Jika Suatu Saat Kamu Datang Lagi

361 21 0
                                    

JIKA suatu saat kamu datang lagi, apa yang harus kulakukan?

Pemikiran itu muncul ketika aku tengah berada di dalam mobil, memandangi pepohonan tinggi dari posisiku. Lagu milik Ruth Sahanaya memenuhi atmosfir mobil ini, sekaligus pelaku dari pemikiran barusan muncul di kepalaku.

Lagu ini adalah lagu kesukaan mamaku sejak aku masih kecil. Saking dia menyukai lagu ini, Mama pernah menjadikan lagu ini sebagai nada sambung pribadinya, dulu. Sampai sekarang pun, dia masih menyukai lagu itu.

Akibat kesukaannya pada lagu itu, aku pun juga suka lagu itu. Aku juga tak sengaja hafal lirik lagunya saking sering aku mendengarkannya. Dari dulu, kupikir, lagu hanyalah sekedar lagu, yang untuk didengarkan dan dinikmati. Namun, setelah aku berada di posisi yang sama dengan si penyanyi, barulah aku mengerti makna yang sebenarnya.

Aku tau kemungkinannya tak besar, tapi jika kamu datang lagi, apa yang harus kulakukan? Setelah kita berkali-kali pisah dan kembali, apakah masih ada kesempatan untuk kita bisa kembali lagi? Atau apakah kamu sudah lelah dan lebih memilih untuk takkan kembali lagi?

Benar yang dikatakan Ruth Sahanaya. Terlalu indah dilupakan, terlalu sedih dikenangkan. Aku berkali-kali berusaha untuk melupakanmu, tapi nyatanya tak semudah yang kubayangkan. Aku berusaha memenuhi isi kepalaku dengan segala kemungkinan buruk jika kita tetap bersama, tapi nyatanya, hatiku memilih untuk melewati segala risiko itu. Bukankah itu yang selalu kulakukan selama ini? Namun, siapa yang bisa menjadi penengah jika kita memang jatuh cinta kepada seseorang?

Aku berusaha untuk membohongi diriku sendiri, membohongi semesta, membohongi siapapun bahwa aku tak lagi memikirkanmu. Aku berusaha membohongi diriku sendiri bahwa aku tak merindukan kehadiranmu. Namun, kupikir, betapa menyedihkan orang yang harus berbohong, terlebih untuk orang membohongi diri sendiri, seperti yang kulakukan.

Namun, aku tak tau, apa yang harus kulakukan jika suatu saat kamu datang kepadaku. Apa yang harus kukatakan? Apakah aku harus membohongi diri sendiri lagi untuk menyelamatkan diri? Atau apakah harus kuceritakan kepadamu mengenai lebam di hatiku ketika kamu pergi? Apa yang harus kulakukan?

Kamu mungkin orang yang paling sebentar bersamaku dibanding mantan kekasihku yang lainnya. Namun, semuanya terasa berat bagiku. Percayalah, hubungan yang singkat akan lebih menyakitkan karena masih banyak rencana yang bahkan belum kita wujudkan bersama. Atau bahkan, takkan pernah lagi kita wujudkan bersama.

"I'm so happy," katamu dengan lirih, di suatu pagi. Malam hari dan bunga tidurmu membuatmu kacau. Trauma dan bayangan masa lalumu menyeruak. Aku tak bisa melakukan apapun selain mendengarkamu dan berusaha membantumu.

"Kenapa?"

"Karena aku punya kamu yang selalu bantuin aku. Makasih, ya."

Entah kamu masih mengingat obrolan tersebut dengan pikiranmu yang kacau pagi itu, tapi aku masih mengingat percakapan singkat itu dengan baik karena di satu sisi, aku senang bisa menjadi orang yang membuatmu merasa bahwa ada aku di sini, yang selalu ikhlas membantumu. Meskipun di sisi lainnya, aku merasa sangat sedih karena bayangan masa lalu itu terus-terusan menyakitimu.

"Haha, kok gitu sih ketawanya?" katamu di suatu pagi lainnya. Pagi itu hari Jum'at, aku sedang kuliah dari rumah. Kamu mimpi buruk lagi hari itu. Kupikir, hari itu, kamu akan mendiamkanku dan menghilang lagi dariku untuk menenangkan diri. Namun nyatanya, pagi itu, kamu meneleponku.

"Apa? Gimana, emangnya?"

"Kocak. Mana mungkin aku bisa diemin kamu."

Namun, belum sampai satu hari dilewati setelah kamu mengatakan itu, kamu bilang padaku bahwa keputusan akhirmu adalah ingin menenangkan diri dan pergi dariku. Hubungan kita sampai di sini saja, kamu ingin menyelesaikan semuanya dengan serius. Kali ini, sendirian dan tanpa bantuan siapapun, termasuk aku.

Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima keputusan itu. Kamu bertanya apakah kamu bisa meneleponku siang itu, tapi aku tak mau karena... entahlah. Aku hanya tak mau terlihat selemah itu di hadapanmu. Kamu sudah berkali-kali melihatku menangis, tapi perpisahan ini takkan membuahkan kesedihan yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya.

Aku berusaha melupakanmu dan bohong jika kukatakan aku sudah melupakanmu. Semuanya memang berat bagimu, tapi juga bukan berarti mudah bagiku. Sampai sekarang, jika aku mendengar notifikasi dari ponselku, aku masih berharap itu darimu. Namun, aku menghargai keputusanmu dan harus paham bahwa kehadiranku terkadang memberatkanmu.

Terkadang, aku ingin menyalahkan diriku sendiri dan meminta maaf kepadamu lagi. Kamu selalu mendapat bayangan dari traumamu itu karena kehadiranku. Kamu selalu bilang bahwa aku bukan penyebabnya dan aku tau kamu tak suka dengan orang keras kepala yang kalau sudah dibilangin sekali tetap membantah, tapi inilah faktanya.

Kamu seharusnya tak boleh menyangkal bahwa memang kehadiranku yang mendatangkan traumamu. Kepergianmu adalah jawabannya. Maksudku, kamu pergi juga karena jauh di dalam lubuk hatimu, kamu tau kalau aku adalah penyebabnya. Kamu hanya sedang membohongi diri sendiri dan kuharap, jika suatu saat kamu membaca tulisan ini, kamu bisa menyadari yang sebenarnya. Jangan menyangkal lagi.

Jika suatu saat kamu datang lagi, entah pada saat itu, hatiku masih menginginkanmu atau tidak. Jika suatu saat kamu datang lagi, entah aku masih sendirian atau tidak. Namun, jika aku masih sendirian, apakah perasaanku untukmu yang pernah kukubur paksa bisa menyeruak kembali?

Jika suatu saat kamu datang lagi, apa yang pertama kali kupikirkan? Apakah kamu memiliki perempuan baru? Apa yang kamu ceritakan tentangku kepada perempuan itu? Aku yang cadel? Aku yang suka anime? Aku yang suka lagu lawas? Aku yang masih anak kecil? Aku yang suka menulis? Kuharap, kamu menceritakan hal baik kepadanya dan kuharap, hatinya tak sakit jika kalian membicarakan mantan.

Jika suatu saat kamu datang lagi, apa ucapan basa-basi yang harus kulontarkan? Apakah kamu baik-baik saja? Apakah orang tuamu sehat? Apakah kerjaanmu lancar? Apakah kamu berbahagia di ulang tahunmu yang ke dua puluh lima tahun? Kuharap begitu. Sebab, aku akan sendirian lagi tahun ini di hari ulang tahunku.

Jika suatu saat kamu datang lagi, apakah aku akan baik-baik saja? Apakah aku akan merasa malu karena ketika aku pertama kali bersamamu, aku hanyalah anak kecil berusia delapan belas tahun yang keras kepala?

Jika suatu saat kamu datang lagi, apakah kamu masih mencintaiku? Apakah kamu masih memasang fotoku sebagai wallpaper ponselmu? Apakah selama ini kamu juga memikirkanku? Apakah kamu juga pernah sekali saja berharap agar kita ketemu lagi?

Apakah alih-alih memikirkanku, justru kamu sudah melupakanku ketika tulisan ini dibuat? Apakah aku terlalu mudah dilupakan? Terkadang, aku ingin menjadi sesuatu yang kamu rindukan. Terkadang, aku berharap hal-hal kecil di sekelilingmu mengingatkanmu padaku. Namun, di sisi lain, aku juga tak ingin pikiranmu terluka lagi karenaku.

Maafkan aku yang terus-terusan menjadikanmu sebagai objek dari tulisanku. Isi kepalaku bukan milikku lagi, tapi milikmu. Aku hanya ingin jujur karena memendam rasanya menyakitkan, aku butuh wadah untuk itu. Maaf kalau aku membuatmu tak nyaman. Aku ingin membiarkan semua yang di dalam hatiku merasa sakit sampai semuanya menjadi mati rasa. Sampai saat itu tiba, teruslah berbahagia untukku.

------------------------------------------

18 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now