Sudah Setahun

228 25 0
                                    

AKU memandangi diriku di cermin besar meja riasku. Wajahku pucat dan mataku sembab. Aku mengenakan pakaian serba hitam. Aku meraih selendang hitam yang ada di atas kepala kursi riasku, lalu memasangkannya di kepalaku.

Ternyata hari ini, sudah tepat setahun sejak kepergian Wildan. Mungkin, hujan tak berhenti sedari subuh tadi. Namun, bagiku, hujan tak pernah berhenti sedari setahun yang lalu. Aku masih memiliki matahari di duniaku, tapi matahari itu sudah tak lagi memancarkan cahaya. Matahari itu suram, abu-abu, membuat suasana hatiku pun ikut tak berdaya. Kepergian Wildan merampas segala cahaya dan kehangatan yang seharusnya kurasakan sehingga yang tersisa hanyalah rasa sakit.

Aku menghela napasku. Selama berada di perjalanan, aku tak banyak berbicara. Ayah dan ibuku pun sepertinya mengerti dengan kondisi hatiku sehingga mereka pun ikut tak bergeming dan suasana hening di mobil ini mulai beranakpinak. Hanya suara rintik hujan dan pembersih kaca mobil yang terdengar di telingaku. Sedangkan kepalaku sibuk menerawang jauh entah kemana.

Wildan adalah tunanganku. Tepat seminggu sebelum pernikahan kami, dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku menyayanginya, tapi Tuhan lebih menyayanginya, itulah yang selalu orang katakan untuk menguatkanku. Aku tau, perasaan ini akan kembali membaik dan tertimpa dengan perasaanku untuk orang lain suatu saat. Tak ada rasa sakit yang permanen, tapi kejadian setahun yang lalu, benar-benar menyakitiku.

"Kedai ramen ini punya ramen terenak di dunia," ujar Wildan suatu hari, menggandeng tanganku masuk ke dalam sebuah kedai ramen yang dihiasi lampion berwarna merah. "Kamu harus coba."

"Beneran terenak di dunia?" tanyaku, mengernyitkan dahi. Wildan mengangguk. "Lebih enak daripada di Jepang langsung?"

Wildan terdiam, berpikir. "Ehm... sebenernya lebih enak yang di Jepang, tapi aku lebih milih ini karena low budget."

Aku tertawa. Kami menghabiskan waktu bersama malam itu. Mengobrol, tertawa, berbagi kehangatan. Kami sama-sama belajar cara menyeruput ramen yang benar, bercerita mengenai kejadian di kampus, dan membicarakan kucing peliharaanku. Dia adalah kehangatan yang bisa kurasakan tanpa harus kupeluk.

"Kamu tuh konduktor ya, Na?" tanya Wildan suatu hari, ketika kami tengah berada di perpustakaan. Aku bisa melihat bahwa buku yang dibacanya hanyalah buku kecil berisi lelucon karena dia ke perpustakaan ini hanya untuk menemaniku mencari referensi makalah.

"Konduktor?" Aku bertanya balik. "Kok konduktor?"

"Soalnya penghantar kehangatan," ucap Wildan, tersenyum. Aku bisa melihat lesung pipinya yang manis ketika dia tersenyum. Di mataku, dia sangat sempurna.

"Yee, dasar. Konduktor tuh penghantar panas, bukan kehangatan," kataku, tertawa. "Panas sama hangat tuh beda, tau."

"Yaampun, ini kan cuma lelucon, sayang," Wildan ikut tertawa. "Susah nih, kalau punya pacar yang orangnya logika banget."

"Terus? Maunya pacaran sama orang yang gimana?"

"Sama yang biasa aja, kaya mantanku yang terakhir."

Wajahku berubah menjadi datar. Wildan menahan tawa. Aku memukul lengan Wildan menggunakan buku yang sedang kupegang, sampai membuahkan 'aduh' dan 'ampun' darinya, meskipun sambil tertawa.

"Sstt."

Aku dan Wildan menoleh ke arah meja yang ada di seberang kami. Seorang wanita tampak merengut kesal karena terganggu dengan suara kami yang berisik. Aku dan Wildan hanya bisa saling pandang, lalu menahan tawa bersama.

Pernah suatu malam, Wildan memesan sebuah kereta kecil yang dihiasi banyak sekali lampu warna-warni. Dia datang ke rumahku sambil mengendarai kereta tersebut, membunyikan klakson di depan rumahku tanpa rasa malu apabila dilihat orang lain. Begitulah lelakiku. Dia selalu memiliki cara untuk membuatku tertawa.

"Kamu dapet ini dimana?" tanyaku ketika kereta itu mulai berjalan.

Wildan yang sedang mengendarainya, lantas menoleh sekilas ke arahku. "Gak tau. Tadinya, aku mau ke rumah kamu, gak sengaja liat ini di deket sana. Yaudah, aku coba tanya-tanya. Ternyata sistemnya disewa perjam gitu."

Aku tertawa. "Random banget."

"Biar kaya Jack dan Rose, gitu."

"Kok Jack dan Rose?"

"Iya, kan ada satu adegan dimana mereka naik kereta gitu, terus Jack nanya, mau kemana, nona? Terus, Rose jawab, ke bintang," terang Wildan. "Kamu mah... tanyain aku juga, kek."

"Lah, kan harusnya kamu yang nanya duluan," ucapku tertawa. "Dasar kocak."

"Lah, iya. Oke, mau kemana, nona?"

"Kemanapun, asal sama kamu."

"Waduh, waduh, berat ya, nona. Kalau saya ke langit, nona mau ikut juga?"

Aku mengangguk, menggandeng lengannya yang sibuk mengendarai kereta ini dan bersandar di pundaknya. Waktu itu, kupikir, aku adalah perempuan paling beruntung karena memiliki Wildan, lelaki baik hati yang selalu tau caranya membuatku merasa berarti.

Aku bersimpuh di samping kuburan Wildan. Di balik selendang dan masker yang kukenakan, aku hanya bisa menangis merindukannya. Aku kehilangannya. Jika saja waktu bisa diulang, aku takkan memperbolehkannya pergi pagi itu. Aku hanya membutuhkan Wildan.

Tiap kali aku melewati kedai ramen itu, aku selalu membuang muka karena aku tak ingin melihat bayanganku dan dirinya yang sedang belajar menyeruput ramen bersama. Tiap kali aku menuju kompleks rumahku, aku selalu membuang muka karena aku tak ingin melihat bayanganku dan dirinya yang sedang berada di atas kereta waktu itu. Faktanya, dia memang pergi ke langit, tapi aku tak diizinkan ikut bersamanya.

Dia tetaplah Wildanku, meskipun kini hanyalah sebuah bayangan di balik pintu kamarku yang menahan diri untuk memelukku. Terbawa arus waktu dan tak lagi menjadi 'konduktor'ku. Aku tak tahan dengan rasa rindu yang semakin hari semakin mengikis permukaan hatiku. Aku tau, dia takkan memperbolehkanku untuk merindukannya karena dia benci melihatku tersakiti. Namun, kepergiannya tak membawa serta merta rasa cinta yang ada di hatiku.

-------------------------------------------

21 Jun 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now