Pria Berkacamata Merah Muda

144 20 0
                                    

Cerita ini bergenre thriller. Jika tak suka, boleh skip.

-----------------------------

AKU menyalakan sebatang rokok yang ada di antara jemariku, kemudian menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari gedung yang sama dengan foto gedung yang tertera di layar ponselku saat ini. Aku menghela napas kasar, lalu menekan ikon telepon di sudut kanan atas ruang obrolanku dengan Yason.

"Halo."

"Gue udah kebingungan hampir setengah jam di sini. Gedung itu gak keliatan," ujarku, kesal. "Lo aja yang jemput gue ke sini. Gue gak ngerti apapun soal kota ini."

Dari posisiku, aku bisa mendengar helaan napas Yason yang tampaknya lelah dengan urusanku satu hari ini. Mau bagaimana lagi? Yason yang memintaku datang ke kota besar ini untuk menjadi pasien koasnya atau bisa berdampak buruk pada nilainya. Selain itu, apakah dia tak punya teman di sini sampai harus memintaku datang dari luar kota?

"Iya, gue jemput. Lo share lokasi, deh," kata Yason, pasrah. "Jangan galak-galak, Lin, nanti gak ada cowok yang mau dan jadi perawan tua."

"Bodo amat." Aku memutuskan sambungan telepon kami. Setelah mengirimkan lokasiku kepadanya, aku memasukkan ponselku ke dalam saku celanaku dan menyandar di sebuah pohon besar di pinggir jalan.

Kota ini panas sekali. Jalan raya dipenuhi oleh kendaraan yang berlalulalang. Semua orang disibukkan atas pendidikan, karir, dan hal lainnya yang membuatku semakin kegerahan melihatnya. Aku? Aku adalah mahasiswa seni yang santai. Tak terlalu ambisius, tapi juga tak terlalu cuek terhadap edukasi.

"Kak."

Aku yang awalnya larut dalam pikiranku dan menghisap sebatang rokok di jemariku, lantas menoleh ke arah seorang gadis kecil yang setara dengan pinggangku. Dia menatapku dengan tatapan takut dan polos, matanya sedikit mengembun.

Aku buru-buru mematikan rokokku. Meskipun aku adalah perempuan yang kasar dan berandal, tapi aku tak mau menjadikan anak kecil tak berdosa ini sebagai perokok pasif dan menerima hal negatif dari keegoisanku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku kehilangan mama," ujarnya. "Tadi, aku sama mama jalan-jalan di sini, tapi aku kehilangan mama."

Ah, menyebalkan. Inilah kenapa aku tak pernah menyukai anak kecil. Jika begini, apa yang harus kulakukan? Di sisi lain, aku pun tak tega membiarkannya menangis karena kehilangan orang tuanya.

"Kamu kehilangan mamamu?" Seorang pria dengan kacamata merah muda mendekati kami, tersenyum ke arah anak kecil di hadapanku. Dia mengenakan pakaian yang cerah, berkacamata, serta postur tubuh gemuk. Kacamata merah muda memang sedikit aneh untuknya, tapi dia tampak seperti pria baik. Mungkin, dia kebetulan lewat dan mendengar percakapan kami.

Anak perempuan tersebut mengangguk, mulai menyeka air matanya lagi.

"Tadi ada perempuan yang nyariin anaknya di sebelah sana. Mungkin, dia mamamu," kata pria tersebut, sedikit berjongkok. Anak perempuan itu pun menatapnya dengan tatapan berbinar.

Aku terenyum ringan. Baguslah jika ada orang baik yang ingin membantu untuk mengantarkan dan mempertemukannya dengan orang tuanya. Pria dan anak perempuan itu pun berlalu setelah berpamitan kepadaku. Tak lama kemudian, Yason pun muncul untuk menjemputku.

Aku menginap di rumah Yason selama beberapa hari, kebetulan aku pun sedang libur. Aku tak pernah paham kenapa mahasiswa kedokteran masih saja selalu sibuk ketika mahasiswa lain justru menikmati liburan. Namun, aku suka tinggal bersama Yason karena bagaimanapun, dia adalah sahabatku sejak kecil.

Suatu pagi, ketika aku baru saja hendak menyalakan rokokku, Yason menariknya dan menyimpannya kembali ke kotaknya. Aku menatapnya kesal, tapi dia malah menyodorkanku koran harian. "Mending lo cari kegiatan yang lebih berbobot daripada ngerokok. Ini rumah gue udah bau rokok dari kemarin. Udah gitu, bau rokok lo tajem banget."

"Nyebelin banget. Ini merk rokok favorit gue," kataku, meraih koran harian itu dan mulai membacanya.

Loh?

Apa ini?

Pedofil ini resmi menjadi buronan sejak dilakukan penggerebekan di rumahnya dan ditemukan banyak sekali mayat anak-anak.

"Dunia makin gila aja," komentarku sembari menghela napas.

Yason mengernyitkan dahinya, ikut membaca berita yang kubaca dari belakangku. "Oh, isu pedofil?"

"Menjijikkan," kataku lagi. "Udah gitu, kenapa gak ada orang yang curiga sama dia? Sampe makan korban lebih dari sepuluh orang."

"Pedofil berciri khas kacamata merah muda dan berpostur gemuk," kata Yason, mendikte kalimat yang dia baca pada berita tersebut. "Apa tujuan dia pake kacamata merah muda? Biar anak-anak tertarik untuk ngobrol sama dia? Konyol banget."

Aku menaikkan bahu. "Biar orang gak curiga, mungkin."

Sepersekian detik, aku tertegun. Pria berkacamata merah muda dan berpostur tubuh gemuk? Pria itu bukan pria yang kutemui beberapa hari yang lalu, bukan?

-----------------------------

4 Jul 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang