So, Stay?

201 19 2
                                    

HARI ini adalah hari dimana aku resmi menyandang gelar drg di depan namaku. Hari dimana aku mengenakan jas putih dengan bangga dan senyuman lebar menghiasi setiap potret yang diambil oleh keluarga dan teman-temanku, melukiskan betapa bahagianya aku hari ini, resmi melompat bebas keluar dari segala kestresan terkait perkuliahan dan perkoasan.

Hari ini, namaku bukan hanya Hesti Purnama. Namaku adalah drg. Hesti Purnama. Meskipun perjuanganku selama enam tahun ini hanya menghasilkan tiga huruf, tapi kuharap, tiga huruf ini bisa membawaku menjadi manusia yang berguna dan awal dari semua hal baik ke depannya.

Aku menyapu pandanganku ke kanan. Ada banyak temanku yang sibuk bercengkrama dengan keluarganya. Gedung ini menjadi saksi setiap senyuman bangga dari orang-orang yang ada di dalamnya.

Tanpa sengaja, mataku menangkap Rafi. Dia sedang mengobrol dengan ayah dan ibunya. Aku tau betul, dia memang anak tunggal. Hanya ayah dan ibunya yang datang hari ini. Aku sempat menyapa ayah dan ibunya tadi. Rafi pun sempat menyapa ayah dan ibuku.

Rafi adalah teman dekatku selama enam tahun kami menimba ilmu di perguruan tinggi sebagai mahasiswa kedokteran gigi. Dia bukan teman satu kelasku ataupun satu kelompok tutorial denganku, tapi aku sempat menjadi ketua di suatu kelompok remedial semester tiga dan itu adalah momen dimana kami pertama kali mengobrol. Aku masih ingat semuanya.

"Ngelamun mulu," ujar Rafi, menjentik jidatku, membuahkan ringisan kecil dariku. "Mikirin apaan? Lowongan pekerjaan?"

"Berisik," kataku, sebal. "Jas putih itu gak cocok di elo, deh. Gelar drg juga gak cocok."

"Iya, kan?" balasnya, antusias. Alih-alih merasa kesal, tak seperti yang kuharapkan. "Gue malah mikir, kayanya gue cocokan jadi peternak lele, deh."

Aku memutar kedua bola mataku, malas. Aku tau, peternak lele pun menghasilkan banyak uang dan pekerjaan yang baik. Namun, obrolan kami ini sekedar menjelaskan betapa Rafi memang tak berniat menjadi seorang dokter gigi. Sejak awal, memang begitu. Namun, ibunya adalah seorang dokter. Mungkin, alasan Rafi mau bertahan selama enam tahun di prodi penuh lika-liku ini hanyalah karena ibunya.

"Kalian berdua gak foto?" tanya Susi, tiba-tiba mendekati kami dengan kameranya.

"Hah, foto? Gak, gue gakー"

"Boleh. Lo motonya jauhan dikit, Si." Rafi merangkul pundakku, lalu tersenyum lebar ke arah kamera. Tangannya yang satu lagi membentuk jari damai, benar-benar pose andalannya ketika berfoto.

Sedangkan aku? Aku sempat membeku di tempat, sampai foto itu selesai diambil. Mungkin, Rafi akan menertawakanku setelah ini, jika dia melihat ekspresiku yang kaku di foto tersebut. Namun, aku tak tau, perasaanku mendadak kacau selama beberapa detik hanya karena dia merangkul pundakku.

Hari ini adalah hari terakhir kami bisa berbicara seleluasa ini. Hari ini, kami resmi menjadi dokter gigi. Bukan akhir dari segalanya, justru awal dari segalanya. Entah aku dan Rafi akan bertemu lagi dan berteman seperti biasa, dengan candaan kasar dan penuh ejekan, tapi jujur saja, hari ini, meskipun aku bahagia karena aku resmi lulus, aku pun merasa sedih. Anehnya, di setiap rajutan kesedihan itu, aku melihat Rafi.

Dia bukan mahasiswa yang jago di teori, lalu aku mengajarinya. Aku bukan mahasiswa yang jago di praktikum, lalu dia mengajariku. Kemudian, dia yang sering tidur di setiap pemaparan materi kuliah, bahkan dia pernah tidur ketika praktikum, lalu dia selalu duduk di belakang agar bisa tidur. Belum lagi, ketika koas, kami mencari pasien dengan penuh perjuangan dan stres bersama. Kupikir, perjuangan itu bukan sesuatu yang ingin kuulang kembali, tapi sampai kapanpun akan terus kuingat.

Aku ingat pertama kali kami berbicara di kampus. Aku sedang buru-buru karena hendak mengantarkan tugas remedial ke dosen yang sudah menunggu di parkiran, saat itu. Aku berdecak sebal beberapa kali karena liftnya tak kunjung naik dan aku menunggu lama sekali.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now