Bintang Jatuh di Pelupuk Matamu

229 14 0
                                    

"LIRA bersihin yang itu, ya. Oma bakalan bersihin yang ini," kataku sembari tersenyum ke arah gadis kecil dengan rambut panjang tersebut. "Habis ini, kita makan puding cokelat bareng. Oke?"

Perempuan kecil yang baru berusia enam tahun itu tersenyum. Matanya berbinar ketika dia mengetahui bahwa aku akan membuatkannya puding cokelat setelah kami selesai membersihkan kotak yang dipenuhi debu ini. Dia pun meletakkan boneka bebek kesayangannya di atas sofa yang berwarna sejingga labu tersebut, lalu meraih kain lap untuk membersihkan barang-barang berdebu di dekatnya.

Aku memasangkan masker di wajahnya, lalu tersenyum. "Biar Lira gak bersin-bersin."

Lira adalah cucu pertamaku. Ibunya sedang mengandung anak kedua dan akan ada bayi kecil yang tampan bulan depan. Hari ini, Lira menemaniku di rumah karena ayah dan ibunya pergi keluar kota untuk mengurus masalah bisnis mereka. Ayah dan ibu Lira akan menjemput Lira nanti malam.

Sedangkan Opa Lira, suamiku, tengah sibuk mengurus taman di belakang. Dia sangat menyukai bunga, jadi hari libur ini dia habiskan untuk mengurus tanaman kesayangannya di belakang.

"Wah, ada harta karun," kata Lira seraya tersenyum senang, mengangkat kotak kecil yang berbentuk harta karun dengan tangan kecilnya. "Oma, ini isinya emas, ya?"

Aku menyipitkan mataku, memandang ke arah kotak yang tengah Lira pegang. Aku pun meraih kotak yang berwarna cokelat tersebut, lalu meraih kacamataku yang ada di atas meja kecil, tak jauh dari posisiku.

Belaniku.

Tulisan yang terukir tepat di bagian depan kotak tersebut membuatku terdiam cukup lama. Bukankah kotak ini sudah lama hilang? Kenapa aku baru menemukannya sekarang?

Aku membuka kotak tersebut, mulai melihat isinya. Isinya benar-benar dipenuhi debu. Aku membersihkan debu yang tebal tersebut menggunakan kain lap yang basah. Aku meraih sebuah foto yang berkualitas agak kabur tersebut, lalu melihat tulisan yang berperan sebagai keterangan di baliknya.

Milikku, 1969.

Tulisan itu melemparkanku ke sebuah kenangan dimana aku masihlah menjadi seorang perempuan muda berusia delapan belas tahun. Rambut ikal sebahu dan pakaian seadanya. Tak buruk, tak pula terlalu bagus.

"Apa itu?" tanyaku, suatu hari.

Lelaki yang tengah menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya itu tersenyum ke arahku. Sepersekian detik, dia memperlihatkan sebuah kamera, benda yang baru saja dia bawa.

"Aku meminjamnya dari Rudi," Dia tersenyum, mengarahkan kamera itu ke arahku, hendak memotretku. "Agar aku bisa mengabadikan wajah cantikmu."

Fotoku yang berdiri di depan sebuah sawah dengan gunung sebagai latarnya itu berhasil dia abadikan, hari itu. Aku juga mengabadikan fotonya di posisi yang sama. Kami memiliki dua foto yang akhirnya dia simpan di dalam kotak berbentuk harta karun miliknya yang dia beli di sebuah cuci gudang.

Namanya Adiwilaga, orang-orang memanggilnya Adi. Dia adalah seorang lelaki berusia dua puluh satu tahun, waktu itu. Aku bertemu dengannya pertama kali di sebuah cuci gudang. Kami sama-sama ingin membeli sebuah buku yang berjudul Kosmografi Ilmu Bintang. Namun, akhirnya, dia putuskan untuk mengalah dan memberikan buku itu kepadaku hari itu.

Dia adalah lelaki yang biasa saja. Dia bukan orang dari ekonomi yang cukup, bahkan dia tidak sekolah. Namun, dia adalah orang yang pintar. Dia sangat suka membaca dan dia jago sekali menulis. Bagiku, dia adalah seorang pujangga karena sangat menyukai sastra, syair, dan lain-lain. Itulah kenapa, setiap minggu, aku selalu mendapatkan surat darinya yang berisi tulisan cinta yang mewakili isi hatinya untukku.

Di suatu malam, aku memimpikanmu. Matamu membisukan bibirku, tapi membirukan hatiku. Senyumanmu adalah samudraku, rambutmu yang diayunkan angin adalah ombakku. Aku tenggelam di dalam dekapanmu. Kamu mendekapku erat, seakan-akan aku adalah penyelamat hidupmu. Aku bisa merasakan belati di hatiku ketika aku menyadari bahwa itu hanyalah mimpi.

Belani, tak maukah kamu menjadikan mimpi itu nyata dengan menjadikanku sebagai milikmu?

Surat itu adalah surat pertama yang kudapatkan darinya. Aku tak pandai bersyair, jadi aku tak pernah mengiriminya surat. Aku menerima perasaannya di keesokan hari. Selama aku mengenalnya, aku tak pernah melihatnya tersenyum sebahagia hari itu sebelumnya.

Aku dan dia pun menjadi sepasang kekasih. Dia sudah tak memiliki keluarga. Dia hanya memiliki teman dekat dan aku pun berkenalan dengan teman dekatnya, Rudi. Dia juga berkenalan dengan keluargaku dan teman-temanku. Semua orang tau kalau kami adalah sepasang kekasih dan aku merasa sangat beruntung menerima fakta bahwa dia adalah milikku dan aku adalah miliknya.

"Besok, aku akan pergi ke kota sebelah karena ada yang ingin menyewaku sebagai penyair tulisan mereka," kata Adi, di suatu malam. "Aku akan pergi cukup lama, selama sebulan."

Aku memeluk lututku, memandangi langit malam dengan tatapan kosong. Aku senang ada orang yang mau memakai tulisannya karena dia memang seorang penyair yang hebat, tapi aku pun merasa sedih karena aku tak ingin berpisah darinya.

"Belani," ujarnya, menyentuh tanganku. "Aku akan mengirimimu surat setibanya aku di sana."

Aku mengangguk, tersenyum ke arahnya.

"Lihat," Dia menunjuk langit yang dihiasi bintang dan rembulan. "Apa itu? Bintang jatuh?"

Aku melebarkan mataku. Aku bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang berkilauan, bergerak menyisakan garis yang panjang di langit.

"Aku ingin terus bersamamu," Dia memberi jeda. "Itu keinginanku."

Aku tertawa.

"Kalau begitu, aku ingin keinginanmu dikabulkan," kataku. "Itu keinginanku."

Bintang jatuh di pelupuk matamu waktu itu, Belani. Aku berharap hanya akan ada sekali saja bintang jatuh di kehidupan kita, agar keinginanku terkunci untuk selamanya. Jadikanlah kedua mata itu sebagai tempatku pulang karena aku selalu menemukan atap yang teduh di tatapan itu.

Itu adalah surat terakhir yang kuterima darinya sebelum dia pergi. Dia sempat tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya dia hilang dari pandanganku, pagi itu.

Aku selalu menunggu suratnya, tapi surat itu tak pernah datang. Aku selalu mengkhawatirkan dirinya, tapi kekhawatiran itu sia-sia. Aku tak tau apa yang terjadi padanya. Dia tak pernah pulang.

Aku hanya bisa terus-terusan membaca ulang surat-surat yang pernah dia berikan kepadaku untuk mengobati kerinduanku kepadanya. Bahkan, setelah bertahun-tahun berlalu, tulisan yang berjudul Bintang Jatuh itu tetap menjadi surat terakhir darinya untukku. Faktanya, semesta tak pernah mengabulkan keinginannya ketika bintang jatuh malam itu.

Aku menikahi sahabatnya, Rudi, di usiaku yang ke dua puluh tiga tahun. Rudi juga sangat terpukul atas kepergian Adi yang tak tau kemana. Dia bagaikan ditelan bumi. Aku selalu merutuki diriku sendiri karena aku tak pernah menuliskannya surat agar dia bisa tetap hidup di tulisanku.

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku hidup bahagia bersama Rudi dan dikaruniai empat orang anak. Rudi sangat mencintaiku, begitupun perasaanku kepadanya. Namun, tak bisa dipungkiri, Adi pernah menjadi pemeran utama di dalam suatu bagian dari alur kehidupanku.

"Oma, Lira udah selesai."

Lamunanku buyar. Aku tenggelam akan masa lalu sehingga barang-barang yang seharusnya kubersihkan jadi terlantarkan. Aku tersenyum ke arah Lira, mengangguk.

"Ayo, kita bikin pudingnya sekarang," Aku bangkit dari posisiku, lalu meraih tangan Lira dan berjalan ke arah westafel, mencuci tangan kami yang kotor akibat debu. "Siapa yang suka puding cokelat?"

"Lira!"

"Lira mau kemana?" tanya Rudi, baru saja memasuki ruangan ini. Dia meraih tubuh Lira, menggendong cucu kesayangannya itu, lalu mencium pipinya.

"Mau nemenin Oma masak," jawab Lira, semangat.

Aku tersenyum ke arah Rudi yang lebih dulu tersenyum ke arahku.

Adi tetap hidup di dalam ingatanku. Entah dimana dia sekarang, entah dia hidup bahagia bersama orang lain atau apapun. Aku tak pernah ingin memikirkan bahwa ada hal buruk yang menimpanya. Bagiku, dia tetap ada di dalam hatiku sebagai seseorang baik yang Tuhan percayakan untuk menjagaku dan menciptakan ladang bunga di hatiku karena dia selalu menghidupkanku di dalam tulisannya.

-------------------------------------------

2 Mar 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang