Somebody Could Love You More

185 10 0
                                    

AKU menyandarkan tubuhku di kepala kursi, lalu mendongak ke langit-langit kamarku. Terasa seperti bintang-bintang tak tertempel di atas sana, tapi jauh di dalam hatiku. Malam ini, aku begadang lagi, tapi bukan untuk mengerjakan tugas kuliah seperti biasa, melainkan untuk menyelesaikan sebuah serial yang tak sempat kuselesaikan dari kemarin karena tugas yang menumpuk. Aku mematikan laptopku, lalu mengganti posisiku menuju tempat tidur. Aku membuka ponselku, membuka beberapa pesan yang belum dibaca.

Kalau jam 2 atau 3 nanti belum bisa tidur, telepon aku aja, oke.

Pacarku sudah tidur. Dia mengirimkan pesan itu karena dia tidur duluan, dia memang orang yang gampang sekali mengantuk. Sedangkan aku kebalikannya, aku orang yang sangat sulit untuk tidur dan memiliki jam tidur yang selalu berantakan sejak dulu.

Ada beberapa pesan lainnya dari grup kuliahku, ada beberapa pesan dari grup teman SMA-ku. Setelah membalas pesan dari pacarku, grup SMA, dan mengabaikan grup kuliah, akupun beralih ke kesibukan yang lain, yaitu membuka catatan digitalku.

Aku adalah orang yang menulis apapun terkait perasaanku, mimpiku, apapun itu. Terkadang, tiap kali aku membuka jurnal mimpiku, aku merasa kaget sendiri karena terasa tak mungkin aku pernah menulis itu, saking seringnya aku menulis, aku tak ingat apa saja yang kuabadikan dalam bentuk tulisan.

Aku mengernyitkan dahi ketika kedua mataku menangkap satu judul catatan yang sudah kusam.

Forever Rain. Satu cerpen itu kutulis pada tahun 2019, tepatnya empat tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMA. Satu cerpen yang kupublikasikan, berisi tentang perasaan sakitku akan perbedaan agama dan ditinggal oleh cinta monyet yang kurasakan pada saat itu. Aku ingat sekali, betapa besar dampak dari putus cinta yang kurasakan waktu itu.

Aku membaca cerpen itu lagi, malam ini. Mungkin, dulu aku menulis dan membacanya sambil menangis, tapi kali ini, aku tertawa sendiri dan merasa malu dengan diriku sendiri. Namun, toh, semua orang pernah muda. Semua orang pernah merasakan satu perasaan yang disebut-sebut sebagai cinta, padahal kita sendiri bahkan belum paham dari makna mencintai dan dicintai pada waktu itu.

Baiklah, hentikan. Akupun keluar dari cerpen itu, lalu jariku kembali men-scroll catatan-catatanku dari empat tahun yang lalu.

Somebody Could Love You More.

Satu judul lainnya dari catatanku itu membuatku tertegun. Aku terdiam, lama sekali. Isinya kosong. Itu bukan cerpen ataupun puisi. Itu hanyalah sebuah pengingat yang pernah kubuat untuk menguatkanku ketika aku patah hati oleh mantanku empat tahun yang lalu, sebuah pengingat bahwa suatu hari aku akan dicintai oleh seseorang yang lebih paham caranya mencintai diriku, lebih dari siapapun.

Aku memeluk bantal gulingku. Pernah ada masanya dimana aku terbaring di tempat tidur seperti ini memeluk bantal guling, masih mengobrol dengan seorang laki-laki yang juga selalu kesulitan tidur sepertiku pada dini hari, empat tahun yang lalu. Kami membicarakan musik, anime, apapun itu. Dia, mantanku itu, berbeda dengan pacarku saat ini. Pacarku adalah tipe orang yang gampang tidur, meskipun bukan berarti pacarku tak pernah menemaniku sampai pagi. Aku dan pacarku yang saat ini memiliki perbedaan di banyak hal, terutama hal yang kami sukai. Film, musik, apapun itu. Kami jarang membicarakan itu.

Namun, pacarku selalu menanyakan segala tentang diriku. Kuliahku, kesehatanku, kondisi keluargaku, pendapatku mengenai segala tentang dirinya dan urusannya, serta segala tentang diriku dan urusanku. Dengan semua itu... apakah aku harus peduli dengan berbagai hal kesukaan kami yang berbeda?

Bagiku, apabila film, musik, apapun itu, dan semua hal yang kusukai itu berbentuk cairan yang dimasukkan ke dalam sebuah vas kaca, mungkin aku akan menghempaskan vas itu sampai hancur lebur menjadi kepingan-kepingan yang tak bisa disatukan kembali. Cairannya akan menjadi sesuatu yang sia-sia, tak bisa dikumpulkan kembali. Semua itu bukanlah hal yang penting bagiku. Bukan hal yang penting bagi pacarku.

Mungkin, aku pernah dijemput oleh mantanku dan kami berkendara sejauh ribuan kilometer dengan kaca mobil yang terbuka dan rambutku yang dimainkan oleh angin, aku merasa kedinginan, meskipun kuakui, itu perjalanan yang seru. Namun, ternyata ada masanya dimana dia merasa bingung, entah memiliki perubahan destinasi ataupun khawatir mobilnya dikotori olehku, sehingga dia meninggalkanku di jalanan. Perlahan, aku merasa diriku berlumuran darah atas sakitnya perasaanku karena sudah dia tinggalkan. Berharap semuanya ilusi, padahal nyata. Di sisi lain, sebenarnya darahku adalah ilusi, tapi aku merasa itu nyata.

Kemudian, aku dijemput oleh pacarku dan kami berkendara sejauh ribuan kilometer dengan kaca mobil yang tertutup dan rambutku rapi sepanjang perjalanan. Aku tak kedinginan, tapi dia memegang tanganku dengan erat. Dia memastikan, apakah aku kedinginan? Apakah aku nyaman? Apakah aku suka dengan perjalanannya? Apakah aku ingin mengubah destinasi kami? Apakah aku siap untuk turun bersamanya? Dia yang mengendarainya, dia membawaku jauh, tapi memastikan semuanya aman. Mungkin, kalaupun semuanya ilusi, bagaimana jika aku tetap berharap semuanya nyata saja? Lalu, aku takkan meminta siapapun membocorkan padaku bahwa aku sedang berilusi.

Namun, dia nyata. Pacarku ada bersamaku, selalu ada di dekatku, menemaniku. Dia tak pernah meninggalkanku, seperti yang pernah dia katakan. Aku menjadi diriku tiap kali aku ada di pelukannya, akupun takkan pernah menuntut apapun tiap kali dia ada di rangkulanku. Pacarku adalah seseorang yang ternyata pernah kutulis empat tahun yang lalu, sebuah catatan yang kubiarkan kosong karena aku baru menemukannya empat tahun kemudian. Ternyata, aku salah. Tak ada hujan yang selamanya. Hujan yang sempat kusebut 'selamanya' itu sudah reda, sederas apapun dia pernah menghujam dasar hatiku.

Sekarang sudah pukul 2.19 AM dan aku masih terjaga, tapi aku tak mau menelepon pacarku, meskipun dia memintaku membangunkannya saja jika aku tetap tak bisa tidur sampai jam tiga pagi. Aku akan membiarkannya tertidur. Seketika aku sadar... ketika kita mencintai seseorang, entah kenapa, semuanya terasa cukup. Aku bisa ikut merasakan perasaan senang, sekalipun dia sedang tertidur dan tak melakukan apapun, merasa nyaman dengan bunga tidurnya.

Hujan yang sempat kukatakan 'selamanya' itu sudah reda, menyisakan aroma petrichor. Aku menemukan langit yang sebiru hatiku. Seseorang yang mencintaiku lebih dari laki-laki manapun yang pernah mencoba berjanji untuk mencintaiku sepenuh hati, tapi ternyata sepenuh dusta.

Namun, pacarku, dia tak pernah menjanjikan apapun. Dia hanya selalu ada di sisiku, menemaniku, menjagaku, terserah apapun istilahnya. Dia di sini bersamaku, selalu berusaha untuk memastikan bahwa aku aman. Apabila kami berhasil sampai di destinasi yang kami rencanakan, maka jari kelingkingku akan menjadi saksi bahwa aku akan selalu menjadi miliknya, kemanapun dia menuntunku pergi.

-----------------------------------------------

2 Juni 2023

-----------------------------------------------

A/N :

'Forever Rain' yang dibicarakan di cerpen ini bisa dibaca di cerpen chapter 16 yang berjudul Hujan Selamanya.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now