Lampu Lalu Lintas

231 24 0
                                    

"MA, Abang gagal lagi."

Aku bersimpuh di ambang pintu. Mama yang semula sibuk menata meja makan, lantas menoleh ke arahku. Setelah meletakkan piring makanan terakhir di atas meja, Mama berjalan ke arahku, lalu ikut bersimpuh dan menatap wajahku lekat.

Mama hanya diam. Wajahku yang katanya mirip sekali dengan Papa itu dipandanginya lekat. Aku yang sedang memeluk bola itu pun hanya bisa menunduk dalam.

"Kenapa? Ada apa hari ini?" tanya Mama, meraih tanganku sehingga bola yang kupeluk mulai bergelinding di lantai. "Hari Abang lagi buruk, ya?"

Aku hanya diam, masih menunduk dalam. Aku mengepalkan tanganku erat. Hari ini adalah ketiga kalinya aku gagal dalam pertandingan bola. Aku tau, itu hanyalah pertandingan kecil dan tak penting bagi sebagian orang. Namun, andai saja aku bermain dengan baik dan serius, mungkin aku bisa mewakili kabupatenku untuk melawan kabupaten lain.

"Gagal," jawabku, lirih. "Abang gagal lagi."

"Gapapa," Mama pun berdiri, lalu menarik tanganku untuk ikut berdiri. "Ayo, mandi dulu. Bentar lagi Papa pulang dan kita makan malem bareng, ya."

Itulah yang selalu terjadi tiap kali aku pulang dan mengadu mengenai kegagalanku kepada Mama. Mama hanya bersikap tenang, tak pernah memberikan respon yang buruk. Mama selalu berpikir bahwa kegagalan itu wajar dan Mama tak terlalu memusingkan hal itu. Namun, menurutku, Mama bisa setenang itu karena Mama tak tau bagaimana rasanya ketika kita terus dihantam oleh ketidaksempurnaan dari rencana awal kita. Rasanya menyakitkan untuk terus kalah.

Kata Mama, aku adalah anak yang cukup ambisius, seperti Mama. Mama bilang, sifatku yang sensitif dan pemikir itu datang dari Papa, sedangkan ambisiusku datang dari Mama. Benar-benar kombinasi yang sempurna untuk menjadikanku seseorang yang cukup perfeksionis. Sedangkan adikku, Adyan, adalah anak yang cukup santai dan tidak terlalu ambisius sehingga terkadang, aku merasa bahwa kehidupannya begitu ringan seperti tak memiliki beban apapun, meskipun bisa jadi karena dia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Keesokan harinya, aku mengikuti ulangan harian di kelas. Lagi-lagi aku merasa kesal karena sesuatu tak sesuai dengan keinginanku. Lagi-lagi aku gagal. Lagi-lagi aku harus pulang dengan wajah sedih. Lagi-lagi Mama bertanya kepadaku mengenai apa yang terjadi. Aku tak suka itu. Aku tak suka ketika Mama menanyakan pertanyaan yang sama lagi dan harus menerima jawabanku mengenai kegagalanku lagi, meskipun hanya kegagalan kecil.

Namun, suatu malam, ketika aku sedang membantu Adyan untuk mengerjakan PR dan sedikit sebal karena adikku itu mengantuk sepanjang aku menjelaskan karena dia memang tidak suka belajar, aku mendengar suara dari pintu depan. Aku dan Adyan pun mengintip dari ruang tamu dan melihat bahwa Papa sedang memeluk Mama, tampaknya harinya cukup berat. Mama mengelus punggung Papa dengan tenang, seakan-akan mencoba menyerap kesedihan Papa agar pria itu berhenti bersedih.

Aku dan Adyan hanya bisa mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi? Kenapa Papa bisa sesedih itu? Namun, ketika Papa dan Mama memasuki rumah, aku dan Adyan segera bergegas kembali ke posisi semula untuk mengerjakan PR.

Aku tak bisa tidur malam itu. Adyan yang berbaring di sebelahku sudah tertidur lelap, tapi aku masih kepikiran mengenai kejadian tadi. Kenapa Papa tampak sedih? Apakah harinya buruk? Apakah sesuatu terjadi di kantor?

Ketika aku mendengar suara saklar lampu dapur dinyalakan, aku pun segera beranjak dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar. Aku tau, itu Mama. Aku takkan bisa tidur jika aku tak mengetahui apa yang terjadi kepada Papa hari ini, jadi kupikir, lebih baik aku bertanya kepada Mama.

"Loh, Bang Adnan belom tidur?" tanya Mama, mengernyitkan dahinya. "Abang mau susu anget gak, Mama bikinin sekalian?"

Aku menggeleng. Aku mengambil posisi di kursi meja dapur, lalu menopang daguku. Mama tampak semakin bingung, lalu memandangiku lama.

My Cerpens; Kumpulan CerpenKde žijí příběhy. Začni objevovat