His Wedding

182 26 1
                                    

GERIMIS malam itu. Suhu menusuk kulit, rintik menusuk bumi. Malam itu adalah tanggal enam belas di bulan Desember, hari ulang tahunku. Aku tak minta apa-apa untuk hari ulang tahunku. Cukup Natta bersamaku, sepanjang hari, sepanjang malam, menyelimutiku dengan kehangatannya.

"Kamu yakin gak mau apapun selain ini?" tanya Natta sambil menatapku, memastikan sekali lagi. Ini sudah ketiga kalinya dia melontarkan pertanyaan yang sama. "Makan mie instan di hari ulang tahun... pacar macam apa aku ini?"

Aku menahan tawa. "Kan aku yang pengen, jadi bukan kamu yang salah."

"Ya, tapi, aku bisa kasih kamu apapun yang kamu mau, di hari ulang tahunmu."

"Yang aku mau udah ada di hadapanku," kataku, seketika membuat senyuman Natta mengembang. "Butuh apa lagi?"

Natta meraih tanganku, menempelkannya di wajahnya. Tangannya begitu hangat, sedangkan tanganku begitu dingin.

"Sampe kapanpun... aku akan selalu milih kamu."

Setidaknya, itu dua tahun yang lalu. Lamunanku dibuyarkan oleh suara sendok garpu yang jatuh terhempas ke lantai keramik gedung ini, membuatku sedikit kaget. Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dari posisiku.

"Lo gak makan? Ntar kambing gulingnya abis," ujar Nesa duduk di hadapanku, meletakkan makanannya di atas meja. "Masih galau?"

"Apaan, sih," Aku memusatkan perhatianku kepada ponsel yang ada di genggamanku. "Lo udah salaman belom sama Natta? Udah makan aje."

Nesa menggeleng. Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas.

"Yaudah, buruan. Kita barengan ngantrinya."

Gedung ini mewah sekali. Alunan saxophone memanjakan telingaku sedari aku tiba di gedung ini. Antrian yang panjang itu dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan pakaian indah dan berkilauan. Seperti kedua mempelainya... mereka pun tampak berkilauan.

Undangan berwarna silver itu tiba di rumahku beberapa waktu lalu. Aku tau, Natta sudah menemukan perempuan yang lebih baik dariku, tapi aku tak menyangka bahwa mereka akan melangkah ke jenjang pernikahan secepat ini. Dua tahun yang lalu sudah berlalu. Natta yang berstatus sebagai milikku pun... sudah berlalu.

Dia adalah lelaki yang bersamaku selama lima tahun. Kami melewati segalanya bersama, mulai dari jenjang perguruan tinggi sampai mencari pekerjaan. Dia adalah lelaki yang baik. Salah besar jika kalian mengira bahwa hubungan kami kandas karena kesalahannya. Dia tak salah apapun. Aku pun tak salah apapun. Tak ada yang salah di antara kami berdua. Takdir hanya bukan milik kami.

"Udah?" tanyaku, ketika Nesa bangun dari posisinya. Nesa mengangguk, lalu menarik tanganku untuk berjalan menuju antrian yang panjang. Antrian ini panjang, tapi aku bisa melihat wajah Natta dengan jelas di atas sana. Jas putih yang rapi dan potongan rambut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Matanya tampak berbinar, senyumannya mencerminkan suasana hatinya dengan jelas. Senyumannya masih sama, tak ada yang berubah.

"Gak usah sedih," kata Nesa, menatapku tajam. "Udah sampe sini, di hadapan Natta, lo harus liatin kalau lo udah punya kebahagiaan sendiri juga."

"Gak ada yang sedih," sanggahku, sebal. "Gak usah nuduh yang aneh-aneh."

Antrian ini terasa singkat akibat peperangan yang terjadi di dalam kepalaku sehingga membuatku banyak melamun sepanjang mengantri. Sampai tiba saatnya, aku melihat sepasang mata itu menoleh ke arahku, diikuti tatapan wanita di sebelahnya. Wanita yang jauh lebih baik dibandingkan diriku. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan wanita itu.

"Selamat, ya," kataku, tersenyum, memeluk Jessica, wanita yang saat ini sudah menjadi pemilik sepenuhnya dari Natta tersebut. "Aku seneng banget untuk kalian. Kalau nanti kalian udah ada rencana program kehamilan, boleh banget di klinikku."

Jessica tersenyum ramah, mengangguk semangat. "Makasih ya, Kak. Iya, pasti."

Aku pun menyodorkan tanganku di hadapan Natta, menatapnya nanar dengan senyuman mengembang di wajahku. "Selamat ya, Nat."

Natta membalas senyumanku dan tanganku. "Makasih udah dateng ya, Nay."

Usai memberi selamat kepada Natta dan Jessica, aku dan Nesa pun pulang ke rumah. Malam ini, seharusnya aku memiliki jadwal untuk bertugas di klinik dan menangani pasien. Namun, sesuatu di dadaku yang bercampur aduk membuatku bingung sepanjang perjalanan menuju rumah.

Aku memasuki kamarku. Kamar itu gelap, hanya tersisa cahaya remang-remang dari lampu tidur yang lupa kumatikan. Aku menoleh ke arah polaroid yang menempel di ujung monitor komputerku. Polaroid yang memuat empat pose konyol dari pasangan aneh yang waktu itu berjuang di prodi masing-masing, enam tahun yang lalu. Aku meraih foto tersebut, lalu memasukkannya ke dalam laci mejaku. Foto yang sudah ditempel bertahun-tahun itu menyisakan bekas di ujung layar monitorku.

Aku tertegun ketika Nesa tiba-tiba menyalakan lampu kamarku. Aku tak berani menatapnya. Kedua mataku sudah berkaca-kaca sejak aku melihat foto tersebut.

"Nes," ujarku. "Gue gak bisa praktek hari ini. Lo gantiin gue, ya?"

Nesa menghela napasnya. "So... apa yang terjadi, Dokter Nayla? Nikahan mantan bikin lo kehilangan semangat untuk nanganin pasien hari ini?"

Aku tak bisa menahan tangisanku. Aku mengusap mataku, lalu mengangguk.

"Gue bilang juga apa," kata Nesa. "Mending kita gak usah dateng hari ini."

"Tapi, dia pun harus tau kalau gue baik-baik aja."

"Oke. Habis ini, pengorbanan apa lagi yang mau lo kasih?" tanya Nesa, berkecak pinggang di hadapanku. "Coba lo kaji satu-satu deh, Nay. Effort apa aja yang udah lo kasih untuk hubungan lo dan Natta, terus bandingin sama effort apa aja yang udah Natta kasih buat hubungan kalian."

Aku hanya bisa mengusap mataku, tak menjawab apapun. Nesa memang keras untuk urusan cinta, terutama ketika membahas Natta.

"Kalau lo jatuh cinta sama orang, harusnya lo tanyain diri lo sendiri, apa aja yang udah lo usahain untuk hubungan kalian selama ini. Lo udah perjuangin banyak hal, sedangkan dia gak lakuin apapun. Lo pikir, dia pantes dapetin lo?" bentak Nesa. "Hubungan kalian kandas pun karena lo berhenti berjuang. Harusnya, dia dan otaknya yang gak seberapa itu bisa mikir, kalau lo berhenti berjuang, itu tandanya giliran dia yang gantian berjuang. Pondasi dari hubungan kalian cuma lo, selama ini. Itulah alasan sebenernya dari hancurnya hubungan kalian."

Nesa memberi jeda sejenak. Tampaknya, dia benar-benar kesal dengan apa yang dia lihat saat ini. Benar, Nesa adalah sahabatku sejak awal masuk kampus. Kami berada di prodi yang sama. Dia pun adalah temannya Natta.

"Sesimple kekhawatirannya mengenai lo yang baik-baik aja atau enggak pun masih lo pikirin," kata Nesa lagi. "Lupain. Berhenti lakuin apapun untuk dia. Perjuangan lo udah selesai sejak dua tahun yang lalu."

Aku mengangguk, mengerti. Di tengah kebutaanku akan cinta yang kuanggap sempurna, hanya Nesa-lah yang bisa mendobrakku dan membangunkanku. Segala ucapannya yang kasar dan keras adalah bentuk dari rasa sayangnya kepadaku karena aku tau, hanya dialah yang waras ketika hati dan pikiranku dibutakan oleh cinta.

----------------------------------------------

when you are in love, you need to ask yourself: what effort have you done to your lover?

-----------------------------------------------

30 Jul 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now