita yang terasa sudah di ujung tanduk. Semalam wanita itu beserta Alvaro sudah dia cari-cari mulai dari rumah Keenan sampai kediaman Gita sendiri. Berputar-putar dengan taksi, sampai sang supir yang kelelahan harus Jevi gantikan sendiri di bangku pengemudi. Ntah kemana kekasihnya itu pergi, apalagi Hpnya juga tak bisa dihubungi, rasanya Jevi benar-benar mati berdiri karena kekuatirannya yang menjadi-jadi.

Mengantuk dengan muka yang lusuh adalah hal yang Jevi rasakan kini. Dia belum mandi, hanya berganti pakaian, dan wajahnya lebih banyak ditekuk untuk menahan kantuknya yang semakin menggerogoti. Semalaman suntuk dia tak bisa tidur berhubung beratnya beban mental yang harus ditanggungnya. Matanya tetap siaga, pikirannya mengelana, di otaknya hanya ada nama kekasihnya dan bertanya-tanya bagaimana kabarnya dan di mana tempatnya berada saat di pagi buta.

Jevi takut jika dua orang itu salah menaiki taksi dan berakibat mereka diculik, dibunuh, digerogoti organnya, lalu dikremasi untuk menghilangkan jejak. Semuanya bisa saja terjadi, kejahatan semakin canggih, karena tekanan ekonomi semakin menghimpit.

Ah, perpisahan kali ini tak akan ada senyum, tangis, maupun lambaian tangan dari sang bidadari. Yang hanya ada keresahan Jevi yang tak mau berhenti.

Tak lama bis yang ditunggu datang menghampiri, Jevi harus segera menaikinya sebelum penuh dengan penumpang yang lain.

Dia sandang kembali ranselnya sekaligus menggenggam satu bungkusan yang berisi pakaian pengantin di tangan kanannya. Lalu masuk ke dalam bus itu dengan secepatnya.

Duduk di dekat jendela pada barisan sebelah kiri. Mencoba menutup matanya sesaat untuk beristirahat untuk perjalanan panjang sebentar lagi. Bagaimanapun, tubuhnya ini punya waktu tak bisa diajak kompromi karena kelelahan yang berarti. Kerjaan di perusahaannya masih banyak, maksimal dia harus sampai besok pagi sebelum subuh agar ada persiapan untuk meeting bersama klien yang berasal dari luar provinsi.

Huft, kadang perencanaan tak seindah kenyataan. Ingin memperbaiki masalah, eh malah nambah masalah. Dan lebih berat lagi masalah itu hanya bisa diselesaikan dengan kebesaran hati dari salah satu pihak yang tersakiti. Ada-ada saja kehidupan percintaan tuan muda ini!

"Hai Jev, apa kabar?"

Seseorang yang menutup tiga perempat kepalanya dengan hoodie duduk di samping Jevi yang sudah terkantuk-kantuk. Pria itu akhirnya mengangkat kepalanya untuk memastikan siapa yang barusan datang dan duduk di sampingnya.

Sudah gila, luar biasa gila. Andira membuntuti Jevi sampai ke tempat ini rupanya. Bagaimana bisa, daerah sejauh ini bisa didatanginya. Kadang yang namanya obsesi terhadap seseorang bisa saja tampak menakutkan untuk orang yang dikejar-kejar.

"Elu! Ngapain lu di sini?" Jidat Jevi segera mengernyit, sulit mempercayai siapa yang sekarang berada di sampingnya itu.

"Gue Andira Jev, yang sering seranjang bareng lu saat umur lu 29 tahun. Lupa?"

Mata Jevi berkedip-kedip. Wanita ini sungguh berbahaya, ambisinya terhadap pria itu sudah melewati keinginan manusia normal. Pantas dia bisa melakukan percobaan pembunuhan terhadap Ana di satu dasawarsa yang lalu. Bisa menghalalkan segala cara demi laki-laki yang disukainya dapat jatuh ke kakinya. Meskipun dengan pertumpahan darahpun yang akan terjadi selanjutnya.

"Dira, kenapa lu bisa ke sini? Lu emang saking nggak ada kerjaannya banget ya membuntuti gue sampai ke tempat ini?"

Andira tertawa pelan, Jevi tentu saja sudah tak nyaman. Dia ingin mengemasi barang-barangnya dan segera turun dari bus ini tapi sayang kendaraan ini segera berjalan, dan Jevi kehilangan keseimbangan saat bangkit dari kursi.

"Udah Jev, duduk aja kenapa sih? Heboh amat sih!"

Andira menarik tangan Jevi agar tubuh laki-laki itu dapat duduk lagi. Jevi pasrah, iya, dia harus rela berdekatan dengan wanita ini untuk 3.5 jam ke depan.

"Dulu lu ingat nggak Jev, kita pernah terjebak hujan dan jalanan licin waktu ke puncak, akhirnya kita semalaman di mobil karena lu bilang lu capek nyetir dan berhubung saat itu gue juga nggak bisa nyetir, akhirnya kita nginap di mobil lu yang diparkiran di depan warung yang sudah tutup sampai pagi menjelang?"

Jevi melirik Andira sekilas, ingatan itu kembali berulang. Jevi tak akan lupa hal tersebut, meski dia tak pernah mengingat hal itu sebagai kenangan spesial.

"Gue yakin lu nggak pernah mengalami itu dengan Gita kan? Gadis bau kencur itu? Lagian lu kenal sama dia nggak selama gue kenal sama lu Jev!"

Jevi menghela napasnya. Otaknya terlalu lelah untuk berdebat dengan wanita yang berumur dua tahun di bawahnya itu.

"Gue ngantuk Dira, gue tak bisa memberi informasi sekarang. Lu kalau ingin gue kasih tau mengenai Gita dan apa kehebatan dia sehingga gue jatuh di kakinya, lu musti tenang dan biarkan gue beristirahat sebentar."

Jevi menyandarkan kepalanya pada belakang sandaran kursi di depannya yang kebetulan kosong. Dia lelah dan gundah gulana.

"Ya silahkan, tidurlah Jev. Gue selalu mencintai lu bagaimanapun buruknya elu. Itu kelebihan gue dibanding pacar lu itu, dan gue akan memperjuangkan elu sampai gue tak berdaya lagi untuk menyingkirkan mereka yang menjadi penghalang hubungan kita. Lu segalanya bagi gue, Jev!"

Jevi sudah terlelap dengan kepala yang sedikit menunduk dan bersandar di kursi di depannya. Semuanya sudah tak mampu dia dengarkan karena mimpi sudah menjemputnya. Tak lama, Andira membawa Jevi ke bahunya agar kepala laki-laki itu dapat bersandar di sana dan tanpa sepengetahuannya tentunya. Dia genggam hangat tangan Jevi, sehangat mentari yang sedang memeluk bus pagi ini, lalu dia berharap dapat masuk dalam mimpi yang sedang digeluti laki-laki itu pada lelapnya yang semakin dalam.

***

Keenan sudah pulang subuh tadi. Tak mendapati anaknya maupun Gita di dalam rumah ini, benar-benar membuatnya beremosi. Apalagi dari tadi nomor Nanny anaknya itu tak bisa dihubungi, sungguh membuatnya berniat untuk lapor ke polisi. Baru dua hari ini dia meninggalkan mereka berdua, tapi bisa-bisanya Gita membawa anaknya pergi tanpa permisi. Keenan yang sejatinya sangat paranoid dengan keselamatan Alvaro berulang kali menghentak-hentakkan kakinya ke lantai keramik, setengah jam terasa neraka baginya tanpa kejelasan seperti ini. Dia usap mukanya berkali-kali, mencari-cari kontak lain yang bisa dia hubungi termasuk guru Alvaro sendiri. Dan satu yang bisa dia dapati, jika Nanny anaknya beserta anaknya tersebut sudah dipastikan pulang siang kemaren dari yayasan tersebut bersama laki-laki dewasa yang guru itupun tak tahu.

Ting tong ting tong ting tong ting tong

Keenan tersentak, mungkin Bi Minah sudah di luar untuk bekerja hari ini. Dia langkahkan kakinya segera menuju gerbang untuk melihat siapa yang ada di sana. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan seorang bocah laki-laki yang jidatnya berdarah dan dia sendirian tanpa keberadaan pengasuhnya.


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz