As Warm As Coffee

546 59 2
                                    

"AKU baru saja putus."

Luna yang semula sibuk dengan hapenya, lantas menoleh ke arahku seraya mengernyitkan dahi. "Apa?"

"Aku baru saja putus," ulangku, memperbaiki posisi duduk, menyesap secangkir kopi hangat di hadapanku.

"Yah, palingan besoknya kau akan memberi laporan lagi padaku kalau kalian balikan," kata Luna, terkekeh.

"Yang ini berbeda. Aku takkan kembali lagi padanya," balasku, dingin. "Bodoh sekali jika aku kembali kepada tukang selingkuh seperti dia."

"Tukang selingkuh?" tanya Luna, sedikit kaget. "Dia berselingkuh?"

Aku hanya diam, tak menjawab apa-apa. Terlalu malas membahas hal itu.

Aku sudah berpacaran dengan Nolan selama empat tahun. Semuanya berawal ketika kami tak sengaja bertukar mantel di pesta tahun baru, di apartemen Luna. Aku ingat sekali, waktu itu, meski musim dingin dan suhu salju di luar sana menusuk sampai ke tulang, seketika semuanya jadi menghangat ketika akhirnya aku dan Nolan duduk berhadapan, saling bercerita mengenai diri masing-masing.

Senyuman Nolan bahkan lebih hangat dari kopi hangat yang aku pesan, malam itu, menghangatkan diriku akan malam bersalju di kota California.

Kami pun memutuskan untuk berpacaran dan tinggal bersama. Selama empat tahun tinggal bersama dan menjalani kehidupan sebagai sepasang kekasih, akhirnya hubungan itu kandas tadi malam.

Sebenarnya, aku dan Nolan juga sudah terlalu sering berkelahi beberapa bulan belakang ini, meskipun alasannya juga tak jelas. Tak hanya aku, Nolan juga sering mempermasalahkan hal tak penting. Meskipun kami berdua selalu berbaikan dan saling memaafkan setelahnya, tapi situasi yang terjadi tadi malam sungguh berbeda.

Sepulangnya aku bekerja pada pukul sebelas malam, aku tak sengaja memergoki Nolan membawa seorang perempuan ke rumah kami berdua. Sebelumnya, aku berencana untuk tidak pulang malam itu karena akan menginap di rumah Luna dan mengurus beberapa hal penting terkait pekerjaan mereka di kantor. Nolan tau itu. Namun, malam itu, aku memutuskan untuk pulang dan akhirnya tanpa sengaja, memergoki dua insan tersebut.

Apa yang kira-kira terjadi jika malam itu aku tak pulang? Membiarkan Nolan tidur dengan perempuan lain?

"Aku akan tidur di sofa malam ini," ujarku, baru saja pulang, berjalan melewati Nolan yang tengah sibuk dengan laptopnya, barangkali mengurus beberapa hal terkait pekerjaan.

"Aku saja yang tidur di sofa. Kau tidur di kamar," kata Nolan. "Omong-omong, bagaimana ke depannya?"

"Ke depannya apa?"

"Yah, kau ingin kita tetap tinggal berdua di rumah ini?" tanya Nolan lagi, melepas kacamatanya.

"Aku bisa gila, tau," ujarku, tersenyum miring. "Dengar. Kita harus berbicara dengan pemilik rumah ini agar secepatnya bisa keluar dari sini."

Aku tak mungkin tinggal sementara di rumah Luna. Dia tinggal bersama pacarnya.

"Oke, jika itu maumu," kata Nolan. "Lalu, kau akan tinggal dimana setelah ini?"

"Kau tak perlu tau," jawabku. "Mungkin sebaiknya kau tak perlu pindah dari rumah ini. Kau bisa membawa perempuan itu untuk tinggal disini."

Nolan menyeringai. "Itu maumu?"

"Itu mauku."

"Setelah empat tahun kita bersama disini, lalu aku akan menggantinya dengan perempuan lain?" tanya Nolan, bangkit dari posisinya. "Lagipula, aku tak ingin merasakan deja vu berulang kali di rumah ini, kalau aku mengajaknya tinggal disini."

My Cerpens; Kumpulan CerpenOnde histórias criam vida. Descubra agora