One Night Stand

303 21 0
                                    

Tak ada adegan porn, tapi akan lebih baik di bawah 18+ baca cerita lain aja ^^

-----------------------------------

WANITA yang mengenakan dress warna hitam itupun bangkit dari tempat tidur. Usai memasang sepatu hak tahu miliknya, dia pun berjalan menuju meja rias dan meraih dompet serta ponselnya. "Saya duluan."

"Tunggu," Wanita itu mengentikan langkahnya,  menoleh ke arahku yang baru saja menyita perhatiannya. "Mau ngobrol dan temenin saya?"

Namaku adalah Husen, seorang pria yang berusia tiga puluh lima tahun. Aku memiliki satu anak, sedangkan mantan istriku lebih memilih untuk bersama orang lain. Aku adalah seorang pengusaha yang bisa membeli apapun. Wanita tercantik, koki terbaik, apapun. Aku hanya tak pernah mendapatkan satu hal. Satu hal berharga yang masih terus kucari, yaitu cinta. Andai aku bisa membeli cinta, berapapun akan kukeluarkan.

Aku memandangi wanita di hadapanku ini dengan tatapan dingin. Aku melipat kedua tanganku, memperhatikan bagaimana wanita yang bernama Diana itu menghidupkan rokoknya dengan korek api berbentuk lipstik. Wanita ini terkesan elegan dan preman di waktu yang bersamaan.

"Mas Husenーmaksudnya Pak Husen seharusnya cepetan balik," ujar Diana. "Seenggaknya, bacain anak Bapak dongeng sebelum tidur."

Aku menyeringai. "Tau apa kamu soal saya? Kita bahkan baru kenalan tiga jam yang lalu."

Diana hanya menaikkan bahunya. "Yah, sekedar saran."

Aku terkekeh sinis. Wanita ini? Wanita yang masih berusia dua puluh empat tahun ini memberikanku saran? Apa yang dia mengerti tentang kehidupan dan perasaanku? Takkan ada satupun orang di dunia ini yang mengerti mengenai bagaimana rasa sepi yang selalu kurasakan.

"Pak Tua," Diana memberi jeda. "Menurut Bapak, cinta itu apa?"

Aku terdiam sejenak. Kedua mata sayu itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dua manik mata itu terus memandangiku, seakan-akan mendesakku untuk cepat-cepat menjawab pertanyaannya.

"Tau apa kamu soal cinta?" tanyaku. "Bukannya tadi di awal, kamu bilang, kamu gak percaya sama cinta?"

Diana terdiam sejenak. "Berubah pikiran. Saya mau tau apa itu cinta menurut Bapak."

"Cinta itu penting," jawabku. "Cinta itu obat. Gak ada gunanya juga saya jelasin cinta itu kaya gimana sama orang yang gak percaya sama cinta."

"Oh," Diana tersenyum ringan. "Saya boleh tanya sesuatu?"

Aku menaikkan alisku, menunggu kelanjutan ucapan Diana.

"Menurut Bapak, saya cantik?"

Aku terdiam sejenak. Tentu saja, bohong jika aku bilang tidak. Wanita yang di hadapanku ini sangat cantik. Wajahnya, tubuhnya, bahkan suaranya. Wanita ini sempurna. Sayang sekali, aku tak tertarik dengan wanita seperti Diana, begitupun sebaliknya. Bagiku, orang yang tak percaya cinta seperti Diana hanya akan menikah untuk menghabiskan uangku, seperti yang mantan istriku lakukan. Benar-benar bukan tipeku.

"Cantik," jawabku, meletakkan jemariku di pipi kiri Diana. "Kamu cantik banget."

Diana hanya bisa terkekeh sinis. "Tapi?"

"Tapi, kamu bukan tipe saya."

Diana mangut-mangut, mengerti. "Yah, lagian, saya juga gak mau menghabiskan waktu di rumah dengan bermain bareng anak kecil dan menambah berat badan."

Aku ikut mengangguk. "Bagus."

Usai berbicara mengenai beberapa hal malam itu, aku dan Diana pun berpisah. Aku pulang ke rumahku dan dia pun pulang ke rumahnya. Aku membiarkannya untuk pulang sendiri dan tidak menawarkan tumpangan sama sekali. Aku lelah dan ingin istirahat. Usiaku tak muda lagi dan aku yakin, Diana bisa memaklumi itu.

Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Di suatu malam, aku memimpikan Diana. Aku memimpikan dekapannya, sentuhannya, serta senyuman manisnya. Aku tak menyangka perasaanku bisa sekacau itu ketika bangun tidur karena aku memimpikannya padahal aku hanya bersamanya selama kurang lebih lima jam. Wanita yang berambut hitam legam sebahu itu tak ada istimewanya di mataku, selain karena dia cantik. Namun, apa yang terjadi denganku? Kenapa aku jadi memikirkannya?

Kuakui, kami berkenalan malam itu hanya sekedar melampiaskan nafsu saja. Dia adalah wanita muda yang luar biasa ketika dia berada di ranjang. Selain itu, tak ada yang menarik dari dirinya. Ucapannya, perilakunya, bahkan caranya memandangku tidak menampakkan respect sama sekali sebagai orang yang lebih muda.

Aku berusaha melupakan Diana dan mengusirnya jauh dari kepalaku, tapi aku tak bisa. Entah ada apa di diri wanita itu yang membuatku terus memikirkannya. Kenapa dia bisa sesulit itu untuk dilupakan?

Aku mengingat sesuatu.

Wanita itu sempat bilang bahwa alasannya tak percaya kepada cinta adalah dirinya yang selalu disakiti oleh pria. Ayahnya, pamannya, mantan pacarnya, dan lain-lain. Pikirku, tentu saja dia selalu disakiti oleh mantan pacarnya. Melihat usianya dan pergaulannya, jika dia mencari pasangan di sebuah got kumuh, maka yang dia dapatkan hanyalah tikus got.

Seminggu berlalu, tapi aku tak kian bisa melepaskan bayangannya dari kepalaku. Aku menginginkannya… meskipun tak tau dalam konteks apa.

Akhirnya, aku pun ke kafe yang waktu itu menjadi tempat aku dan dia mengobrol. Tepat pukul satu dini hari, kami duduk di meja di depan kafe, pada malam dimana kami bertemu. Aku tau, suhunya dingin. Diana meminta kami duduk di luar agar dia bisa merokok hari itu.

"Loh?"

Baru saja aku hendak menyalakan korek apiku, wanita yang menjadi pemilik isi pikiranku selama seminggu terakhir ini pun muncul di hadapanku. Dia mengenakan dress berwarna cokelat tua, memandangku dengan tatapan yang sedikit kaget.

"Akhirnya, saya menemukan kamu."

Dia mengernyitkan dahinya. "Menemukan saya?"

"Kamu punya daya tarik yang aneh," Aku memberi jeda. "Saya gak bisa berhenti mikirin kamu."

Diana terdiam sejenak. "Malem itu, kita kan cuma one night stand."

"Entahlah. Kamu berperilaku kaya seekor kelinci yang membutuhkan dekapan. Saya mau memberikan dekapan itu," kataku. "Saya sendiri pun bingung kenapa saya jadi seaneh ini."

Diana tersenyum ringan. "Saya gak pake susuk loh, ya. Sumpah, deh."

Aku tertawa.

Aku tak tau, apa tujuan semesta mempertemukan aku dan Diana. Kenapa dia selalu memenuhi isi kepalaku sehingga aku memutuskan untuk mendatangi kafe itu lagi dan berharap bertemunya lagi. Kenapa dia, ucapan kasarnya, perilaku sarkasnya, dan hal buruk dari dirinya tampak seksi di mataku.

Dia tampak menyembunyikan awan hitam di dalam matanya, itulah kenapa aku merasa ingin melindunginya.

Aku terlalu naif. Aku menganggap bahwa wanita sepertinya bukanlah tipeku karena dia bilang dia tak percaya cinta dan dia hanya akan tetap sama seperti mantan istriku. Aku melupakan satu hal. Kita takkan pernah bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta.

"Kamu tau?" Aku terdiam sejenak. "Kamu selalu nyari pasangan di bar, jalanan, dan tempat buruk lainnya. Itulah kenapa kamu selalu ketemu bajingan dan disakiti oleh mereka. Akhirnya, kamu jadi gak percaya sama cinta. Kamu cuma gak ketemu sama orang yang tepat. Kamu tau itu?"

Diana menopang dagunya, tersenyum. "Bagaimana dengan Bapak? Saya juga ketemu Bapak di bar."

"Saya bukan orang yang biasanya datang ke bar. Kamu cuma kebetulan ketemu saya," balasku.

Diana tersenyum. "Jadi, pertemuan kita adalah kebetulan yang menyenangkan."

----------------------------------

19 Feb 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now