Aku Ingin

179 19 0
                                    

PUISI favoritku adalah Aku Ingin, oleh Sapardi Djoko. Puisi yang menjelaskan bahwa cinta tak harus memiliki. Cinta akan menjadi sesederhana itu jika kita tidak mengharapkan balasan. Cinta adalah ketulusan dan belum tentu semua orang bisa memberikan ketulusan. Jangankan memberikan, mungkin tak semua orang bisa merasakan perasaan seindah dan sesederhana itu.

Aku hanya bisa memandangi Pak Reno dari posisiku. Pria itu tengah memimpin sebuah rapat dengan setelan abu-abu, sambil menjelaskan isi pikirannya kepada semua orang yang hadir di dalam ruangan tersebut. Rambutnya hitam legam, tak terlalu rapi, tapi juga tak berantakan. Wajahku mendadak datar dan aku segera kembali mengerjakan pekerjaanku ketika aku menyadari bahwa ada cincin berwarna silver yang menempel di jari manisnya ketika dia sedang menunjuk papan layar proyektor tersebut.

Dia sudah milik wanita lain.

Yah, Pak Reno sudah menikah dengan Rosi, wanita cantik yang bekerja sebagai model. Mereka belum lama menikah dan aku turut berbahagia akan hal itu. Namun, sayangnya, perasaan tak bisa dibohongi. Perasaanku masih tersisa teramat banyak untuk Pak Reno, tak kunjung menjadi abu meskipun sudah terbakar berulang kali. Aku tau, sulit bagiku untuk melupakannya karena kami berdua pun punya masa lalu.

Aku dan Pak Reno dulunya adalah sepasang kekasih, sebelum dia berada di posisi setinggi sekarang di perusahaan ini. Kami menjalani hubungan selama kurang lebih enam bulan. Mungkin, lamanya waktu hubungan kami memang seharusnya tak cukup baik untuk membuatku sesusah itu berpaling darinya. Namun, bagiku pribadi, waktu bukanlah masalah. Aku bahkan sedikit takut dengan diriku sendiri, andaikata secara fakta kami hanya menjalin hubungan selama enam bulan, tapi perasaanku untuknya justru berlangsung sepuluh kali lipat lebih lama dari itu.

Hubungan kami kandas karena orang tuanya tak menyukaiku. Pak Reno pun sangat menuruti orang tuanya, itulah kenapa dia lebih memilih untuk meninggalkanku. Beberapa bulan kemudian, dia pun menikah dengan wanita lain. Tentu saja, aku merasa sakit. Aku izin tidak masuk kerja selama tiga hari dengan alasan sakit, beruntungnya rekan kerjaku yang paham makna 'sakit' itu, bersedia menggantikan pekerjaanku sementara.

Aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Sampai akhirnya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan hanyalah keikhlasan. Biarlah aku hanya mencintainya dan dia tak mencintaiku. Yang kuharapkan hanyalah kebahagiaannya, hanya sesederhana itu, agar cinta ini pun tak menjadi gila dalam kepalaku.

Aku juga mulai sadar makna yang sebenernya dari ketulusan, sepertinya semua orang takkan mengerti itu, jika belum merasakan langsung sepertiku. Ketulusan itu indah, sangat indah. Hanya saja, berduri, tak semua orang bisa menahannya. Kupikir, mungkin duri itulah yang membuatnya jadi indah dan tak biasa.

"Julia, hari ini kamu pulang jam berapa?"

Aku terlonjak kaget dan lamunanku seketika buyar. Aku bahkan sudah tak tau apa yang sedang kuketik di laptopku. Aku menoleh ke depan, mendapati Pak Reno sedang menatapku, menunggu jawaban dariku.

"Eh, ya, kayanya jam lima, Pak," jawabku, canggung. Seperti sepasang mantan kekasih pada umumnya, hubungan kami jadi sangat canggung sejak putus. Kami juga sangat jarang berbicara. Kecanggungan itu bertambah ketika dia saat ini berada di posisi yang harus dihormati dan seketika, aku mau tak mau harus memanggilnya Pak Reno, bukan Reno lagi.

"Aku mau minta tolong untuk back up kerjaan Jonathan ya, soalnya Jonathan ada keperluan mendesak dan aku gak tau harus minta tolong ke siapa," kata Pak Reno, terkekeh canggung. "Bisa?"

"Bisa, kok," jawabku, tersenyum ringan. Setelah berterimakasih dan berpamitan, Pak Reno pun berlalu.

Setidaknya, meskipun hubungan kami jadi sangat canggung, kami tak memiliki perang dingin atau semacamnya. Kami tetap menjadi teman dan rekan kerja, hanya sebatas itu.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now