Kiss

272 29 3
                                    

"DEMI apa sih, mereka bisa kaya gitu di depan semua orang?"

Aku menoleh ke arah Elis yang tengah duduk di atas sofa dengan mata yang fokus ke televisi dan satu toples makanan di pelukannya.

"Namanya juga film," komentarku. "Lagian, lo ngapain di situ? Mohon maap nih, ye. Perasaan ini tugas berdua deh, kenapa jadi gue yang ngerjain sendiri?"

Elis melirik ke arahku, lalu menyengir kuda. "Ntaran dulu bisa, gak? Gue lagi sibuk, nih."

"Sibuk ngapain, Ogeb? Lo daritadi cuma duduk sambil nonton. Ini tugas prakarya kalau gak kelar hari ini, nilai kita berdua bisa kosong besok."

"Eh, Sen. Menurut lo, mana yang lebih penting? First kiss atau first impression?"

"Itu bukan dua hal yang bisa disamain, Kunti. Udah, buruan lo duduk sini, bantuin gue ngecat," ucapku menggeser cat air tersebut dengan pelan, menyuruh perempuan pemalas yang satu ini segera mengerjakan bagiannya.

Elis hanya merengut kesal, lalu turun dari sofa dan duduk di lantai, di hadapanku, kemudian meraih kuas dan cat air untuk mengerjakan bagiannya.

Jika kalian berpikir bahwa Elis adalah temanku atau sekedar teman satu kelompok denganku, kalian salah. Perempuan lemot ini adalah pacarku. Elis adalah pacarku sejak kenaikan kelas dua belas. Karena kami selalu sekelas dan berteman sejak kelas sepuluh, benar-benar klise rasanya jika kukatakan kami memang terlibat cinta lokasi.

Dia adalah orang yang paling sering kujahili sejak kelas sepuluh. Menaruh katak di laci mejanya, menyembunyikan buku PRnya, mengolok-oloknya, apapun. Dia bahkan pernah menangis dan membenciku karena selalu kuganggu. Namun, kupikir, setiap laki-laki memiliki caranya masing-masing untuk mendekati perempuan yang mereka sukai. Bagiku, mengganggunya lalu menjadi temannya adalah caraku untuk mendekatinya.

Dia adalah perempuan yang pemalas, lemot, dan lucu. Itulah kenapa aku senang sekali menjahilinya. Dia bahkan mendapatkan peringkat tiga dari belakang, sedangkan aku peringkat tiga dari depan. Entahlah, kenapa aku bisa menyukai perempuan seperti ini.

Fisiknya pun tak semenarik itu. Meskipun bagiku, dia sangat cantik, tapi jujur, masih banyak perempuan yang lebih cantik yang menyukaiku dan hatiku hanya tertuju kepada Elis.

"Menurut lo, para aktor dan aktris yang harus kissing di film tuh punya perasaan baper gak satu sama lain? I mean, meskipun cuma sedetik," tanyanya lagi.

"Gak," jawabku. "Kalau profesional, mereka gak bakalan baper."

"Sotoy sekebon."

"Lah, kan lo nanya gue," ujarku. "Kenapa, sih? Perkara kissing scene di film tadi doang malah kepikiran kaya gini."

"Itu impian gue, ya," Elis memberi jeda. "Gue tuh dulu selalu berangan-angan bakalan dapetin first kiss gue sama pacar pertama gue. You know, gue udah 18 tahun, udah dewasa, right? I deserve it."

Aku bergidik. "Alay."

"Eh, tau-tau malah pacaran sama elu yang culun banget masalah gituan," tambahnya, mencibir. "Nembak gue aja gemeteran."

Aku menyipitkan mataku. "What? Bisa diulang, gak?"

"Lo gemeteran," ulangnya, menatap mataku dengan tatapan menantang. "Nembak gue di lapangan basket pake bunga segala. Najis."

"Gak usah najis-najisan lo sekarang. Lo juga merona waktu itu," balasku, kesal.

Aku memang menyatakan perasaanku ketika kami baru saja memenangkan pertandingan basket antar sekolah. Timku memenangkan pertandingan tersebut dan aku sudah ancang-ancang untuk menyatakan perasaanku hari itu, dengan bantuan teman-teman satu timku. Semua warga sekolah melihat itu. Aku, dengan baju basket berwarna hitam bernomor punggung 23, berlutut memintanya untuk menjadi kekasihku sore itu.

Jujur, aku tak ingin dilihat oleh banyak orang seperti itu. Apalagi, menurutku, itu terkesan sedikit alay. Namun, dari jauh hari, sebenarnya aku sudah mencari tau bagaimana 'penembakan' impian Elis. Meskipun menahan malu, setidaknya aku berhasil mendapatkan hatinya. Kebahagiaanku bertambah berkali lipat hari itu. Selain berhasil memenangkan pertandingan, aku pun memenangkan hati Elis.

Karena menurutku, Elis itu unik. Dia tak terlalu cantik, tak terlalu pintar, tak ada hal yang bisa dibanggakan darinya. Namun, dia adalah orang yang seru, mampu membuat suasana menjadi hangat dan menarik, serta banyak lelaki yang tertarik kepadanya karena hal itu. Itulah kenapa, aku senang bisa menjadi orang yang berhasil mendapatkan hati itu.

"Malah pacarannya sama lo yang gak romantis sama sekali," ucap Elis, sibuk mewarnai sketsa tersebut dengan cat air. "Nasib, nasib."

"Terus, lo maunya sama siapa?" tanyaku, menaikkan sebelah alis. "Ferdi? Cowok yang waktu itu selalu lo ceritain ke gue?"

"Uluh uluh, tayang," kekeh Elis, memelukku. "Kagak. Sensi banget, elah."

Aku pun meletakkan jemari tangan kananku di lehernya, membuat wajahnya memandang ke arahku. Elis yang semula terkekeh karena berhasil mengolokku, lantas terdiam dan seketika salah tingkah.

Aku terkekeh sinis.

"Liat, baru gini aja, lo udah mendadak jadi anak kucing," kataku. "Sok-sokan nantangin gue sih lo, Siti Kokom."

"Siapa yang salah tingkah?" tanyanya, mencoba untuk tampak baik-baik saja. "Ngaco. Udah, lepasin tangan lo."

"Ye, mau lari kemana?" Aku memberi jeda. "Jangan salahin gue kalau lo mendadak pingsan karena dehidrasi. Lo tau, salting butuh energi."

Aku memejamkan mataku, mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku tak bisa merasakan apa-apa karena meskipun aku berusaha tampak baik-baik saja, jantungku pun sudah ingin melompat keluar.

Lagipula, siapa suruh dia menantangku seperti itu?

Aku pun melepaskannya, lalu membuka mataku. Sepersekian detik, aku menahan tawaku karena di hadapanku sudah ada kepiting rebus dengan wajah yang super merah.

"Gerah banget, Neng?" tanyaku, tertawa. "Udah, lanjutin tugas lo."

Dia masih mematung, terdiam di tempat, menangkup kedua pipinya yang merah dengan telapak tangannya. Dia bahkan tak berani menatapku. Benar-benar sulit bagiku untuk menahan tawa sekarang.

Alih-alih meraih kuasnya dan melanjutkan tugasnya, Elis pun bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar kamar. Aku mengernyitkan dahiku, sedikit bingung dengan tingkahnya. Maksudku, aku tau dia sedang tersipu dan merona, tapi mau kemana dia?

Aku pun berjalan keluar, menuruni anak tangga, lalu mengikutinya ke arah dapur. Dapur ini gelap, tapi lampu berwarna jingga kekuningan dari kulkas yang sedang terbuka itu cukup memberikan cahaya yang remang-remang.

"Ngapain lo?" tanyaku, membuat Elis telonjak kaget, bahkan gelas yang dipegangnya hampir jatuh.

"Ngagetin banget, sih!" katanya, kesal. "Udah, sono, tunggu di kamar."

"Gue juga mau air dingin," ucapku meraih gelas kaca, lalu mengisinya dengan air dingin yang ada di dalam kulkas.

"Lo salah," ucapnya, membuatku yang tengah meneguk air dingin, lantas menoleh ke arahnya.

"Salah apaan?" tanyaku.

Apakah tindakanku tadi salah? Apakah dia hanya bercanda mengenai ciuman, tapi aku saja yang terlalu menanggapinya dengan serius?

"Kaya yang Elohim bilang," sambungnya.

Aku hanya menaikkan alisku sebelah, tak paham dan menunggunya melanjutkan ucapannya.

"You should kiss me with your eyes open," katanya. "So, you can see me when I'm melting."

--------------------------------------

1 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now