Trust Me, I Know 2

186 23 2
                                    

"KAMU yakin gak mau pertimbangin Denis dulu?" tanya Mama, mengangkat piring-piring yang baru saja selesai digunakan di meja makan. "Dia baik, pinter, dan punya pekerjaan tetap. Mama gak paksa kamu sama dia, cuma yah, gak ada salahnya dipertimbangin dulu."

"Bukan masalah dia orang yang baik, pinter, atau gimana, Ma," Cinta memberi jeda. "Aku cuma lagi gak pengen pusing sama urusan laki-laki. Aku sendiri dulu aja."

"Oke…" Mama memberi jeda. "Gimana dengan Edward? Kalian beneran bakalan pura-pura kaya kalian gak pernah ketemu satu sama lain?"

Cinta yang semula membaca majalahnya di sofa, lantas menghela napas. "Udahlah Ma, gak usah bahas dia."

Hari ini sudah berbulan-bulan sejak kejadian waktu itu, sejak dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan hanya ke Amerika jika dia memiliki urusan yang penting terkait pekerjaan dan semacamnya. Cinta tak pernah bertemu dengan Edward lagi, bahkan Cinta sudah memblokade semua langkah yang bisa Edward lakukan untuk menghubunginya.

Dia tak bisa bohong mengenai betapa hancurnya dia sejak hubungan mereka kandas. Meskipun dia marah dan meninggalkan Edward dengan tega seperti itu, tapi jika saja Edward tau, mungkin Cinta jauh lebih hancur dibandingkan Edward sendiri.

Dia mempercayai Edward lebih dari apapun. Edward adalah pria yang baik dan tau caranya memberikan kebahagiaan kepada Cinta. Cinta pun tau, dia hanyalah wanita muda yang keras kepala dan kerap menyusahkan Edward. Dia pun selalu bertanya-tanya, apakah sifatnya itu membuatnya pantas untuk diselingkuhi? Karena tak bisa dipungkiri, mungkin Edward pun muak dengan hubungan mereka.

"Udah, tidur. Besok kamu ada kelas, kan?" tanya Mama, membuyarkan lamunan Cinta.

Cinta tak membalas apapun, dia hanya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar tidurnya.

Jika di sini malam, mungkin di sana siang. Apa yang orang-orang lakukan sekarang di sana? Sibuk dengan pekerjaan? Dia tak tau kalau orang-orang, tapi dia yakin, pria itu sibuk dengan pekerjaannya saat ini. Edward pasti berkutat di hadapan laptop sampai senja tiba, lalu dia akan pulang ke rumah dan makan malam, mandi, lalu tidur.

Oh, tidak. Dia takkan sendiri melakukan semua itu. Pasti wanita itu ada di rumah dan membuatkan makan malam, membersihkan rumah, serta menemani Edward tidur. Rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagi Edward dan Cinta itu kini sudah dihuni oleh orang lain dan Cinta merasa penasaran, pernahkah Edward merasakan deja vu meskipun sekali saja?

Apa yang Edward rasakan sejak Cinta pergi? Apakah dia baik-baik saja? Atau justru sebaliknya?

Cinta memang keras waktu itu. Dia langsung membuat keputusan untuk meninggalkan Edward tanpa pikir panjang, seakan-akan dia sudah muak dengan segala hal yang berhubungan dengan Edward. Namun, percayalah, dia pun tak ingin begini. Dia pun tak ingin hubungan mereka hancur. Dia pun masih sering memikirkan Edward, padahal pria itu sudah bercumbu dengan wanita lain di hadapan Cinta. Seharusnya, itu cukup bagi Cinta untuk melupakannya. Namun, apa yang bisa dia lakukan?

Kepercayaan Cinta sudah hancur, itulah kenapa hubungan mereka pun ikut hancur. Hubungan itu ibaratkan rumah dan kepercayaan adalah pondasinya. Jika kepercayaan sudah dirusak, jangan harap rumah itu bisa berdiri dengan sendirinya, seindah apapun dia.

"Cinta!"

Cinta yang semula berbaring di atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berisik, lantas mengernyitkan dahinya ketika dia mendengar seseorang menyebut namanya. Bukan sembarang 'seseorang', melainkan suara yang pernah menjadi favoritnya. Suara yang amat dia kenal, tapi beberapa bulan terakhir ini tak pernah dia dengar lagi.

"Cinta! Keluarlah karena aku tak tau rumahmu yang mana!"

Cinta segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu berlari keluar dari rumah. Bisa bahaya jika tetangga terganggu dan pria itu ditangkap oleh security dan semacamnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Cinta, mengeratkan piyamanya, berjalan menuju Edward yang berdiri tepat di tengah jalan kompleks ini. Di luar sangat dingin, bahkan Cinta tak mau mengeluarkan tangannya dari lipatan tangannya di depan dada.

Edward menatap Cinta lama. Kedua mata itu memberikan pandangan yang sulit diartikan. Dia tersenyum ringan, sepertinya perasaannya bercampur aduk.

"Kenapa kau bisa di sini?" tanya Cinta. "Dan untuk apa?"

"Aku tak ingin kau pergi," Edward menghela napasnya berat. "Kumohon, jangan tinggalkan aku, Cinta."

Cinta memalingkan wajahnya, tak ingin Edward melihat matanya yang mulai mengembun. Dia berdiri membelakangi Edward, tak ingin air matanya tumpah.

"Kau menghancurkanku dengan pergi meninggalkanku."

"Bagaimana denganku?" tanya Cinta. "Menurutmu, kebersamaanmu dengan wanita lain itu tak membunuhku? Kau pikir, aku baik-baik saja akan hal itu?"

Edward terdiam sejenak. "Aku salah. Dari awal, aku sudah salah. Aku merasa jenuh dan kesal dengan sifat kekanakanmu dan kupikir, aku butuh orang lain yang tak membuatku pusing seperti jika aku bersamamu. Namun, tidak, Cinta. Sebaik apapun wanita di luar sana daripadamu, mereka takkan bisa menggantikanmu."

Cinta mengusap matanya, tak ingin terlihat menangis di hadapan Edward.

"Akhirnya aku mengerti, kau adalah segala yang kuinginkan. Wanita di luar sana… mereka bisa lebih cantik, lebih baik, lebih tenang, dan tidak kekanakan sepertimu. Logikaku menginginkan mereka, tapi hatiku tak bisa bohong kalau aku hanya menginginkanmu. Maafkan aku."

Cinta memukul dada Edward. Sekali, dua kali, tiga kali. Edward membiarkan Cinta memukulnya, menjadikan tubuhnya sebagai pelampiasan dari amarah yang selama ini menyiksa wanita itu.

"Kumohon, kembalilah, Cinta," ucap Edward. "Aku takkan pernah mengulang kesalahan yang sama. Kumohon."

"Kau pergi dari Amerika ke Indonesia sendirian?" tanya Cinta, dibalas anggukan oleh Edward. "Hanya untuk menemuiku?"

Edward menghela napas, mengangguk lagi. "Dan itu tak mudah. Aku sudah sampai di sini sejak beberapa hari yang lalu, tapi aku selalu tersesat dalam mencari alamat rumahmu."

Cinta tertawa. Edward pun ikut tertawa. Edward menarik Cinta ke pelukannya, memeluk wanita itu erat. "Maafkan aku."

Cinta membalas pelukan Edward, mengelus punggung pria itu.

"You have no idea how much I miss you since you left me," kata Edward.

Suara yang berat, pelukan yang erat, dan mata yang berkaca-kaca. Cinta pikir, tanpa Edward katakan pun, dia tau seberapa menyesal dan seberapa rindunya Edward kepadanya.

Orang-orang bilang, memberi kesempatan kedua itu adalah hal yang bodoh. Namun, bagi Cinta, mungkin setelah ini mereka bisa lebih saling mengerti dan menambal segala kerumpangan hubungan mereka sebelumnya.

"I know," Cinta memberi jeda. "Trust me, I know."

---------------------------------------

12 Apr 2022

dedicated for millionagnes07 🌻

My Cerpens; Kumpulan CerpenDove le storie prendono vita. Scoprilo ora