When Music Hides Anything

611 60 10
                                    

"LO pulang sekarang gak, Yo? Bareng, gak?"

"Gue nanti dulu, deh. Mau ngambil tas dulu di kelas," kataku berjalan keluar dari ruang musik. "Kalian duluan aja."

Aku berjalan menaiki anak tangga satu persatu, sesekali menghindari genangan air hujan yang bisa saja membuatku terpeleset dan mati konyol disini.

"And I will love you, baby
Always and I'll be there
Forever and a day, always."

"Lah astaga, lo bikin gue kaget aja," kataku setengah berteriak, ketika mendapati seorang perempuan yang menenggelamkan kepalanya ke atas meja, dengan tangan yang lurus ke depan. Di cuaca yang mendung ini, dia malah cosplay menjadi kuntilanak yang membuat orang serangan jantung mendadak.

Jika aku punya riwayat jantung, mungkin aku takkan mati konyol di tangga, melainkan di kelas ini.

"Lo ngapain, Bethari?" tanyaku membereskan peralatan tulisku yang di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam tas. "Lo gak pulang?"

"Gue mau tidur disini aja," jawabnya asal, dengan nada yang terdengar lemas sekali.

"Ayo, pulang," kataku. "Gue anter."

"Oke."

"Lah, cepet banget berubah pikiran," gumamku, menyeringai. "Lo kenapa, sih? Putus cinta?"

"Bacot. Gak usah ikut campur."

Aku mengatupkan bibirku, lalu mengangguk mengerti. Aku melupakan satu fakta bahwa Bethari adalah perempuan paling jutek dan dingin di kelas ini. Aku bahkan pernah berdebat besar dengannya hanya karena dia adalah salah satu orang yang menentang adanya ekskul musik di sekolah ini.

Ekskul musik tidak terlalu terkenal di sekolah ini. Menurutku sih, masuk akal, karena tak semua orang bisa bermain alat musik. Maksudku, semua orang tentunya suka musik, tapi mayoritas hanya bisa menjadi penikmat daripada penyaji. Itulah kenapa ekskul musik di sekolah ini tidak terlalu hidup.

Bahkan, ekskul musik adalah salah satu ekskul yang diusulkan untuk bubar dan dibuatlah petisi pada minggu lalu. Bethari adalah salah satu orang yang menandatangani petisi agar ekskul musik dapat bubar. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya, tapi di luar dia benci musik atau tidak, dia sangat profesional dalam membuat orang kesal padanya.

"If you told me to cry for you, I could
If you told me to die for you, I would
Take a look at my face
There's no price I won't pay
To say these words to you."

"Eh, Thar, rumah lo sekompleks sama David, kan?" tanyaku tetap berjalan.

Hening.

Aku akhirnya berhenti, kemudian menoleh ke belakang. Aku mengernyitkan dahiku ketika melihat dirinya tertinggal jauh, berjongkok sambil menutup telinganya erat. Rambutnya yang panjang bahkan menyentuh lantai koridor.

"Lo kenapa?" tanyaku.

"Jangan nyanyiin lagu itu," jawabnya dengan nada bergetar. "Gue benci."

Aku masih mengerutkan dahiku, tak sepenuhnya mengerti dengan sikapnya yang begini. "Always by Bon Jovi?"

"Gue benci lagu itu."

Aku terdiam cukup lama, sampai akhirnya meng-okekan permintaannya.

Benar-benar perempuan yang aneh. Itulah kenapa hidupnya bisa seberantakan itu, karena dia tak memiliki musik sebagai pelarian dan dunia kedua baginya.

Sepanjang perjalanan, Bethari hanya diam di dalam mobilku. Aku tak tau dia memikirkan apa, tapi wajahnya benar-benar kusut, seperti ketiban masalah yang cukup besar.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now