Sampai Jumpa Lagi di Venesia

253 22 1
                                    

WANITA yang mengenakan piyama berwarna baby blue itu hanya bisa meringkuk di balik selimut tebalnya, meskipun ponselnya sudah berbunyi lebih dari lima kali daritadi. Sepersekian detik, dia meraih remote dari pendingin ruangan yang membuat jari kakinya mati rasa itu, lalu mematikannya.

"Aku bisa mati jika seharian disini," gumamnya, meraih ponselnya yang ada di atas meja kecil berwarna putih di sebelah tempat tidurnya dengan mata yang masih tertutup. "Dimana benda itu?"

Setelah mendapatkan benda persegi panjang berwarna hitam tersebut, dia pun menggesek layar ponselnya, lalu mendekatkan benda itu ke telinganya, sebelum dia kembali menghempaskan tubuhnya untuk berbaring.

"Halo."

"Lo kemana aja sih, Nad? Gue telepon tujuh kali baru diangkat?!" teriak Dera, emosi.

Nadia hanya bisa menjauhkan ponselnya sejenak dari telinganya. "Bisa gak sih, lo jangan marah-marah? Gue kan baru bangun tidur."

"Bangun tidur lo bilang? Lo tau gak, ini udah jam berapa?"

"Jam berapa?"

"Jam empat sore di Indonesia, berarti jam sepuluh pagi di tempat lo sekarang, Nadia. Jam sepuluh!" kata Dera, masih meninggikan suaranya. "Lo gak inget kalau lo ada janji penting jam dua belas siang?"

Nadia melebarkan matanya, lalu meraih jam tangannya yang ada di atas meja. "Oh, God. Lo kenapa gak bangunin gue daritadi sih, Ra?!"

"Nyet," Dera menahan emosinya. "Gue daritadi nelepon lo, monyet. Lo yang gak ngangkat."

Nadia segera memutuskan sambungan telepon, lalu mengambil handuknya yang ada di atas kursi meja rias dan berlari menuju kamar mandi.

Hari ini, tanggal 26 April. Hari ini adalah hari terpenting bagi Nadia dari segala hari penting lainnya. Jika saja Dera tidak meneleponnya tadi, dia bisa saja kebablasan dan tidak menepati janjinya siang ini. Lagipula, kenapa dia harus begadang tadi malam hanya untuk menamatkan sebuah drama?

Tepat pada lima tahun yang lalu, dia bertemu dengan seorang pria di sebuah coffee shop yang ada tengah kota. Coffee shop dengan aroma roti yang menusuk ke hidung tiap kali Nadia baru saja menginjakkan kakinya ke dalam lantai coffee shop tersebut. Nadia rindu sekali. Aroma coffee shop itu selalu berhasil melemparkannya ke sebuah nostalgia tak berujung. Tiap kali dia mencium aroma roti kopi itu, kepalanya selalu membayangkan sosok pria yang berambut ikal tersebut.

Namanya Dave, pria asal Venesia yang pernah memadu kasih dengan Nadia, ketika Nadia masih berkuliah di Italia. Mereka bertemu di coffee shop bernama Paper & Cup, kedai kopi tertua di kota itu, setelah Cafe Florian. Pertemuan antara Dave dan Nadia dapat terbilang singkat karena keduanya hanya tak sengaja bertukar menu yang mereka pesan. Namun, tanpa disangka, ternyata keduanya adalah dua orang dari universitas yang sama.

Hubungan mereka terjalin cukup lama, dua tahun, sampai mereka lulus dan Nadia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Hubungan mereka jadi terombang-ambing sejak berjauhan, ditambah keduanya sama-sama sibuk dalam mencari pekerjaan sebagai orang yang baru saja mendapatkan gelar sarjana.

Dave pun bilang, kalau dia akan melanjutkan pendidikannya, tapi tidak di Venesia, melainkan di New York, Amerika Serikat. Keputusan itu menimbulkan perdebatan di antara mereka berdua, karena jarak mereka akan semakin jauh lagi. Meskipun mereka tetap berjauhan dan tidak bisa bertemu kalaupun Dave menempuh pendidikan di Venesia, tapi malam itu, mereka berkelahi hebat yang menyebabkan hubungan mereka berdua kandas.

"Maafkan aku karena lupa mengingatkanmu untuk mengurus tanaman, tadi sore," ucap Nadia, mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil, di suatu malam, ketika keduanya berada di kamar Dave.

My Cerpens; Kumpulan CerpenHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin