Just Stay

294 20 2
                                    

"APA yang harus kita dapatkan malam ini?" tanyaku menoleh sekilas ke arah Jake dengan tangan yang sibuk membereskan peralatan makan di dapur.

Jake, yang duduk di atas kursi meja makan, menopang dagunya dan memandangiku dengan senyuman tersungging di bibirnya.

"Bagaimana dengan salad?" kataku lagi, mengangkat sayur-mayur dari dalam kulkas dan memperlihatkan kepadanya.

Dia menjulurkan lidahnya, memperlihatkan ekspresi tak sukanya akan benda hijau yang kupegang. "Salad lagi? Ayolah, ini hari yang indah. Lupakan dietmu."

"Lalu?"

"Bagaimana dengan cheeseburger?"

Aku mengangkat alisku. "Kau yakin?"

Dia mengangguk, tersenyum.

"Baiklah," Aku mangut-mangut. "Jika kau tetap menerima Elle yang gendut, maka aku akan menjadi pemakan segalanya, malam ini."

Jake tertawa. "Hey."

Aku menoleh, menatapnya yang sudah lebih dulu tersenyum hangat kepadaku. "Apa?"

"Just stay, okay?"

Dia adalah Jake, kekasihku, priaku, milikku. Dia adalah pria yang manis, dewasa, dan tau caranya memperlakukanku dengan baik. Dia mendekapku sampai pagi tiba, menyalurkan kehangatannya, dan membuat hatiku tenang. Dia adalah segalanya untukku. Aku sangat menghargainya sebagai pasanganku.

Aku menyukai segala hal tentangnya. Bahkan, segala kekurangannya bukan lagi kekurangan di mataku. Aku suka caranya berjalan. Aku suka telapak tangannya yang lebih besar daripada telapak tanganku. Aku suka ketika dia harus selalu menunduk ketika aku memeluknya. Aku suka ketika menopang dagunya dan memandangiku dengan penuh kasih sayang. Aku menyukai apapun mengenai dirinya.

Aku, entah bagaimana, bisa merasakan kehangatan tiap kali aku memasuki rumahnya dan bertemu dengan keluarganya. Orang tuanya, Tuan dan Nyonya Davidson, merupakan orang yang baik dan sangat hangat. Begitupun adiknya, Juliette, yang sepantaran denganku. Juliette adalah wanita cantik yang sangat menyukai musik, sama sepertiku, dan kami selalu membicarakan itu tiap kali bertemu.

Aku sudah melewati musim demi musim bersamanya. Aku paling suka musim dingin dan tiba masa dimana kami merayakan hari natal bersama. Bagian favoritku adalah ketika kami menghias pohon natal bersama dan mengenakan piyama yang sama pada malam natal. Sungguh, rumahnya terasa lebih seperti rumah bagiku, daripada rumahku sendiri.

"Aku tak ingin meminta apapun. Aku tak butuh hadiah, aku tak butuh apapun. Dengan kau yang selalu bersamaku saja sudah cukup," katanya, di suatu malam. Kami duduk di depan jendela kaca, di ruang tengah yang gelap, memandangi salju yang turun dengan lebat.

Aku mengeratkan pelukanku yang melingkar di pinggangnya, mendongakkan kepala untuk melemparkan senyumanku kepadanya. "Kau tau, aku takkan kemanapun."

"Just stay," katanya. "Aku bukan apa-apa jika tak ada kau disampingku."

Dia adalah pria tampan yang kuimpikan. Dia memiliki hati yang hangat, senyuman yang teduh, dan pelukan yang terasa seperti rumah. Aku tak bisa membayangkan jika tak ada dia di sampingku. Aku akan menjadi seseorang yang homeless, jika suatu saat itu terjadi.

Dia benar-benar tau caranya memperlakukanku dengan baik, itu yang terpenting. Dia adalah pemilik dari seluruh love language. Sentuhannya, ucapannya, waktu yang dia luangkan untukku, bantuan yang dia berikan tiap kali aku berada di kesulitan, serta hal-hal kecil yang dia hadiahkan untukku. Aku sangat menyayanginya, sampai-sampai rasanya jadi menyakitkan.

Namun, ternyata aku salah.

Dia bohong.

"Aku tak bisa melanjutkan hubungan ini, Elle. Aku hanya... butuh waktu untuk sendiri. Kau takkan paham. Maafkan aku."

Dia bohong.

Dia membuatku menjadi wanita yang menderita dan kehilangan rumah. Aku hanya bisa menangis seharian di atas tempat tidurku sampai kepalaku sakit. Aku tak mau kemanapun. Terdengar berlebihan, tapi kalian takkan tau rasanya bagaimana hati kita begitu mencintai seseorang, tiba-tiba dihempaskan sampai hancur berkeping-keping oleh orang yang sangat kita percayai.

Aku tak menyangka dia bisa menjadi orang yang paling hebat dalam urusan menyakitiku. Aku mencintainya, memberikan segala yang dia butuhkan. Kenapa dia menghancurkanku?

Perasaannya untukku pun entah sudah kemana. Menghilang begitu saja, layaknya kayu yang dibakar api dan menjadi abu, lalu dihembuskan angin. Dia menjalin hubungan dengan wanita lain, setelah itu. Wanita itu cantik, lebih dewasa, dan aku bukanlah apa-apa dibandingkan dirinya. Perbedaan itu jelas menyakitiku lebih dalam lagi.

Ternyata, di balik segala kehangatan dan kasih sayang dia berikan, dia adalah seorang pembohong yang hebat. Dia terus-terusan memintaku untuk tinggal dan terus bersamanya, tapi nyatanya dia yang meninggalkanku. Ternyata, orang yang meminta kita untuk jangan pergi justru adalah orang yang akan meninggalkan kita terlebih dahulu. Betapa mengesankan. Betapa menyakitkan.

"Just stay."

Bukankah seharusnya, dia harus mengatakan itu untuk dirinya sendiri? Lihatlah bagaimana hebatnya dia menghancurkanku. Padahal, dia yang membuatku bisa segila ini akan cintanya, tapi dia juga yang merobohkan semua harapanku akan masa depan yang kuimpikan untuk terus bersamanya. Setelah dia mendekatiku, berhasil mendapatkan hatiku, dia menusukku sehingga aku hanya bisa menderita atas kebahagiaan yang kini dia rasakan dengan wanitanya yang baru.

"Aku janji takkan meninggalkanmu."

Janji, katamu? Janji takkan bermakna apa-apa. Semua ini mengenai siapa yang tinggal dan menjaga kesetiaannya, bukan mengenai siapa yang berjanji.

Aku menghela napas, memandangi salju yang turun dari luar jendela kaca kamarku. Hari ini sudah setahun sejak Jake meninggalkanku. Ada masanya di suatu pagi yang indah, dia yang merindukanku dan menginginkanku kembali. Cinta yang pernah kuberikan padanya dan dia sia-siakan akan mencoba mencari cara untuk pulang kembali padaku.

Namun, ketika hari itu tiba, kupastikan bahwa dia sudah terlambat. Ketika hari itu tiba, dia akan menyadari bahwa takkan dia temukan satupun wanita di dunia ini yang sepertiku. Sampai hari itu tiba, kuharap dia bisa menikmati kebahagiaannya.

----------------------------------

19 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now