My Worst Love, Noah

792 72 10
                                    

KOI no yokan. Dalam sebuah pertemuan, koi no yokan berarti sebuah perasaan yang mengatakan bahwa suatu saat kamu akan jatuh cinta pada orang itu.

Aku mempercayai hal itu. Aku bahkan sering mengalaminya. Mau dimanapun, jika aku bertemu lelaki tampan ataupun lelaki baik, aku selalu berpikir orang itu akan menjadi koi no yokan buatku.

Sebuah kewajaran bagi perempuan berusia 18 tahun sepertiku untuk mendambakan seorang lelaki baik. Maksudku, bukannya aku tak laku, aku hanya ingin seorang lelaki yang serius. Lagipula, terakhir kali aku berpacaran pada usia 16 tahun yang sudah cukup membuatku kapok berpacaran dengan lelaki kekanakan yang haus kasih sayang, tapi tak pernah memikirkan ke depannya.

Kuakui, aku tak mudah jatuh cinta. Mau tampan, kaya, punya segalanya, tak semudah itu membuatku jatuh cinta, meski mudah untuk membuatku kagum. Aku menyukai lelaki pintar dan baik. Tampan dan kaya bukanlah segalanya bagiku.

Sampai suatu hari, aku bertemu dengan seorang lelaki bernama Noah.

Aku tak sengaja bertemu dengan Noah di sebuah perpustakaan yang terletak di pusat kota. Aku, yang dari sananya memang tulalit, tak sengaja meninggalkan hapeku di atas meja perpustakaan, pada saat itu. Untung saja, seseorang mengejarku dan mengembalikan hapeku.

Aku masih ingat pakaiannya saat itu. Dia mengenakan kaos oblong dan cardigan bermotif garis-garis dengan lengan yang dilipat sampai siku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena dia mengenakan masker. Yang pasti, rambutnya gondrong ikal sebahu, alis yang tebal, dan mata yang tajam.

Kalian pasti gagal fokus dengan diriku yang memperhatikannya serinci itu. Namun, penampilannya cukup membuatku terpaku untuk sejenak, pada saat itu. Aku akui, dia memiliki aura yang bagus dan tampan meski wajahnya tertutup masker.

Ah, corona. Gara-gara lo, gue jadi gak bisa lihat wajah dia, batinku saat itu.

Kupikir, lelaki yang tak kuketahui namanya pada saat itu takkan kutemui lagi. Maksudku, kupikir itu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Namun, di luar ekspektasiku, dia justru memasukkan nomor hapenya ke kontakku dan menyimpan nomorku di hapenya.

Tentu saja, itu lancang dan aku tak suka. Apa gunanya tampan jika belum kenal saja sudah begitu? Apa yang terjadi jika aku beneran pacaran sama dia? Aku mungkin ditinggalkan tanpa permisi, pikirku.

Dia meneleponku malam itu. Aku mengabaikannya di awal, tapi dia justru meneleponku berulang kali. Benar-benar laki-laki menyebalkan.

Lagian, aku juga salah. Seharusnya, aku tak berharap banyak pada lelaki tampan. Emangnya, pada jaman apa lelaki tampan memiliki perilaku baik?

"Lo kemana aja?"

Bukannya assalamualaikum atau halo, dia justru menanyakan aku kemana, seakan-akan aku sudah kenal dengannya seabad yang lalu.

"Lo siapa?" tanyaku dingin. "Apa hak lo buat gangguin gue?"

"Gue Noah," jawabnya kalem.

"Gue gak nanyain nama lo," kataku menyeringai. "Gue jujur aja, ya. Lo tuh ganggu, gue gak suka."

"Siapa bilang lo harus suka?" tanya Noah. "Lo pikir gue suka sama lo?"

"Kalau bukan karena suka, lo ngapain nerror gue kayak begini?"

"Siapa yang nerror, anjir?" kata Noah, sebal. "Lo salah bawa buku."

Aku terdiam cukup lama. "Buku?"

"Yup."

"Buku yang mana?"

"Lo malah bawa buku catatan gue," ujarnya. "Buku catatan Kimia lo ada di gue."

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now