Pulpen Biru

390 23 4
                                    

"AH, sorry…" Lelaki yang tanpa sengaja menjatuhkan kotak pensilku itu spontan membungkuk, meraih kotak pensilku dengan pulpen, pensil, dan alat tulis lainnya yang berserakan di lantai. Setelah memasukkan alat tulis itu kembali ke tempatnya, dia pun menaruh kotak pensil itu di atas mejaku. "Nih. Oh, ya. Hujannya awet banget, ya."

Itulah awal mula kedekatanku dengan lelaki yang bernama Biru tersebut. Menurutku, dia adalah lelaki yang humoris dan random. Sifat itu membuatnya mudah sekali untuk mendapatkan teman dan terkadang menjadi pusat perhatian orang-orang karena celetukannya yang mampu membuat orang tertawa.

Aku bukanlah perempuan yang istimewa. Aku biasa saja. Maksudku, ada banyak perempuan yang jauh lebih populer dan memiliki banyak kelebihan dibanding diriku. Aku hanya… biasa saja. Tidak problematic, tidak pula dikucilkan. Aku punya banyak teman. Hanya saja, aku dan Biru cukup berbeda. Dia selalu dikelilingi energi yang positif dan ada banyak orang yang mau dekat dengannya.

Namun, meskipun kami bukanlah orang yang mirip, baik itu dalam segi selera humor, circle, bahkan energi yang positif atau biasa saja, tapi semesta terus mempertemukanku dengannya. Semesta terus melibatkan aku dan dia dalam satu hal yang membuat kami pun kian dekat. Nyaman. Itu yang membuat perasaanku jadi tak karuan. Aku merasa senang dan khawatir di saat yang bersamaan. Aku senang karena aku jatuh cinta kepada orang semenawan Biru, tapi di sisi lain, aku juga khawatir jika perasaanku sia-sia.

"Ini buat kamu," ujarnya, suatu hari. Kami berada di dalam kelas, waktu itu. Bel pulang sudah berbunyi dan semua warga kelas sudah pulang, hanya tinggal aku dan Biru di kelas. Kebetulan, kami memiliki jadwal piket yang sama dan hari itu adalah jadwal kami. Dua temanku lainnya membersihkan bagian depan, sedangkan aku dan Biru membersihkan ruangan kelas.

"Apa?" tanyaku, mengernyitkan dahi. Aku yang semula sibuk membersihkan jendela dengan kemoceng, lantas menghentikan tugasku untuk sejenak agar perhatianku tertuju kepada Biru.

"Pulpen," jawabnya, singkat. Dia memalingkan wajah, tampak salah tingkah.

Aku masih mengernyitkan dahiku, bingung. Tanganku meraih pulpen yang dia sodorkan, lalu menatap pulpen itu cukup lama, memikirkan tujuan Biru memberikanku pulpen itu.

"Itu pulpen yang tintanya biru," kata Biru. "Buat kamu."

"Makasih…" kataku, meskipun bingung. "Tapi, aku gak lagi ulang tahun."

"Pulpen biru itu buat kamu. Milik kamu," katanya. "Biru. Maksudnya, aku… biarkan aku jadi milikmu, Nat."

Aku melebarkan mataku. Wajah Biru tampak sedikit merona karena menahan perasaannya yang mungkin ingin meledak, tapi dia berusaha menatapku dengan berani. Hari itu, dengan cahaya matahari jingga yang membias masuk ke dalam ruangan kelas, Biru pun menjadi milikku.

Aku merasa bahwa aku adalah orang paling beruntung karena dicintai oleh dirinya. Dia adalah orang yang mampu membuatku jatuh cinta setiap hari. Dia tau cara memperlakukanku dengan baik. Dia adalah segala dari yang kuinginkan. Aku tak bisa meminta lebih. Segala yang kumau ada pada dirinya.

Sampai suatu hari, semuanya berubah.

Biru tiba-tiba menjauh. Hubungan kami jadi tak jelas dan tak sehangat dulu, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, meskipun aku tak mengerti apa yang terjadi. Jika dia mengalami sesuatu yang buruk, kenapa dia tak memberitahuku? Aku pasti akan membantu semua masalahnya. Apapun itu. Namun, dia berubah dan menghilang, seperti ditelan bumi. Aku merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi indah dan merasakan sakit yang teramat sangat ketika aku terbangun dari tidurku.

Bahkan jika itu hanya mimpi, biarkanlah aku untuk terus tertidur.

Waktu terus berjalan. Kami pun berganti status dari siswa menjadi alumni dari SMA tersebut. Biru sudah pindah sekolah hampir setahun, tapi aku tetap tak bisa melupakannya. Bahkan, walikelasku pun tak tau alasan kepindahan Biru yang begitu tiba-tiba. Bahkan, teman-temannya pun tak tau apapun tentang Biru, baik kondisinya sekarang, kemana dia pindah, dan mengapa dia pindah dan menghilang begitu saja.

My Cerpens; Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora