Malaikat Tak Bersayap

486 25 0
                                    

PAGI itu, semuanya sangat kacau. Aku masih ingat persis betapa dinginnya udara pagi itu dan betapa gelapnya pagi itu. Pagi itu, langit sangat sendu. Permukaan tanah, pepohonan, dan atap rumah pun basah. Hujan mengguyur kota itu sepanjang malam dan menciptakan nuansa yang sendu pada pagi harinya.

Aku ingat persis, betapa langit takkan bisa menyaingi gelapnya hatiku, pagi itu. Aku tak tidur semalaman. Aku hanya berada di atas tempat tidurku, terjebak dalam pikiran yang kalut, dan menangis sampai arloji di kamarku menunjukkan pukul enam pagi. Mataku sudah bengkak dan kepalaku sudah sakit, tapi isi kepalaku tak kian puas untuk membuat hatiku tersiksa.

Namaku Wisnu. Pada waktu itu, aku masih berusia 18 tahun. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Aku bersyukur bisa hidup di keluarga yang sangat harmonis. Ayah dan ibuku adalah orang baik yang sangat menyayangi aku dan adikku yang bernama Ari. Kehidupan kami dapat dibilang sangat beruntung karena memiliki dua orang tua yang selalu melimpahkan kasih sayangnya kepada kami berdua.

Adikku, Ari, masih berusia enam tahun, waktu itu. Dia anak yang lucu, baik, dan mudah sekali untuk tertawa.

Alasan dari kalutnya pikiranku dan kacaunya diriku pada saat itu adalah ketika otakku selalu melemparkanku ke sebuah memori pada suatu sore, satu tahun yang lalu. Sore itu, Ari duduk di sebelah kursi kemudi dengan sabuk pengaman yang dikenakannya. Aku masih ingat, betapa girangnya dia karena kami akan membeli makanan kesukaannya, sore itu.

Roda itu berputar, begitupun dengan kebahagiaan yang kupunya. Semua kebahagiaan itu hancur dengan satu balikan telapak tangan ketika sebuah kecelakaan mobil merenggut nyawa adikku. Kami berdua kecelakaan sore itu. Mobilku bahkan remuk habis di bagian kiri dan kami berdua harus dilarikan ke rumah sakit.

Sayang sekali, keberuntungan lagi-lagi berpihak padaku. Aku hanya luka di beberapa bagian tubuhku, sedangkan Ari tak bisa diselamatkan hari itu. Aku bahkan tak sanggup melihatnya ketika keluargaku memandikannya, mengafaninya, dan menguburkannya. Aku benar-benar hancur atas garis takdir yang harus kuterima.

Aku benar-benar terpukul. Ini semua salahku. Kedua orang tuaku berkali-kali menenangkanku, bahkan membujukku untuk memeriksakan kesehatan mentalku agar aku bisa kembali ceria seperti dulu lagi. Namun, tidak. Kepalaku terus memutar kaset yang sama dan aku pun selalu terlempar ke sebuah rasa sesal yang menghancurkan hati dan pikiranku.

Senyumannya, tawanya, suaranya, ketika dia berbicara padaku dan tak bisa mengatakan huruf R dengan benar, ketika wajahnya selalu dipenuhi bedak tiap selesai mandi sore, dan ketika dia selalu membangunkanku tiap pagi. Semuanya benar-benar menyakitkan bagiku. Semua kenangan indah seketika menjelma menjadi mimpi buruk yang menghantuiku bahkan ketika aku tak tidur sama sekali. Semuanya begitu menyakitkan.

Rasa bersalah itu selalu menyiksaku. Aku berada dalam perasaan itu selama setahun lebih. Kehidupanku, pendidikanku, semuanya jadi keteteran. Aku bahkan jatuh sakit beberapa kali meskipun terkadang, aku berhasil menipu kedua orang tuaku dan bilang bahwa aku baik-baik saja, meskipun aku tak tah apakah mereka mempercayaiku atau tidak.

Puncaknya adalah pada malam itu. Hujan deras yang menghujam permukaan kotaku sepanjang malam itu membuatku semakin tersiksa karena suasana itu membawaku lagi ke sebuah kenangan gelap dimana aku dan Ari kecelakaan.

Pada sore dimana kecelakaan itu terjadi pun hujan turun sangat deras. Aku menangis semalaman, menyalahkan diriku sendiri. Meskipun aku selalu begini, tapi malam itu berbeda. Aku merasa aku sudah tak sanggup. Padahal, seharusnya, daripada Ari, lebih baik aku saja yang mati. Tak ada gunanya aku hidup jika aku harus terus-terusan dihantui oleh rasa bersalah seperti ini.

Pada pagi harinya, ketika hujan sudah berhenti dan langit berubah menjadi biru kelabu, aku pun pergi dari rumah dan izin kepada kedua orang tuaku untuk membeli sarapan. Aku dapat melihat wajah ibuku yang sekilas tampak senang karena setidaknya, dia bisa melihat kebiasaanku yang dulu lagi seperti sebelum Ari meninggal, meskipun pagi itu aku meminta izin kepadanya dengan mata sembab.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang