HAI SAYANG, APA KABAR?

132 1 0
                                    

"Hai Sayang, apa kabar? Kok udah beberapa hari ini nggak ngabarin aku!"

Seorang wanita dengan dandanan yang kentara datang dengan muka yang tak tenang, menghampiri Jevi yang sedang menghabiskan makan siangnya di kantor ini.

"Nggak penting ngehubungin lu juga! Nggak suka gue ngehubungin elu, apalagi kalau lu yang hubungin gue!" ucap Jevi santai lalu menggulung mie instannya dengan garpu.

"Oh gitu ya? Ya udah. Tapi tau nggak sih Foto pra wedding kita udah jadi loh. Kamu nggak mau liat apa?"

Dahlia menyerahkan ponselnya, setelah mencari foto yang dia maksudkan itu. Jevi menggeleng saat Hp itu disodorkan, dia tidak berminat dengan apapun itu selama masih berhubungan dengan wanita ular ini. Kalau bisa, Dahlia yang baru saja menghempaskan bokongnya dari kursi di hadapan Jevi segera pergi dari hadapannya sekarang juga..

"Jev, kamu dengerin aku nggak sih, ntar lagi kita nikah loh ini!"

Jevi tetap mengunyah mie instan gorengnya tanpa mau berhenti. Biarkan saja janda ini berkicau meskipun tak akan lagi ditanggapi.

"Jev, Jevi Nugraha?" ucapnya sekali lagi.

Dahlia melemparkan sudut tasnya ke muka Jevi. Laki-laki itu tersentak, wajahnya mendongak ke wanita yang baru saja bangkit dari duduknya. Berani-beraninya Dahlia melemparkan tas murahannya itu pada pemilik kantor ini.

"Apa ah? Pergi lu, atau gue panggilin satpam buat ngusir lu dari sini!"

Dahlia menatap Jevi dengan tampang yang membenci. Wanita yang memakai dress biru itu akhirnya pergi dengan menyiapkan amunisi di otaknya agar laki-laki itu menyesali perbuatannya kali ini.

***

Rindu itu datang begitu saja tanpa permisi. Baru juga dua hari tak bertemu wanita itu Jevi sudah tak tahan untuk kembali berjumpa. Apalagi setelah mereka berdebat kemaren malam, sampai sekarang tak ada percakapan apapun yang tercipta di antara mereka berdua. Semuanya sama-sama meletakkan gengsi di posisi tertinggi. Tapi kini Jevi akan mengalah untuk memulai kembali percakapan agar kemarahan sesaat tersebut tak berlarut-larut. Jevi akhirnya sedikit tersadar juga, Gita tak akan bisa bersujud-sujud di kakinya demi meminta maaf, jadi lebih baik memulai kembali dibanding menunggu wanita yang dicintainya berinisiatif untuk mengulang permintaan maafnya.

Jevi: Sayang, lagi apa? Om rindu Gita!

Gita yang masih bergulat pada busa sabun langsung menghentikan aktivitasnya segera. Dia cuci tangannya lalu dia rogoh kantong celemeknya yang letaknya seperti posisi kantong doraemon itu untuk mengecek pesan apa yang muncul di hp-nya.

Gita tersenyum lebar, jantungnya berdebar, tangannya sedikit bergetar, susah juga menjalani hubungan dengan perasaan yang terlalu menggebu-gebu tapi jarak yang memisahkan mereka berdua terlalu besar adanya.

Sayangku: Gita juga kangen Om, Gita lagi kerja Om, Gita besok mau ngelamar kerja yang baru loh, jadi baby sitter. Doain Gita ya Om, semoga bakat Ibu Gita ngurusin bayi itu turun ke Gita.

Ah, sepertinya wanita itu tak menyimpan dendam maupun rasa bersalah karena dua-duanya kemaren malam bersikap menyebalkan. Syukurlah jika masalah ini tak sampai panjang kali lebar yang bisa bikin Jevi pusing tujuh keliling. Laki-laki itu tak sabar untuk menunggu Gita untuk pulang kerja, agar mereka bisa berbicara lebih leluasa tanpa kekuatiran jika wanitanya akan dimarahi pemilik kedai makan.

Jevi: Om pasti selalu doain Gita, good luck ya sayang. Ntar malam Om tunggu Gita buat telponan, love you sayang!

Sayangku: Love you too Om!

Gita hanya mesem-mesem membaca apa yang tertera di layar ponselnya itu sambil membalas pesan yang dia terima. Hanya itu saat ini satu-satunya cara untuk mempertahankan hubungan ini, meski tanpa video call maupun bertemu secara langsung. Tetap berkomunikasi meski dengan semua keterbatasan yang ada.

***

Malam ini, iya malam ini. Tak menunggu besok karena tuan rumah tempat Gita bekerja sudah tak sabar melihat pelamar pertamanya walaupun tanpa syarat tertulis yang harus dilampirkan. Iya, menjadi pengurus anak di tempatnya tak perlu menyerahkan ijazah, sertifikat, apapun berkas fisik yang selama ini dibutuhkan oleh banyak perusahaan. Tapi Ria tadi hanya berpesan agar Gita hanya perlu sabar, sabar, sabar, dan sabar. Tak lebih tak kurang. Persyaratan yang terlalu sederhana itu yang membuat Gita optimis akan diterima. Wajar toh kalau kesabaran dibutuhkan untuk seorang pengasuh anak? Itulah yang membuat Gita semakin optimis untuk dipekerjakan majikannya yang baru.

Dan berita baiknya lagi, Gita langsung dipanggil tanpa harus menunggu besok siang, tentu saja saat ini menguntungkan karena dia tak perlu minta izin dan kena pemotongan gaji harian. Pulang bekerja dia langsung ke rumah calon majikannya yang baru, tentunya setelah merapikan sedikit penampilannya. Dia sisir rambutnya dengan jemari, dia basuh mukanya dengan air, dan dia kucek berkas noda-noda minyak makanan di bajunya meski tak bersih sempurna dari pakaiannya tersebut. Lagian tak mengapa, karena kabarnya selama bertugas nanti, Gita juga difasilitasi oleh pakaian yang baru semacam seragam khusus pekerja di rumah majikannya yang baru.

Ini seharusnya benar rumahnya, berlantai dua, gaya minimalis modern, bercat biru toska, jalan seroja nomor lima, dan ada kolam ikan di halamannya. Gita pencet bel di pintu gerbangnya sembari mengintip di antara logam yang berlubang untuk melihat ke arah teras. Tak lama setelah bel itu ditekan, laki-laki paruh baya keluar dengan pakaian dinasnya. Sepertinya dia berumur 45 tahun, kulitnya terang, darahnya sepertinya campuran karena matanya mempunyai iris coklat muda, alisnya tebal dan rambutnya sedikit ikal. Secara umum dia tampan dan menawan.

"Mohon maaf Pak, saya mau nanya alamat Pak, apa benar di sini jalan seroja nomor lima?"

Laki-laki itu menatap Gita dingin setelah pintu gerbang itu terbuka sempurna. Dia perhatikan penampilan orang yang di depannya itu dari atas sampai bawah tanpa berkedip. Wanita itu langsung merasa insecure dan terintimidasi oleh tatapan tersebut.

"Kembali besok pagi ke sini, jam setengah tujuh tanpa terlambay, dan tolong berpakaian rapi dan bersih. Saya tidak mau anak saya terkena penyakit karena bertemu dengan orang seperti kamu!"

Gerbang itu tertutup kembali dan dikunci lagi dengan gembok yang sudah terbuka tadi. Gita tercenung, kakinya tak bergerak sesentipun, demi apapun juga, dia tak pernah mendapatkan pembicaraan setega itu walaupun ditolak berkali-kali pada pekerjaan. Tapi ntah kenapa orang kaya ini mulutnya tanpa filter sehingga terlalu menyakiti lubuk hati Gita? Apa dia tak bisa berbicara baik-baik saja meski maksudnya sama?

Ujian apalagi ini Tuhan, tapi melihat Gajinya yang menembus dua juta lebih, Gita harus kuatkan mentalnya, demi tak bermain lagi dengan busa-busa sampai 12 jam lamanya, dia harus perjuangkan nasibnya ke depan. Titik tak pakai koma!


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now