Hello, Goodbye

5.1K 185 22
                                    

AKU membuka mataku, lalu mengerjapkannya pelan, berusaha menetralkan pandangan. Kamar ini begitu gelap dan dingin, karena di luar sedang turun salju.

Pakaian berserakan dimana-mana, aku bahkan tak dapat membedakan mana yang kotor dan mana yang bersih. Parfum bermerk Pour Homme itu terbaring di lantai, sepertinya tumpah di atas karpet bulu berwarna hijau tersebut, sehingga meninggalkan aroma yang cukup menusuk ke hidung.

Atmosfir kamar ini begitu dingin, bahkan aku hampir menggigil. Aku menarik selimutku erat, masih meringkuk di atas kasur. Parfum sialan itu membuat mataku mengembun dan lagi-lagi terlempar ke aneka kenangan yang dimana ada lelaki itu di dalamnya. Aku menutup mataku erat, memeluk tubuhku di sela tangisan. Apakah kali ini aku akan menangis dan lagi-lagi tertidur setelahnya?

Hasegawa Keiji, seseorang lelaki keturunan Jepang yang cukup menjadi idola di kalangan para gadis saat itu. Dia mungkin begitu istimewa di mata para wanita, tapi tidak untukku. Bagiku, tak ada yang menarik dari dirinya. Lagipula, aku benci laki-laki. Yah, aku benci semua orang, tapi aku paling benci laki-laki. Aku lebih benci laki-laki tampan. Kalian mungkin berpikir aku orang yang arogan sekali, ya? Haha.

Sejak Mama mengkhianati pernikahannya dengan Papa, Papa tenggelam ke obat-obatan terlarang. Takdir mengambil nyawa Papa tak lama setelah itu, dan Mama sibuk membangun kehidupan baru dengan suami serta anak dalam kandungannya yang dia bawa ketika mengunjungi pemakaman Papa.

Kepergian Papa tak menyisakan luka bagiku. Aku bahkan tak menangis di pemakamannya. Dia sudah pernah mencoba membunuhku dua kali, tapi gagal. Alih-alih menggantikan kasih sayang Mama, dia justru membenciku karena wajahku yang katanya, mengingatkannya dengan Mama.

Tak ada kehidupan yang baik bagiku. Aku yang berusia 11 tahun saat itu, tinggal di rumah yang menyandang status sebagai rumah terbesar di kota tersebut hanya bersama para asisten rumah tangga. Harta Papa yang melimpah sudah lebih dari cukup untuk menghidupiku, tapi Mamaーah tidak, maksudku wanita itu, tetap mengirimiku uang.

Wanita itu mungkin saja membiayaiku, tapi tidak untuk menghidupiku setelah segala yang dia rampas dari hidupku.

Pikiran yang haus akan tanda tanya dan hati yang haus akan kasih sayang; dua hal itu sukses membuatku tumbuh menjadi seseorang dengan hati sedingin salju. Aku dijuluki Putri Salju ketika SMP, meski aku tau itu ejekan, tapi setidaknya tak ada yang berani memberikanku julukan yang lebih buruk lagi.

Setelah lulus SMP, aku pindah ke Los Angeles, tempat baruku. Aku harus keluar dari negeri ini dan memulai kehidupan baru. Kehidupanku sendiri. Meski kehidupan baru, aku takkan membukakan pintu untuk siapapun yang ingin masuk ke dalam kehidupanku.

Dengan uang milik Papa, aku hidup di sebuah apartemen dengan fasilitas yang lebih dari cukup. Aku tak butuh apartemen mewah dan terlalu besar, aku hanya butuh tempat nyaman yang tidak membuatku tidak merasa kesepian.

"Kamu mau menunggu di sini sampai matahari tiba?"

Kalimat itu masih menggema di pikiranku, bahkan sampai sekarang. Aku masih bisa mengingat mantel cokelat muda miliknya, dengan sorot mata yang dingin melihat ke arahku. Aku hanya diam, enggan untuk menoleh ke arahnya, apalagi menjawab pertanyaannya.

Aku masih dapat mengingat segalanya. Senyuman dan tatapan mata teduh miliknya. Kehangatannya sekalipun dia memiliki tatapan yang dingin. Aroma dari parfum Pour Homme miliknya. Aku merindukan semuanya, bahkan merindukan segala keheningan yang kami ciptakan meski kami duduk berdampingan tanpa bicara apa-apa.

Hanya lagu berjudul Radio milik Lana Del Rey-lah yang menjadi penawar keheningan di dalam mobil saat itu. Lagu yang dinyanyikan Lana Del Rey terasa begitu hangat pada musim dingin waktu itu. Aku terus menoleh lurus ke depan, enggan membuka pembicaraan, dan Keiji pun melakukan hal yang sama.

My Cerpens; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now