Surat dari Masa Depan

268 25 0
                                    

HARI ini adalah hari yang melelahkan. Aku berada di kampus seharian, mulai dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Rasanya, malam ini takkan ada yang lebih baik selain menikmati cokelat hangat sambil mengerjakan tugas. Ah, yang jadi masalah adalah tugasku masih banyak yang menunggu untuk dikerjakan dan mau tak mau, aku harus menyelesaikannya jika aku tidak ingin menangis karena tumpukan tugas pada esok hari.

Setelah mandi dan duduk di meja belajarku, aku membuka email untuk membuka salah satu tugas berformat pdf yang dikirimkan kepadaku tadi sore. Ah, ada banyak sekali spam yang masuk dan tidak berguna. Mungkin, seharusnya aku tidak meminta Dera untuk mengirimkannya lewat email tadi.

Ketika aku sedang menceklis pesan-pesan tak penting yang masuk, aku mematung ketika aku melihat salah satu pesan yang baru saja hendak kuceklis. Surat itu bertuliskan, Surat untuk Sandra di masa depan. Surat itu datang dari sebuah email yang sepertinya dibuat melalui sebuah website yang memang menampung surat untuk masa depan. Misalnya, aku yang sekarang bisa menulis surat untuk diriku lima tahun kemudian lewat website itu dan surat itu akan datang tepat lima tahun kemudian. Aku ingat, aku memang pernah mendengar hal itu sebelumnya.

Aku mengarahkan kursorku ke pesan tersebut, lalu membukanya.

Halo, sayang! Ini aku, Rian. Aku nulis surat ini tahun 2017 dan kamu bakalan baca surat ini tahun 2022, lima tahun dari sekarang. Kamu pasti udah jadi anak kuliahan ya, keren banget loh. Aku tau, kamu pasti beneran bisa jadi psikiater sesuai impian kamu dari dulu. Moga kamu selalu bantuin banyak orang, banyak duit, banyak pahala, wkwkwk.

Pas aku lagi ngetik ini, kita bakalan ujian semester besok. Kamu sibuk belajar, sampe ga ngabarin aku seharian. Tega banget, sih. Pas aku yang gak ngabarin kamu, kamunya marah-marah. Gak adil banget. Tapi, aku mah baik. Aku gak pernah minta kamu nunggu. Ya, habisnya, aku tau kalau nunggu tuh gak enak banget. Nih, contohnya yang lagi kurasain sekarang. Makanya aku gabut banget sampe bikinin kamu surat.

Aku yakin, lima tahun dari sekarang, hatiku tetep punya kamu. Kamu harus tau seberapa peduli aku sama banyak hal tentang kamu. Aku peduli banget sama semua hal tentang kamu. Jadi, jangan bikin aku khawatir. Aku juga berharap lima tahun lagi, hatimu tetep punyaku. Aku berharap bisa bareng kamu terus. Itu yang paling aku pengen. Aku tau, mungkin orang bilang, kita cuma two kids in love, but I do love you, so what should I do?

Kamu adalah perempuan kesayanganku yang kuharap bisa selalu kujagain, bisa terus ada di deket kamu, ngelindungin kamu dari apapun dan siapapun. Mungkin, rasanya emang egois karena aku pengen deket kamu terus, tapi kamu gak bakalan ngerti perasaanku. Ya, soalnya, di antara kita berdua, kan aku yang lebih sayang kamu. Kamu mah… hm *pasang wajah sedih*

Kamu jangan tertarik sama cowok lain loh, kalopun nanti kita udah lulus. Okeee?

Dari kesayanganmu (yang ditinggal belajar mulu),
Rian.

Aku tersenyum miris usai membaca surat tersebut, lalu segera menekan ikon hapus. Hatiku jadi terasa tak karuan. Akupun menghela napas panjang, lalu membuka pesan berisi file pdf yang seharusnya kubuka sedaritadi, bukannya surat dari Rian.

Rian adalah mantan pacarku. Kami berpacaran sejak 2017 sampai 2019. Kami sekelas. Dia bukanlah murid yang pintar, dia justru murid yang selalu ketiduran di kelas. Dia sangat berkebalikan denganku yang ambisius dan rajin belajar. Namun, aku menyayanginya. Begitu pula dengan dia. Kami selalu bersama. Makan bersama, nonton bersama, mengerjakan PR bersama, dan sebagainya. Aku benar-benar senang bisa dicintai olehnya. Aku merasa dia memberikan semua cinta sebanyak yang dia bisa berikan dan jujur saja, aku tak pernah merasa dicintai sebegitunya, pada waktu itu.

Namun, hal itu tidak bertahan lama. Ketika kami naik ke kelas dua belas, Rian berubah. Rian mulai cuek, bahkan istilah menghilang tak ada kabar seharian yang tak pernah ada dalam dirinya selama kami berpacaran, jadi sering terlihat. Dia selalu sibuk sendiri, entah menghindariku atau semacamnya. Aku mulai merasakan cinta yang perlahan melebur dari hatinya. Aku merasakan bahwa dia berusaha melepaskan gandengannya perlahan sampai akhirnya, kami pun putus.

Dia tak berpacaran dengan siapapun lagi setelah itu. Dia menikmati kehidupannya sendiri. Sebelumnya, dia memang anak motor yang menyukai kebebasan dan pergi sebebas apapun dengan teman-temannya. Terkadang, keberadaanku membuatnya tak bisa pergi bersama teman-temannya, meskipun aku tak pernah melarangnya. Mungkin, itu membuatnya lelah dan seketika, perasaannya sudah tak ada untukku. Lalu, dia pun bahagia.

Namun, bagaimana denganku? Aku mengerti, dia bahagia dengan kehidupannya. Aku mengerti, dia sudah tak masalah tanpaku. Aku mengerti, dia baik-baik saja dengan hubungan kami yang kandas. Namun, bagaimana denganku? Dia meninggalkanku ketika aku mengemban perasaan yang besar di dalam hatiku yang kini hancur berkeping-keping, bahkan kepingan itu melukai sekujur tubuhku. Aku penuh darah, bersimpuh di tengah jalan, ditinggalkan begitu saja. Bagaimana denganku? Bagaimana mungkin dia tega membuatku merasakan perasaan seburuk itu?

Percayalah, ditinggalkan oleh seseorang yang menginginkanmu pertama kali bukanlah hal yang menyenangkan. Aku merasa begitu sakit. Lelaki yang dulunya bisa mencintaiku sebegitunya, tiba-tiba berubah. Memang benar, hati itu bisa segampang itu untuk berbolak-balik. Aku bahkan tak ingin melihat kedua matanya yang melihatku tak seperti biasanya. Tatapan mata yang dingin, memandangku sebagai orang biasa karena kisah kami sudah usai. Aku tak ingin melihat tatapan itu.

Dia bilang padaku bahwa masalahnya adalah dia tak tau kenapa perasaannya bisa hilang begitu saja. Dia juga merasa bersalah atas perasaannya yang labil dan menyakitiku. Kupikir, mungkin usianya bisa lebih tua dibanding diriku, tapi otaknya tetap saja kekanakan dan betapa malangnya perempuan yang bertemu dengan lelaki seperti itu. Hal yang paling menyakitkan adalah… kami putus secara tak jelas. Bahkan setelah putus, dia masih mendekatiku, lalu menjauhiku kembali. Perasaannya yang berubah-ubah benar-benar membuatku bingung. Benar-benar bencana ketika seorang lelaki bahkan tak tau apa yang dia inginkan dan membuat seorang perempuan menderita.

Pada saat kelulusan, aku mengirimkan sebuah lagu untuknya. Lagu itu berjudul Selfish, oleh Madison Beer. Lagu yang mengutarakan isi hatiku kepadanya. Lagu itu kukirimkan pada tengah malam padanya dan dia hanya bisa meminta maaf.

Boy, who you tryna run from?
Me or all your problem?
You know you will never solve 'em
You don't even know yourself

Namun, itu semua sudah beberapa tahun yang lalu. Aku pun sibuk dengan diriku sendiri dan aku yakin, suatu saat aku akan menemukan seorang pria dengan usia yang lebih tua dengan otak dan sifat yang lebih dewasa, tidak seperti Rian. Mungkin, aku pun hanya bertemu Rian dengan versi terburuk dari dirinya. Mungkin, sekarang, waktu telah mengubahnya menjadi seseorang yang lebih baik. Seorang lelaki yang lebih dewasa dengan sifat dan pemikiran yang dewasa pula, serta mengerti tentang dirinya sendiri dan tau apa yang dia inginkan.

Mungkin, semuanya pernah terasa sesakit itu, tapi ada masanya dimana aku bersyukur pernah bertemu dengannya karena tiap sakit yang dia berikan memberikanku banyak pelajaran. Aku pun percaya, tiap orang yang pernah kita cintai akan berhasil mengubah sudut pandang kita mengenai cinta karena bagiku, mencintai dan dicintai tanpa adanya perasaan sakit adalah sebuah omong kosong yang besar. Aku bersyukur bertemu dengan Rian. Aku bersyukur pernah dicintai sebegitunya oleh seorang lelaki, meskipun perasaannya tak menetap untukku.

-----------------------------------------------

12 Sep 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now