Your Story

244 17 3
                                    

"AKU mau cerita sesuatu sama kamu."

Aku mengernyitkan dahiku. Terkadang, kalimat yang seperti ini membuat kepalaku menerka-nerka dan merasa khawatir terlebih dahulu dan hatiku tak menyukai itu.

"Mau cerita apa?"

"Aku... tadi, waktu konsul, dokterku nanya aku udah ninggalin kamu atau belum," kata Brian. Aku bisa mendengar dari helaan napasnya, dia tampak begitu lelah. "Aku bilang belum."

"Terus?"

"Dokterku bilang, aku harus fokus sama penyembuhanku. Untuk itu, aku harus tinggalin kamu lagi," ujar Brian.

"Oh, ya?"

Brian berdehem.

Aku tau, hal ini akan terjadi lagi. Aku sudah tau kalau dia akan membawa berita seperti itu setelah konsultasi yang dia lewati hari ini. Dari awal, aku sudah tau dia akan pergi lagi.

Brian adalah lelaki yang kucintai, meskipun hubungan kami masih terombang-ambing oleh keadaan. Bukan karena dia, bukan karena aku. Hanya keadaan yang tak ramah dan belum mau memberikan kami situasi yang stabil dan menyenangkan.

Brian adalah lelaki yang baik. Apabila dia terjerat kasus yang membuat semua orang jadi menuduhnya sebagai pria jahat, aku akan menjadi satu-satunya saksi yang membelanya dan rela menaruhkan apapun untuk menyatakan bahwa dia adalah pria yang baik. Aku sempat berpikir bahwa Tuhan sangat menyayangiku sehingga Dia mempertemukan Brian denganku.

"I hate it so much that we have to meet in this situation."

Dia pernah mengatakan kalimat itu kepadaku waktu kami berpisah, dulu. Dia memiliki trauma yang selalu menyakitinya. Menurut Brian, jika bukan karena situasi ini, kami akan baik-baik saja. Hubungan kami, aku, dan dia, semuanya akan baik-baik saja. Tak ada mimpi buruk. Tak ada trauma. Tak ada konsultasi. Tak ada hal yang akan mengantarkan kami ke sebuah perpisahan. Alangkah indahnya apabila hubungan ini tak ada itu semua. Bukankah begitu, menurut kalian?

Tidak. Aku tak berpikir demikian.

"Kamu harus dengerin dokter kamu," ucapku. "Kan kamu mau sembuh. Can you imagine kalau kamu udah sembuh. Happy banget, kan?"

"Iya."

"Kamu gak boleh berhenti, kan? Dengerin dokter kamu. Lanjutin semuanya, terus nanti, kamu bakalan sembuh."

Pikirannya ibarat semak belukar yang terkadang bisa dengan kejam melukai perasaannya. Segala trauma itu membuatnya harus konsultasi di setiap hari Sabtu. Untuk sampai di titik ini pun, aku harus membujuknya berkali-kali sampai akhirnya dia menuruti permintaanku dan menemui dokter untuk mengobati pikirannya.

"Kalau gitu, aku bakalan pergi hari Senin atau Selasa."

Aku menghela napas. "Oke."

Aku tak masalah akan semua itu. Aku tau, munafik jika kukatakan aku tak apa-apa apabila dia pergi. Tentu saja, aku sakit. Namun, melihatnya menderita karena semua trauma itu lebih menyakitiku. Aku tak ingin melihatnya kesakitan lagi. Aku tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Tak apa hubungan ini hancur, asalkan bukan dia. Aku tak ingin pikirannya sendiri membuatnya hancur. Aku tak pernah ingin itu terjadi.

"Oh iya, kamu cerita lagi, dong. Ceritamu yang kemarin belum dilanjutin," kataku.

Bagiku, meskipun dia selalu menghabiskan waktunya dengan berkutat di hadapan laptop dan membuat laporan keuangan, tapi dia memiliki satu bakat yang tak dia sadari. Dia memiliki kemampuan untuk membuat cerita. Kupikir, dengan berbekalkan kaya akan kosakata dan mampu memikirkan alur cerita yang menarik, dia bisa saja menjadi penulis yang baik.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now