I Miss You More Than Life

193 18 0
                                    

HARI ini, aku melihat pria tua itu lagi di bangku taman. Dia duduk, menatap kosong ke depan. Dia tak melakukan apapun, hanya duduk termenung, tak tau ada pergulatan apa di dalam kepalanya. Aku mengernyitkan dahiku, memegang tangkai payungku semakin erat. Hujan mengguyur kota ini dengan halus. Tak deras. Tak pula gerimis.

Entah sudah yang ke-berapa kalinya aku melihat pria itu duduk di bangku taman dengan posisi yang sama dan jam yang sama, sejak aku pindah ke kompleks ini. Dia selalu duduk di bangku putih yang dekat dengan pohon besar itu di setiap pukul tiga sore. Terkadang, ketika aku sedang membawa Louis, adikku jalan-jalan, atau ketika aku sedang berlari sore, lalu sekarang, ketika aku hanya lewat untuk mampir di fotokopi dekat taman ini. Kakek itu selalu ada di sini, seakan menunggu seseorang yang takkan pernah datang, dan dia tau itu.

Setelah cukup lama berdiri di posisiku untuk memerhatikan kakek tersebut, akupun berjalan menuju bangku putih itu. Kedatanganku membuat kakek itu menoleh ke arahku, ketika bayanganku mungkin tanpa sengaja mengusik lamunannya. Aku memayungkan kakek tersebut, mencegah rintik hujan menghujam tubuhnya. Pakaiannya sudah basah. Dia mungkin kedinginan. Hanya saja, aku tak mengerti, apa yang sedang dia lakukan.

"Ah, makasih," ujarnya, mendongak ke arahku sambil tersenyum. "Tapi, kamu jadi kehujanan ya, Nak."

Aku tersenyum ringan. "Kakek ngapain di sini? Gak dingin?"

Kakek tersebut melirik jam tangannya. Setelah menunggu cukup lama untuk jam itu menunjukkan pukul 16.00, pria itupun berdiri dari duduknya. "Saya udah mau pulang, tapi rasanya kaki saya kesemutan."

Kesemutan? Apa karena kedinginan? Apakah kedinginan bisa membuat orang kesemutan? Entahlah. Akupun berjalan memegang lengan kakek, mengikuti langkahnya menuju rumahnya.

Aku memasuki rumahnya. Rumah kecil yang cantik, antik, dan sederhana. Isinya benar-benar bersih dan masih memakai perabotan yang antik, tidak modern, tapi bersih dan rapi.

"Mampir dan duduk dulu aja, Nak," ujar kakek, menutup pintu. "Saya ambilin teh dan biskuit."

"Ah... gak perlu repot-repot, Kek," kataku, terkekeh mentah. Sebenarnya, aku hanya ingin kembali ke rumah untuk mengerjakan tugas kliping dengan bahan-bahan yang tadi kubeli di fotokopi. Namun, sepertinya tak ada salahnya jika menuruti kakek untuk mampir sebentar dan menghargai kebaikannya yang ingin menjamu tamu.

"Ini," ucap Kakek meletakkan nampan berisi biskuit dan teh di atas meja di hadapan sofa yang kududuki.

"Kakek harus ganti baju," ujarku. "Kakek basah kuyup. Bisa sakit kalau kaya gitu."

Kakek tersenyum ringan, lalu berjalan menuju kamarnya. Sepersekian menit, pria itupun kembali dengan pakaian yang baru dan kering.

"Saya tinggal di blok J3 nomer empat," kataku, memulai obrolan baru. "Deket sini. Kita tetanggaan."

"Iya. Saya sering liat kamu sekilas di taman. Kadang sama adikmu, kadang sama kucing peliharaanmu, kadang lari sore."

"Iya, saya juga sering liat Kakek duduk di taman," ujarku.

Kakek tersenyum kecil. "Iya. Itu udah jadi salah satu rutinitas saya."

"Rutinitas?"

"Silakan dimakan biskuitnya. Saya bikin sendiri dan biasanya sering bagi-bagi juga sama tetangga yang lain."

Di balik mata yang tampak lelah dan sayu itu, tampak satu hal yang pasti. Rasa sepi.

"Kakek tinggal sendiri di sini?" tanyaku, meraih secangkir teh yang ada di atas meja. "Rumah ini rasanya hangat banget. Pasti cucu-cucu Kakek seneng tiap ke sini."

"Iya, ya, kalau saya punya cucu, pasti mereka seneng mampir ke sini," jawab Kakek, tersenyum.

Aku mengatupkan bibirku, mulai digerogoti rasa bersalah. Seharusnya aku tidak mengatakan itu.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now