Sekotak Bekal

329 23 0
                                    

AKU mengernyitkan dahiku ketika aku melihat laci mejaku. Pagi ini, kotak bekal itu ada lagi. Hari ini, kotaknya berwarna tosca. Ini sudah ketiga kalinya dalam tiga hari berturut-turut aku mendapat sekotak bekal di laci mejaku.

Aku meraih kotak bekal tersebut, lalu melihat isinya. Hari ini, ada roti isi telur di dalam kotak bekal tersebut. Sejujurnya, sejauh ini, tak ada yang mencurigakan dari isi kotak bekal tersebut. Isinya adalah makanan-makanan yang tampak enak dan masih baru, tapi aku enggan memakannya karena aku tak pernah tau apa yang akan terjadi, apalagi aku tak tau siapa yang memberikan kotak bekal itu.

Memang benar, aku jarang sekali makan siang. Aku tak sempat untuk membawa bekal karena pada pagi buta, aku harus kerja paruh waktu sebelum berangkat ke sekolah. Terkadang, aku juga tak makan pada jam istirahat karena aku sibuk belajar di perpustakaan, mengingat bahwa aku memiliki banyak kerja paruh waktu yang membuatku sibuk di luar jam sekolah. Jadi, ketika jam istirahat, aku hanya makan roti sebagai pengganjal perut sambil belajar di perpustakaan.

Belum lagi, sepertinya akhir-akhir ini, kesibukanku akan bertambah.

Aku menoleh ke arah Adit yang sedang bersandar di tembok sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan bercengkrama dengan teman-temannya. Aku mendengus sebal melihat senyumannya itu. Beberapa hari yang lalu, dia tanpa sengaja merusak lembar essay yang sudah kupersiapkan untuk lomba nasional. Dia tanpa sengaja menumpahkan air sampai kertas essay itu luntur dan robek. Yang paling menyebalkan adalah dia bahkan tak meminta maaf padaku mengenai hal itu. Dia justru pergi begitu saja tanpa mengatakan dan melakukan apapun.

Sebagai anak kelas sebelas SMA yang jelas bukan anak-anak lagi, kupikir perlakuannya itu sangat tak sopan dan menyebalkan. Aku sempat memarahinya, tapi dia tampak tetap tak peduli.

Aku menghela napasku panjang. Sudahlah. Yang lebih penting, besok pagi-pagi sekali, aku harus datang lebih awal agar aku bisa memergoki orang yang beberapa hari ini memberikanku sekotak bekal di dalam laci mejaku. Lagipula, mungkin besok pagi, aku bisa mengantarkan koran lebih awal agar aku bisa datang ke sekolah lebih cepat.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku datang ke sekolah ketika di luar masih terasa sejuk meskipun matahari sudah bersinar dengan kokoh. Koridor sekolah masih sepi sekali. Aku memasuki kelas. Namun, betapa kagetnya aku ketika aku melihat Adit sedang berditi di sebelah mejaku, tampak baru saja memasukkan sesuatu ke dalam laci itu.

Aku mengernyitkan dahiku. "Kamu ngapain?"

Adit pun terlonjak kaget dan tiba-tiba salah tingkah. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal itu sebagai isyarat kegugupannya yang mulai mendominasi dirinya. Sepersekian menit, aku pun berjalan menuju mejaku, lalu melihat isi laci mejaku.

Hari ini, ada kotak bekal berwarna kuning di sana. Aku tertegun. Jangan bercanda. Masa sih Adit menaruh kotak bekal di laci mejaku beberapa hari ini?

Aku meraih kotak bekal tersebut, lalu menoleh ke arah Adit. "Ini dari kamu?"

Adit terdiam cukup lama, tapi akhirnya mengangguk pasrah.

"Kenapa?"

"Sebagai permintamaafan karena udah ngacauin lembar essay kamu," jawab Adit.

Lelaki yang lebih tinggi dariku itu memasang wajah datar dan dingin, tapi aku mulai menyadari bahwa sebenarnya, di balik gerak-geriknya yang tampak tak peduli itu, dia merasa bersalah atas kejadian beberapa hari yang lalu.

"Jadi, selama ini kamu yang kasih aku makanan?"

Adit mengangguk lagi.

"Kalau ngerasa bersalah, kenapa gak langsung minta maaf aja?" tanyaku, menautkan alis. "Sampe repot-repot ngasih makanan yang aku bahkan gak tau itu dari kamu."

"Kamu harus tau kalau gak semua orang bisa dengan gampang ngutarain kata maaf," jawab Adit. "Tapi, kuakui kalau aku ngerasa bersalah banget, apalagi bikin essay itu gak gampang. Maaf."

Aku tersenyum. "Iya."

Adit ikut tersenyum. Sepersekian detik, lelaki itupun berjalan keluar kelas. "Kamu harus makan kalau jam istirahat, bukannya belajar. Kamu selalu terlalu keras sama diri kamu sendiri."

Aku masih mengukir senyumanku. Ternyata, dia adalah orang baik yang hanya tak tau cara mengekspresikan dirinya. Yah, kupikir tak semua orang bisa dengan mudah mengekspresikan diri mereka, tapi itu bukan berarti mereka bukanlah orang yang baik.

-------------------------------------

16 Sep 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang