Cinta Paling Tak Masuk Akal

156 14 0
                                    

"TEBAK, hari ini Dokter punya apa," ujar Dokter Rian menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Wajahnya tersenyum manis, penuh antusias.

"Hadiah lagi?" tebak Maura, menaikkan sebelah alisnya.

Dokter Rian mengangguk. Sepersekian detik, pria itu mengeluarkan sebuah kotak musik. Maura tersenyum lebar. Dokter Rian mengambil posisi untuk duduk di kursi sebelah kasur Maura, lalu memutar kunci dari kotak musik tersebut. Tak lama kemudian, kotak musik itu terbuka, menampakkan seorang balerina cantik berputar di tengahnya.

"Ini yang Maura ceritain kemarin, kan?" ujar Dokter Rian. "Suka, gak?"

Maura mengangguk, meraih kotak musik tersebut, menatapnya lekat. "Suka. Makasih, Dokter."

Maura tak bisa menghitung ini sudah hadiah ke berapa yang Dokter Rian berikan kepadanya. Setelah berbulan-bulan di sini, bahkan Maura tak menghitung sudah berapa lama, rasanya Dokter Rian bagaikan sinterklas pengantar hadiah yang bahkan mengantarkan hadiah di luar hari natal. Tiap kali Maura bercerita mengenai mainan, film, ataupun makanan kesukaan, Dokter Rian selalu mengabulkan semuanya.

Setelah Dokter Rian keluar dari ruangan ini dan berlalu, Maura pun meletakkan kotak musik itu di meja sebelah kasurnya. Senyumannya memudar. Dia menatap keluar jendela, memandangi langit biru dengan kapas-kapas tebal putih. Rasanya, dengan tangan yang diinfus begini, tak mungkin dia bisa berjalan keluar rumah sakit. Mungkin bisa, tapi hanya akan menyusahkan perawat saja.

Maura berusia sepuluh tahun. Tepat setahun yang lalu, Maura menderita sebuah penyakit yang mengharuskannya untuk dirawat dan menjalani kemoterapi. Sejak itu, seakan-akan kebahagiaannya direnggut satu persatu. Maura tak bisa lagi bermain bersama teman-temannya. Maura tak bisa lagi pergi ke sekolah. Maura tak bisa lagi ikut lomba. Maura tak bisa lagi menjadi dokter cilik di sekolah, peran yang sangat dia sukai sejak kenaikan kelas empat. Sejujurnya, dia merasa malu kepada teman-temannya. Padahal, dulu, dia selalu membantu teman-temannya yang sakit di UKS karena dia adalah dokcil. Namun, sekarang, ternyata dia yang paling membutuhkan seorang dokter.

Maura tak bisa lagi meminta ibu menata rambutnya karena perlahan, rambutnya rontok secara terus menerus sehingga sekarang Maura harus memakai penutup kepala. Maura tak bisa bermain sepeda dengan ayah di setiap akhir minggu karena tubuhnya begitu lemah.

Semua yang menjadi dasar dari kebahagiaan itupun hilang.

Satu hal yang lebih menusuk daripada itu semua bagi Maura, yaitu rasa bersalah yang menghujam dadanya setiap harinya. Dia merasa bersalah karena perawatan rumah sakitnya mengharuskan ibu dan ayah harus menjual apapun yang bisa dijual. Mobil, kebun, bahkan ibu yang berstatus sebagai ibu rumah tangga sebelum Maura sakit, saat ini harus ikut bekerja demi membantu perekonomian keluarga yang surut akibat kondisi Maura. Hal itu membuat Maura merasa jauh lebih sakit, dan lebih menyiksa dibanding penyakitnya sendiri.

"Halo, sayang," sapa ibu, baru saja membuka pintu ruangan ini. Ayah tepat di belakang ibu sambil membawa sekantung buah-buahan kesukaan Maura. "Kakak udah makan siang?"

Maura mengangguk, tersenyum. Ibu dan ayah pun mengambil posisi di sebelah kasur Maura. Ibu sibuk merapikan meja di sebelah kasur Maura, tanpa sengaja melihat hadiah kotak musik dari Dokter Rian.

"Apa ini? Cantik banget," puji ibu. "Dari Dokter Rian lagi, ya?"

Maura mengangguk. Sejujurnya, Maura mengerti kenapa Dokter Rian memberikan kotak musik itu. Maura sempat memiliki cita-cita menjadi balerina. Dia sempat mengikuti kursus balet, tapi harus berhenti karena penyakit yang dia miliki.

"Bu."

"Hm?"

"Kenapa Tuhan harus biarin Kakak ngerasa sakit dulu, padahal udah jelas gak bakalan sembuh?"

Ayah yang semula duduk di sofa sudut ruangan, lantas berdiri, bersitatap dengan ibu. Ayah pun berjalan mendekat, tersenyum canggung. "Kata siapa gak bakalan sembuh?"

"Kakak mimpi tadi malem," balas Maura. "Penyakit Kakak bukan penyakit yang bisa disembuhin."

Selain penyakit dan rasa bersalah, ada satu hal lagi yang menyiksa Maura. Mimpi. Dia kerap bermimpi buruk sejak dia sakit. Terkadang, mimpi indah pun menjadi buruk karena dia tau, dia takkan bisa mewujudkan semua keindahan itu di dunia nyata dengan kondisinya yang seperti ini.

"Mimpi adalah mimpi," ucap ibu. "Gak akan jadi nyata, Nak."

"Kakak juga bingung," Maura memberi jeda. "Ibu dan ayah tau, penyakit Kakak gak bisa sembuh. Kenapa tetep biayain pengobatannya? Kalau Kakak udah gak ada, kan semuanya jadi sia-sia."

Ibu dan ayah terdiam sejenak, sangat lama. Entah apa yang dikumpulkan oleh ayah dan ibu sehingga memberi jeda sebegitu lamanya. Entah apa yang ditahan oleh ayah dan ibu. Namun, yang pasti, Maura bisa melihat wajah ayah dan ibu yang seketika menjadi sedih. Lebih tepatnya, sebenarnya wajah mereka selalu sedih, hanya saja mereka selalu bersembunyi di balik sebuah topeng yang mereka pikir tak bisa Maura lihat.

"Kalau Kakak jadi orang tua suatu saat nanti..." ujar Ibu memberi jeda, menelan salivanya, menelan semua kepahitan yang dia rasakan saat ini. "Kakak pasti paham. Mungkin, bagi orang lain, ngeluarin biaya untuk pengobatan anak kaya gini adalah sia-sia. Tapi, bagi ayah dan ibu, setiap napas yang Kakak punya sekarang adalah sebuah harapan."

Ayah meraih tangan Maura. Terasa begitu hangat, seakan menjalar dari kulit ke dalam hati Maura. Maura bisa melihat betapa susah payah ayah dan ibu menahan kesedihan mereka saat ini.

Maura mulai mengerti. Mungkin, bagi orang lain di luar sana, waktu yang Maura miliki saat ini adalah sia-sia. Ibu dan ayah menjual mobil, kebun, serta barang lainnya demi pengobatan Maura yang belum tentu bisa sembuh, mungkin itu sia-sia bagi orang lain. Namun, bagi sepasang orang tua, itu adalah harapan. Bahkan, kalaupun Dokter Rian mengatakan bahwa persentase kesempatan hidup Maura hanya satu persen, mungkin ayah dan ibu tetap melihat itu sebagai harapan besar yang mereka percayai sebagai kesempatan untuk kesembuhan dan kembali seperti sediakala. Mungkin, jika kalian bertanya bentuk cinta yang paling tidak masuk akal, jawabannya adalah cinta yang dimiliki oleh orang tua. Ini adalah buktinya.

Andaikata Dokter Rian memang seorang sinterklas pengantar hadiah, mungkin Maura hanya ingin meminta satu permintaan saja. Kesembuhan untuknya. Bukan demi dirinya, tapi demi kedua orang tuanya.

-----------------------------------------------

14 Mar 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang