Pengecut

119 14 3
                                    

Dunia ini…

"Mika!"

Kedua mataku terbuka ketika seseorang memukul mejaku dengan keras. Sepasang mata dari dua teman dekatku itu menatapku bingung. Aku tau, mereka tak bermaksud mengejutkanku. Mereka memukul meja itu semata-mata untuk membangunkanku yang ketiduran dan jam pelajaran sudah berakhir.

"Kamu mau tidur sampe kapan?" tanya Amel, berkecak pinggang. "Bukannya habis ini giliran kamu bawain buku latihan ke ruang guru?"

"Ah… iya juga," ujarku, meregangkan tubuhku. Akupun segera membereskan peralatan tulis, lalu meraih tasku. "Kalian duluan aja. Aku harus nganterin buku-buku latihan dulu ke ruang guru."

"Oke."

Aku berjalan membawa setumpuk buku latihan milik anak-anak di kelasku itu dengan mata yang masih mengantuk. Akibat bermain game semalaman, aku jadi tidak fokus seharian ini. Aku bahkan hanya tertidur dua jam. Itu hanyalah game jadul yang tak banyak dimainkan oleh orang-orang. Aku memainkannya sekedar hanya untuk bernostalgia, tapi malah kebablasan sampai pagi.

"Eits, ada monster lagi main game."

Aku menoleh ke arah sumber suara dan menghentikan langkahku. Sekitar lima belas langkah dari posisiku, ada tiga orang lelaki yang sedang mengepung seorang lelaki dan memojokkannya ke tembok. Aku memicingkan mataku, mencoba menerawang siapa empat orang itu.

"Monster kok main game monster?" kekeh salah satu lelaki itu, meraih video game dari satu orang yang mereka pojokkan. Dua orang temannya yang lain pun ikut tertawa meledek.

"Lagian game apaan, nih? Bahkan nenekku aja kayanya lebih muda daripada game ini."

Sepersekian detik, video game itupun dihempaskan dan membuat baterai dari video game itu berserakan di lantai. Tiga orang lelaki itupun tertawa puas, pergi meninggalkan seorang lelaki yang hanya bisa berjongkok dan memungut video gamenya dengan wajah datar.

Aku ingat lelaki yang sedang berjongkok itu.

Dia adalah Ari, anak kelas sebelah. Dia sangat terkenal di sekolahku. Bukan karena dia idaman perempuan. Kuakui, wajahnya memang lumayan, tapi bukan karena itu. Dia terkenal bukan karena hal yang baik.

Tahun lalu, dia dituduh sebagai pembunuh yang meninggal karena kehabisan napas di gudang sekolah. Korban adalah tukang bully di sekolah ini dan meskipun itu sempat menggemparkan sekolah karena tentu saja kematian tetaplah hal yang menyedihkan, di sisi lain, ada banyak orang yang juga berpikir mungkin alasan dia dibunuh adalah kelakuan jahatnya sendiri.

Ari 'dituduh' sebagai pembunuh. Bukan berarti dia benar-benar melakukannya. Namun, ada banyak orang yang merundungnya dan menjulukinya 'monster' terutama teman-teman korban. Selain itu, tak ada yang mau berteman dengannya sejak berita itu karena semua orang takut kepadanya.

Aku ikut berjongkok, membantunya mengemasi video gamenya beserta baterainya. Dia mengangkat kepalanya, menatapku dengan datar. Aku menyodorkan salah satu baterai yang kupungut. Sepersekian detik, kedua mataku melebar dengan antusias ketika aku melihat layar video gamenya yang nge-freeze itu menampakkan game yang menjadi alasanku begadang tadi malam.

"Eh, itu game Monster Of Forest, kan?" tanyaku, bersemangat. "Kamu main juga?"

"Iya," jawabnya, singkat.

"Wah, kamu udah level segitu, ya," kataku, kagum.

"Kamu juga main?" tanyanya.

Aku mengangguk. Akupun dengan cepat mengeluarkan pulpen yang kujepit di saku seragamku. "Idmu apa? Boleh ku add, gak?"

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang