Sahabatku, Bagas

209 11 0
                                    

AKU adalah seorang gadis desa.

Ibuku hanya pedagang kue dan ayahku adalah seorang nelayan. Kami hidup di sebuah desa yang dikelilingi laut. Ayahku jarang sekali pulang ke rumah. Sekalinya pulang ke rumah pun, hubungannya dan ibu tak terlalu baik. Mereka kerap berkelahi karena masalah keuangan. Terkadang, tiap kali seharusnya aku merasa senang ayahku pulang, aku justru merasa takut dan tak nyaman karena aku tau, aku akan mendengar perdebatan mereka lagi di rumah yang bertembok tipis tersebut.

"Kamu yakin, mau coba ini sama aku?" Bagas bertanya sekali lagi, tampak ragu. Wajahnya sedikit merah, dia tampak merona, kulitnya yang berwarna terang itu cukup membuat reaksi tubuhnya tampak transparan.

Aku mengangguk, yakin. Sepersekian menit, Bagas pun menyentuh wajahku, lalu mendekatkan wajahnya. Kami berdua menutup kedua mata kami.

"Rasanya... manis," ujarku, ketika dia melepaskan ciumannya. "Tapi, ternyata cuma gitu, rasanya."

Sejujurnya, aku dan Bagas sudah berteman sejak masih kecil. Rumah kami tak jauh. Ayahnya adalah seorang petani dan ibunya juga berjualan di pasar, seperti ibuku. Akhir-akhir ini, semua orang di sekolah membahas mengenai ciuman. Itulah alasanku dan Bagas melakukan hal itu di sini, di sawah dengan padi yang serba kuning ini. Hanya sesederhana karena kami ingin tau rasanya.

Bagas selalu ada di setiap bagian kehidupanku selama ini. Ketika kami duduk di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, bahkan sekolah menengah atas. Dia selalu bersamaku, melindungiku dari semua orang yang menghinaku karena semua orang tau ayah dan ibuku selalu bertengkarーmereka bisa mendengar akibat tembok rumah yang terlalu tipisーdan Bagas selalu memperlakukanku dengan baik, bahkan terkadang kata orang, lebih tampak seperti Bagas memperlakukanku sebagai kekasihnya, saking dia baik kepadaku dan selalu menjagaku.

Namun, kami tidak pacaran.

"Sebenernya, aku gak ngerti jalan pikir ibu kamu. Gimana mungkin dia biarin kamu di luar padahal udah semalem ini. Padahal, perampokan juga lagi marak-maraknya akhir-akhir ini," ucap Bagas menyodorkan selimut kepadaku. "Kamu tidur di sini aja malem ini, Sa. Besok aku yang bakalan anterin kamu pulang kalau ibumu nyariin."

"Jangan nyalahin Ibu. Kali ini, emang aku yang salah," ujarku, meraih selimut yang Bagas sodorkan. "Aku ketiduran padahal Ibu minta tolong matiin kompor kalau nasinya udah mateng. Untung aja dapur gak kebakaran karena aku."

Bagas hanya menghela napasnya, terdengar lelah mendengar jawabanku yang masih saja membela ibu, jelas tak sepaham dengan Bagas.

Bagas pun berbaring di sebelahku. Kami menatap langit-langit rumah Bagas yang sedikit rapuh, tapi setidaknya lebih baik daripada atap rumah milikku. Rumah Bagas juga kecil, sama sepertiku. Dia tak punya kasur apalagi kamar lain, itulah kenapa aku jadi tidur bersamanya, di sebelahnya.

"Eh," Bagas membuka suara, memecahkan keheningan yang mulai bersarang. "Menurutmu, kita ini apa?"

Aku tertegun. Bagas menoleh ke kiri, menatapku serius. Aku pun kembali menatap lurus, tak berani melihat Bagas dengan tatapannya yang seserius itu. "Temen."

"Sebatas itu?"

Aku mengangguk.

"Oke, oke..." Bagas pun berbalik badan, membelakangiku. "Selamat tidur."

Hening lagi.

"Bagas," panggilku. "Aku boleh minta cium, gak?"

Bagas kembali berbalik badan, menatapku dengan alis yang bertaut. "Apa?"

"Gak jadi, deh."

Setelah beberapa detik tampak berpikir dan menimbang sesuatu, Bagas pun mengubah posisinya menjadi setengah duduk, memposisikan tubuhnya di atasku, lalu mendekatkan wajahnya, memenuhi permintaanku.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWo Geschichten leben. Entdecke jetzt