Blue Lies

641 57 0
                                    

"MAAF ya, aku lama," ucapnya, membuka pintu kamar. "Burger di tempat biasa tutup."

"Gapapa. Terus, kamu jadinya beli burger dimana?" tanyaku, terkekeh.

"Di deket sini. Jauh-jauh nyari, akhirnya malah beli yang deket rumah," jawabnya.

Dia adalah Arya, lelaki yang menjadi pacarku selama setengah tahun ini. Laki-laki yang datang tanpa diminta, ketika aku sedang kehilangan seseorang yang pernah spesial bagiku. Ibarat kata, dia datang padaku ketika aku butuh seseorang untuk mengobati sekujur tubuhku yang berlumuran darah.

Lelaki ini, berusia lebih tua dua tahun dariku. Mungkin aku baru mengenalnya selama setengah setahun, tapi aku sudah tau banyak tentang dirinya. Terutama, betapa dia mencintai hamburger.

Dari segala hal tentangnya, aku paling menyukai suaranya. Selain suaranya yang bagus, dia memiliki suara yang mirip dengan seseorang yang pernah berstatus istimewa dalam hatiku. Suara itu pulalah yang membuatku tertarik untuk membuka hati untuknya.

Aku menoleh ke arah layar hapeku, fotoku dan dirinya, dengan ransel gunung di punggung kami. Lihatlah, betapa bahagianya senyuman itu.

Tidak, tidak. Bukan fotoku dan Arya.

Seseorang yang pernah berstatus istimewa itu bernama Hatta, mantan pacarku yang meninggalkanku setahun yang lalu. Alasannya meninggalkanku? Karena memang sudah tidak cocok, katanya, haha. Aku tak punya alasan bagus untuk memintanya tetap tinggal bersamaku, jika dia sudah menganggap aku tak lagi pantas untuknya.

Aku berpacaran dengannya selama beberapa bulan dan dia memutuskanku karena katanya, kami tidak cocok. Lalu, apa yang membuatnya bertahan selama ini jika bukan karena kecocokan? Hanya rasa obsesinya untuk memiliki pacar?

Aku terlalu lelah untuk marah, sedih, menangis, dan menyalahkan siapapun. Jika aku melakukan semua itu pun, dia takkan kembali padaku. Jika aku sangat butuh untuk mengeluarkan air mataku agar aku merasa lega pun, kupikir aku sudah cukup kenyang melakukan itu selama berbulan-bulan, usai dia meninggalkanku.

Lalu, di suatu malam dimana mataku masih bengkak karena menangis seharian, aku tak sengaja bertemu dengan Arya. Aku ingat sekali, malam itu dia tak sengaja menjatuhkan burger yang kubeli. Aku tak marah, tapi dia tampak begitu khawatir kalau aku akan marah padanya, itulah kenapa dia mengganti burger itu dengan bonus keju dan telur di dalamnya.

Padahal sebenarnya, aku tak suka ada telur di dalam burgerku.

Pertemuan singkat itu malah membawaku ke sebuah obrolan tak berujung di suatu malam. Dia bilang, dia ingin menyanyikanku sebuah lagu yang berjudul Sunny, milik Bunga Citra Lestari.

Kupikir, aku akan menikmati lagu itu seperti biasa. Namun, betapa kagetnya aku ketika suaranya ketika bernyanyi mengingatkanku pada seorang lelaki yang nyatanya masih memiliki tempat di hatiku, bahkan sampai saat ini.

Arya memiliki suara yang sangat mirip dengan Hatta. Aku benci akan fakta itu karena benteng yang sudah kubangun untuk tak sedih lagi, seketika roboh hanya karena suaranya yang mirip dengan masa laluku, dengan ilusi yang mengatakan bahwa yang bernyanyi untukku sekarang bukanlah Arya, tapi Hatta.

Aku merindukan Hatta. Kerinduan yang kukubur dalam-dalam itu berhasil keluar dengan kemauannya sendiri, menginjak-injak diriku yang sudah jahat kepada mereka, mengubur mereka hidup-hidup.

Aku tak bisa melupakannya. Faktanya, aku masih mencintainya. Mungkin hubunganku dan dirinya tak berlangsung lama, tapi perasaanku tulus dan sulit untukku menghapus dirinya dari kepalaku.

Entahlah. Aku bisa melupakannya, tapi aku tak mau. Hati ini masih berharap bahwa suatu saat dia mencariku dan datang kepadaku lagi, meminta maaf dan mencoba memperbaiki semuanya lagi. Namun, kupikir, aku yang terlalu berharap.

Lantas, jika benar suatu saat dia mencariku dan kembali kepadaku, apa yang harus kulakukan dengan Arya? Mencampakkannya begitu saja?

Selesai dengan burgernya, mencuci muka, dan menyikat gigi, Arya pun berjalan menuju tempat tidurnya. Perlu kalian ketahui, bahwa aku saat ini tengah berada di rumahnya Arya. Tidak, bukan Arya yang brengsek dan memintaku ke sini, tapi atas kemauanku sendiri. Aku tak ingin sendirian. Aku ingin dia ada di sampingku, menemaniku agar aku tak kesepian dan larut dalam kerinduan.

Sayang sekali, dia tak tau bahwa selama ini aku masih merindukan orang lain, di belakangnya.

Biar kuberitahu. Arya mungkin bukanlah lelaki yang selalu baik. Namun setidaknya, dia memiliki hati yang sangat hangat saat bersamaku.

"Gak tidur?" tanya Arya seraya menyetel suhu AC, memandangiku yang duduk di kursi belajarnya sambil melamun. "Ayo, sini."

Aku tersenyum ringan, ringan sekali, hampir tak terlihat. Mungkin dia sudah sering melihat senyum paksaku yang seperti ini. Aku selalu mengukir senyuman yang membuat keadaannya seakan-akan dialah yang memaksaku untuk berada di sisinya. Padahal, aku yang ingin berada di sampingnya. Aku tak ingin sendiri.

Aku pun berbaring di sebelahnya, saling tatap. Dia memandang mataku sangat lama, kemudian tersenyum ringan. Jika saja dia jago membaca bahasa tubuh, mungkin dia sudah melihat kebohongan di mataku sejak lama.

Bagaimana aku bisa menjadikan seseorang dengan wajah dan sifat yang sesempurna dia menjadi samsak tinjuku, selama setengah tahun ini?

"Ada masalah apa lagi hari ini?" tanyanya, mengusap rambutku pelan. Matanya mulai terpejam. Aku tau, dia sudah mengantuk daritadi. Lagipula, ini sudah jam dua pagi.

"Gak ada masalah apa-apa," jawabku, tersenyum. "Look at that face. How lucky I am to be loved by this handsome man."

Aku menatapnya lama. Alis mata itu. Bulu mata itu. Wajahnya benar-benar tampak lelah. Dia pasti lelah karena sibuk mengurus skripsi dan aku tau, juga tak mudah baginya. Saat sudah begini pun, dia masih saja ingin mendengarkan hariku.

Air mataku mulai berjatuhan. Ah, begini lagi.

Bahkan setelah diriku dirangkul sehangat ini pun, aku masih saja merindukan Hatta. Bahkan ketika aku tengah berbaring di sebelah orang lain pun, aku masih memikirkannya dan penasaran dengan kabarnya.

Lihatlah betapa istimewanya bagiku setiap bagian dari diri lelaki yang sudah menghancurkanku itu, bahkan suaranya yang mirip dengan suara Hatta pun, mampu membuatku membuka hati untuknya.

Aku benar-benar jahat, menjadikan Arya sebagai ilusi agar aku masih bisa merasakan kehadiran Hatta di sekitarku, meski dalam hal kecil. Arya bukanlah dokter yang kehadirannya untuk semata-mata mengobati aku, tapi dia ada untuk saling mencintai. Namun, aku selalu saja mencurangi dirinya.

Pernyataan bahwa cinta itu buta benar-benar valid. Setelah aku bertemu dengan Arya, yang sepuluh kali lipat lebih baik dalam segi apapun dari Hatta, aku masih saja menginginkan lelaki bodoh itu.

Aku ingin sekali mencintai Arya seperti Arya mencintaiku. Andai hal itu dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Andai aku bisa.

Aku memeluk Arya semakin erat, merasakan kehangatan yang menebal. Dalam keheningan dan remang-remang ruangan ini, pelukan itu menyiratkan dua pesan dariku, yaitu terima kasih karena sudah ada untukku dan maaf karena aku tak bisa mencintaimu seperti apa yang kamu pikir.

-----------------------------

ditulis dan dipublikasi oleh maleficentvl, pada Selasa, 3:01 AM, 24 Agustus 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora