Belahan Jiwa

188 19 0
                                    

"BELLA, Belia, mainnya udahan dulu. Sini, makanannya udah siap," ujar Ibu sedikit berteriak, mengayunkan tangannya, mengisyaratkan agar Bella dan Belia, sepasang anak kembar itu datang ke posisinya.

Bella dan Belia yang sedang sibuk bermain lempar tangkap bola, lantas menjatuhkan bola berwarna merah tersebut dan segera berlari menuju posisi ibu dan ayahnya yang sudah duduk di atas alas piknik berwarna merah kotak-kotak tersebut.

"Yah, jadi keringetan lagi, kan," ujar Ayah, mengusap keringat di dahi Bella dan Belia menggunakan tisu. Dua gadis cilik itu pun segera mencuci tangannya, lalu mencomot stroberi yang berwarna merah ranum.

"Asem," gumam Bella, memasang ekspresi yang sesuai dengan apa yang saat ini dia rasakan. Belia yang belum sempat menyuap stroberi tersebut ke mulutnya, lantas menaruh kembali stroberi itu dan meraih buah yang lain. Ibu dan Ayah hanya bisa tertawa melihat para bocah tersebut.

"Bu, tadi Casper main ke sana, terus ketemu kucing lain," ucap Belia dengan mulut yang penuh, menunjuk ke arah seberang sana. "Mereka masih main di sana."

Ibu mengangguk-angguk. "Jadi, Casper dapet temen baru, ya."

Casper adalah kucing peliharaan mereka yang berwarna putih. Tiap kali mereka mengadakan piknik pada Sabtu sore, Casper selalu ikut. Namun, baru kali ini, Casper bertemu dan berteman dengan kucing lain.

"Siapa tau ini hari pertemuan Casper sama belahan jiwanya," ucap Ayah.

"Belahan jiwa?" Bella mengernyitkan dahinya. "Belahan jiwa apa?"

"Belahan jiwa itu…" Ayah menggantungkan ucapannya, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. "Kaya Ayah sama Ibu. Ibu tuh belahan jiwa Ayah."

"Kalau Bella?" tanya Bella, menunjuk dirinya sendiri. "Belahan jiwa Bella siapa? Belia?"

"Belum tau, sayang," jawab Ibu. "Suatu saat, Bella pasti nemu orangnya. Orang baik yang jadi belahan jiwa Bella."

"Belia gak ngerti," Belia menggelengkan kepalanya. "Kan cuma ketemu pas piknik. Terus, cuma temenan biasa. Kok bisa jadi belahan jiwa segala?"

Belia memang anak yang kritis dan selalu penasaran. Meskipun usianya masih menginjak tujuh tahun, tapi dia benar-benar mewarisi pikiran kritis ayahnya.

"Emangnya harus sespesial apa kalau mau ketemu belahan jiwa?" tanya Ayah. "Ayah sama Ibu aja ketemunya juga gak jelas."

Ibu terkekeh. Benar. Sepasang suami istri itu juga mengalami pertemuan yang cukup receh dan jika dipikirkan kembali, rasanya tak mungkin bisa sampai menikah dan punya anak.

Ibu adalah mahasiswi yang super santai. Daripada belajar, dia lebih senang melukis dan melakukan segala hal yang berhubungan dengan seni. Di sisi lain, ayah adalah mahasiswa yang sudah berada di tahap skripsi dan membuka pekerjaan sampingan sebagai joki tugas untuk menambah uang jajannya. Selain itu, Ayah memang suka mengerjakan sesuatu untuk mengisi waktu luang. Dua orang itu dipertemukan karena sifat malas Ibu dan sifat rajin Ayah.

Ibu selalu bilang, tak semua sifat malas itu salah karena jika dia tak malas, maka dia takkan bertemu dengan Ayah. Lalu, uniknya, hal sekecil itu dan sesepele itu bisa membuat seseorang bertemu dengan belahan jiwanya, seseorang yang akan menemaninya sampai menutup usia.

"Yah? Bu? Kok senyam-senyum?" tanya Bella.

Ayah dan Ibu hanya saling pandang, lalu terkekeh kecil.

"Gapapa. Suatu saat, kalian juga bakalan ketemu sama belahan jiwa kalian," ujar Ayah, mengusap kepala kedua putrinya.

Ibu menahan senyumannya. "Bahkan, mungkin lebih receh daripada pertemuan Ayah dan Ibu."

--------------------------------------

10 Mei 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz