Loves

231 19 0
                                    

"BUKANNYA bulan depan kita udah berencana buat jalan-jalan?" Aku mengernyitkan dahi. "Kok tiba-tiba ada tugas dadakan?"

"Aku juga bingung," kata Caca. Dia menatapku khawatir, takut aku akan kesal akan berita dadakan ini. "Bulan depan kan harusnya libur, tapi malah... maafin aku, Re."

Aku memandangnya lama, lalu menghela napas berat. Sepersekian detik, aku mengelus kepalanya penuh sayang. "Gak usah dipikirin. Kita bisa jalan-jalan lain kali, sayang."

Meskipun aku sedikit kesal, tapi jika aku melihat kedua mata yang memandangku penuh kekhawatiran seperti itu, rasanya aku tak sanggup untuk menumpahkan kekesalanku di depannya. Toh, ini juga bukan salahnya.

Caca adalah istriku. Kami sudah menikah selama setahun. Mungkin, karena kami menikah pada usia yang cukup muda, yaitu 23 tahun, maka waktu kami lebih banyak tersita untuk pekerjaan.

Sebenarnya, sebagai seorang dokter, gajiku jauh lebih cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Aku pun sudah bilang kepada Caca bahwa dia boleh saja menjadi ibu rumah tangga tok dan fokus kepada segala sesuatu di rumah, jika suatu waktu kami sudah memiliki anak. Namun, jangankan memiliki anak, kami saja jarang punya waktu untuk berdua karena kami selalu sibuk dengan pekerjaan. Kami berdua bekerja seharian dan sudah sama-sama lelah setibanya di rumah.

Caca adalah perempuan yang cinta bekerja. Dia sangat senang hari-harinya diisi oleh kegiatan. Yah, seperti yang dia pernah bilang, dia tak mau menjadi wanita yang hanya diam di rumah. Dia mau melakukan sesuatu, setidaknya sampai kami benar-benar memiliki momongan.

"Ada Pak Direktur juga?" tanyaku sembari membaca daftar nama yang akan ditugaskan untuk ke kota tetangga untuk bulan depan.

"Iya. Ada Pak Redi juga," jawab Caca berdiri di sebelahku, ikut melihat daftar nama tersebut.

Aku hanya diam, lalu mangut-mangut.

Caca memelukku dari belakang. "Kamu masih gak suka sama Pak Redi?"

Aku tak pernah menyukai pria itu. Dia pernah menyatakan perasaannya kepada Caca, padahal dia tau kalau Caca sudah berstatus sebagai istri orang. Aku tau, istriku cantik dan anggun, tapi aku benar-benar tak suka jika Caca dilirik oleh pria manapun.

"Sayang," panggil Caca, terkekeh kecil. "Kenapa, sih? Ngambek?"

"Enggak, Ca," Aku mencium puncak kepalanya, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. "I'm not mad, babe. No at all."

Aku menyandarkan tubuhku ke kulkas dua pintu yang sama tingginya denganku itu, lalu meneguk segelas air putih yang ada di tangan kananku.

"Kamu harus duduk kalau mau minum," ujar Caca menasihati.

Aku pun mengambil posisi di kursi dari meja bundar kecil yang ada di sudut dapur, tersenyum ke arahnya, lalu kembali meneguk minumanku.

"Pak Direktur adalah Pak Direktur," Caca berjalan ke arahku. "Kamu adalah kamu. You know, you own the whole of my heart, babe."

Aku tersenyum lagi ke arahnya, lalu mengangguk mengerti.

Caca menangkup kedua pipiku, menatapku lekat. "Do you know I love you so?"

Aku menahan tawaku, menggeleng nakal.

"I love you to the moon and never back," tambahnya. "So, selama aku pergi nanti, remember I love you."

"Darling, you know I love you more."

"I love you most."

Aku menaikkan sebelah alisku. "You sure?"

Caca mengangguk, menempelkan dahiku dan dahinya sampai tak ada jarak di antara kami berdua. "Even if someday we get separated, remember I loved you."

---------------------------------

8 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora