Apalah Arti Sebuah Nama

152 10 1
                                    

"Aku gak suka makanan di sini."

Aku yang sedang membereskan alat makan yang baru selesai digunakan, lantas menoleh ke arah Bari. Bari menatapku lama, menunggu responku dengan wajahnya yang tampak merengut sebal.

"Mungkin karena Mas lagi sakit. Lidahnya jadi serba gak enak," kataku. "Mau dibawain buah, gak? Mas suka buah apa?"

"Aku bahkan gak inget aku suka buah apa," jawab Bari. "Aku boleh jalan keliling rumah sakit gak sih, Mbak?"

Aku mengangguk. "Bentar, ya. Habis ini, aku temenin jalan."

Ini sudah seminggu sejak aku menjadi perawat di sini. Bari sudah dirawat sekitar sebulan sejak kecelakaan yang membuat memorinya berantakan. Bari adalah pria berusia 37 tahun. Di antara semua pasien, Bari adalah pasien yang paling dekat denganku, kerap mengajakku mengobrol dan memintaku menemaninya jalan-jalan keliling rumah sakit. Keluarganya juga sering menjenguk, meskipun obrolan mereka jadi banyak tak nyambungnya karena Bari pun hanya mengingat sedikit hal.

"Sebenernya aku bingung, Mbak," ujar Bari, duduk di atas bangku panjang berwarna putih yang terletak di bawah pohon yang rindang. Di sekitar taman rumah sakit ini, ada banyak pasien yang juga sedang ditemani oleh perawat lainnya. "Kata ibuku, aku udah punya anak. Anakku gak mau ketemu sama aku karena dilarang ibunya."

Aku mangut-mangut. "Oke… terus, Mas bingung kenapa?"

"Masa aku udah punya anak?" tanya Bari, sedikit berbisik. "Orang kaya aku… udah punya anak?"

"Orang kaya Mas gimana maksudnya? Mas kan ganteng. Gak heran ada perempuan yang mau diajak nikah," kekehku. "Mas mau tau soal anak Mas, emangnya?'

Bari menatapku, penuh rasa penasaran. "Mbak tau soal anak saya, emangnya?"

Aku mengangguk. "Mau diceritain?"

Bari mengangguk, semangat.

Aku tau ceritanya. Bari adalah seorang pria yang bekerja di bidang bisnis dan istrinya bekerja di bidang kesehatan. Mereka memiliki anak laki-laki bernama Rafa, masih berusia sepuluh tahun. Mereka keluarga yang bahagia. Namun, kecelakaan membuat memori Bari jadi bercampur aduk. Terkadang, dia mengingat beberapa hal kecil dari dirinya, tapi bukan seputar keluarganya.

"Gitu ceritanya," Bari mengangguk mengerti. "Tapi, beneran, aku gak inget apapun."

"Itu hal yang wajar, gak perlu dipaksain untuk inget," kataku. "Mas mau sembuh, kan?"

Bari mengangguk. "Aku mau pulang."

Bari bertingkah seperti anak berusia 20 tahun yang labil dan mencak-mencak karena ingatannya berhenti di situ. Dia hanya ingat fakta bahwa dia adalah anak kuliahan dan baru saja diputuskan oleh pacarnya sehingga tiap hari, dia kerap membicarakan mantan pacarnya, Zoe, yang sudah jelas menjadi istri orang setelah belasan tahun kemudian.

Pernah suatu hari, Bari merasa pusing dan tak enak badan. Dia pun muntah tepat di bajuku, lalu aku yang membersihkan semuanya. Dia juga sering mimpi buruk dan orang yang pertama kali dihubunginya adalah aku. Dia sering merasa sakit kepala, mungkin karena memorinya yang masih berantakan, lalu aku yang menenangkannya. Kupikir, Bari dan aku sangat dekat. Bahkan, ketika dia melakukan pengecekan fisik, dia ingin aku yang menemaninya.

"Boleh gak sih, aku panggil Mbak pake nama aja? Ribet banget harus pake 'mbak, mbak' gitu," ucap Bari, suatu hari. Aku yang sedang merapikan kamarnya, lantas menoleh. "Widy. Aku boleh panggil Widy aja, kan?"

Aku mengangguk. "Lebih nyaman kalau gitu."

"Kamu gak bosen di rumah sakit mulu?" tanya Bari, beralih ke topik baru. "Aku aja bosen banget tiap hari di kamar dan kalaupun keluar, cuma sekitar rumah sakit."

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now