I Love You, Jokingly

162 20 2
                                    

"GUE suka sama lo."

Geri hanya bisa menghela napas sembari merakit tangkai es krim di hadapannya menjadi sebuah rumah kecil, lalu mangut-mangut. "Iya, iya. Makasih, ye."

Respon itu sudah berulangkali kudengar dan ungkapan bahwa aku menyukainya itu pun sudah berulangkali pula dia dengar. Dia mungkin sudah bosan mendengar ungkapan itu dan mengira bahwa aku tak pernah serius tiap kali mengutarakan hal itu kepadanya.

Geri adalah tetanggaku sejak kami masih kecil. Kami berteman dekat dan selalu berada di sekolah yang sama sejak dulu. Usia kami terpaut dua tahun, aku lebih tua dibanding dirinya. Aku baru saja lulus SMA dan besok aku akan pergi ke luar Indonesia untuk berkuliah di sana.

"Ini kok gak bisa nempel, sih?" Geri berdecak kesal, gemas sendiri dengan tugas mata pelajaran Prakaryanya yang belum juga kelar sedaritadi.

"Sini, gue aja. Gini doang gak bisa," kataku seraya menggeser tubuhnya, lalu membantu merapikan tugas tersebut. "Dasar bocah, gini doang udah ngeluh."

"Iya deh, Kak Alya," kekehnya, sengaja menekan kata 'Kak' tersebut karena dia tau, aku tak pernah suka dipanggil kakak olehnya sejak dulu.

"Gak usah ngeledekin gue, ini hari terakhir lo bisa liat gue, ya," ujarku, memeluk lututku. "Habis ini, lo baru bisa ketemu gue sekali setahun."

Dia terdiam, cukup lama. Lantai teras depan rumahnya ini semakin terasa dingin, belum lagi angin malam yang sedaritadi menyapu wajah kami dan menusuk kulit kami dengan suhu dinginnya.

"Ntar gue cari temen baru," kata Geri, akhirnya.

Aku hanya bisa nyengir kuda, lalu memeluknya erat dari samping. "Dasar bocil. Lo pikir, ada temen yang sebaik gue? Ya gak ada lah, cil."

"Kak Alya, gue gak bisa napas, nih."

"Kamu ganteng, deh. Aku suka sama kamu, mau jadi pacar aku, gak?"

"Iya, makasih, ye. Udah, lepasin."

Aku melepaskan pelukanku. Dia selalu menganggap ungkapan itu sebagai candaan karena aku pun selalu menggodanya dan menjadikan ungkapan seserius itu sebagai bahan gurauan. Geri tak pernah tau kalau aku memang memiliki perasaan yang besar kepadanya.

Meskipun dia hanyalah anak kelas sepuluh SMA yang bahkan baru saja naik ke kelas sebelas, tapi bagiku, dia adalah seorang lelaki yang kutaksir sejak dulu. Aku sudah menyukainya bahkan sejak kami masih duduk di bangku SD dan aku pun tau, dia pasti tak pernah merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.

"Gue suka sama lo, Geri," kataku lagi, mengelus kepalanya seperti anak kecil. "Mau jadi pacar gue gak, ganteng?"

"Lo bakalan tetep ngomong kaya gitu gak, ke temen baru lo di sana nanti?"

Aku terdiam, cukup lama. Dia masih sibuk berkutat dengan tugasnya, tapi ucapannya barusan berhasil membuatku terdiam dan berpikir.

"Lo bakalan tetep godain orang lain kaya gitu gak nanti?" Geri mengulang pertanyaannya, melihat sekilas ke arahku. "Ditanyain diem aja."

"Kalau iya?"

"Ya, terserah, sih," Geri mengangkat bahunya. "Tapi, lo harus tau. Gak semua cowok bisa dibercandain kaya gitu. Soalnya, yah... meskipun lo cuma bercanda, lo tau... cowok punya perasaan yang kadang gak bisa mereka kontrol. Gimana kalau mereka baper dan jadi suka beneran sama lo?"

Aku terdiam lagi. Bagaimana mungkin Geri yang dari dulu selalu menangis karena diganggu teman sekelasnya bisa sebijak ini sekarang?

Benar. Dia bukan anak-anak lagi. Seorang anak kecil yang dulu selalu ke sekolah dengan seragam yang dimasukkan dan super rapi itu kini berubah menjadi seorang lelaki dewasa yang bahkan lebih bijak dan lebih dewasa dibanding diriku. Lelaki yang dulu memiliki suara seperti Doraemon itu kini sudah memiliki suara berat yang khas milik para lelaki. Dia adalah lelaki dewasa, tapi aku tetap membercandakan perasaannya dengan ungkapan-ungkapan bodoh yang selalu kuutarakan untuk menggodanya.

"Terus, lo gimana?" tanyaku, setelah hening cukup lama.

"Gimana apanya?" Dia bertanya balik.

"Lo gimana? Perasaan lo tiap kali gue confess kaya gitu sama lo?" Aku memperjelas pertanyaanku. "Lo anggep itu sebagai candaan?"

Dia terdiam sejenak. Sepersekian detik, dia menghela napasnya, lalu menoleh ke arahku. "Lo tau, ye, kalau gue cowok."

Maksudnya?

"Gue juga punya perasaan," tambahnya. "Tapi, yaudahlah, besok lo gak di sini lagi. Lo bakalan jadi anak US. Gak bakalan ada lagi deh yang bercandain perasaan gue."

Aku yang semula memeluk lututku, lantas menunduk dalam. Bahuku mulai bergetar, aku mulai menangis. Ketika dia mengatakan bahwa aku sebentar lagi akan menjadi 'anak US' itu menyakitiku. Aku tak ingin berpisah dengannya. Aku ingin terus berada di dekatnya, bermain dengannya, dan menjahilinya.

"Lah, lo kenapa?" Geri mengernyitkan dahinya bingung, tapi tetap tertawa. "Yaelah, dasar cengeng. Lo kenapa nangis, sih?"

Tangisanku semakin pecah.

"Dih, nih orang kenapa, sih? Weh, Kak Alya, lo kenapa?" Dia memegang bahuku, bertanya kepadaku mengenai apa yang baru saja terjadi. Dia masih tertawa geli melihat aku yang tiba-tiba menangis dan baginya, itu lucu.

"Gue beneran suka sama lo, Geri," kataku. "Gue gak bercanda. Selama ini gue beneran suka sama lo."

Geri melebarkan matanya, tampak kaget. Dia terdiam sangat lama, tampak mencoba untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar. Namun, sepersekian detik, dia tertawa dan mengelus kepalaku seperti anak kecil, seperti yang biasa kulakukan kepadanya.

"Sama."

-------------------------------------------

12 Mar 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now