Jilid 52

2K 53 0
                                    

Sedikit menggeleng Kun-gi berkata: "Silakan Coa-heng minum sendiri, terus terang Cayhe tidak berjodoh dengan arak,"

Coa Liang angkat buli2 terus tuang arak kemulutnya, katanya tertawa sambil menyeka mulut: "Selama hidup tiada hobi lain kecuali minum arak, nasi boleh tidak makan, asal sehari penuh aku minum arak dan semangatku tetap menyala." Tanpa menunggu Ling Kun-gi bersuara dia menyambung pula: "saking demen minum arak sehingga aku memperoleh julukan Sam-gan-sin ini."

"O, jadi julukan Coa-heng ada sangkut-pautnya dengan arak?" tanya Kun-gi.

"Memangnya, waktu itu aku masih berusia dua puluhan, sejak muda aku memang sudah gemar minum, bagi kami orang2 di daerah perbatasan yang selalu hidup di tanah dingin, semua orang suka minum arak, karena minum arak bisa menghangatkan badan, tapi peraturan perguruanku amat ketat dan keras, pada suatu pagi baru saja bangun tidur, secara diam2 aku mencuri sepoci, tak tahunya lantaran sepoci arak itulah aku tertimpa malang . . . . ." dia tenggak lagi beberapa teguk lalu meneruskan: "hari itu kebetulan harus latihan main golok, waktu aku melakukan gerak tipu menyingkap rumput mencari ular, badan bagian atas harus terbungkuk ke depan, tak terduga karena minum sepoci arak tadi, kontan aku tersungkur ke depan, jidatku tepat tertusuk ujung golokku sendiri sehingga meningalkan codet di tengah alis ini. Sejak peristiwa itu, begitu aku minum arak mukaku tidak pernah merah, tapi codet inilah yang merah dulu, maka kawan2 Kangouw lantas memberi julukan Sam-gan-sin padaku, sementara orang ada yang bilang, kalau nafsuku berkobar, codet inipun bisa berubah merah, tapi apa betul aku sendiri tidak tahu."

"Lantaran peristiwa itu maka Coa-heng tidak menggunakan golok lagi?"

"Betul, sejak kejadian itu, lenyaplah seleraku untuk meyakinkan ilmu golok,"

"Kalau aku yang mengalami peristiwa itu akan menjadi kebalikannya, selanjutnya aku pasti tidak minum arak lagi."

Sam-gin-sin ter-gelak2, katanya: "Maka itu Congcoh selamanya tidak akan pandai minum."

Waktu Kun-gi kembali ke kamarnya, waktu sudah menjelang ketongan kedua, malam gelap sunyi senyap, tempat dimana kapal berlabuh adalah daerah belukar yang jarang diinjak manusia, kecuali ombak mendampar pantai, tiada suara lainnya yang terdengar.

Baru saja Kun-gi merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mencopot baju luarnya, tiba2 didengarnya beberapa kali suara bentakan dari sebelah atas, suaranya ringan terbawa angin lalu sehingga kedengaran amat jauh, tapi sekali dengar dapatlah dibedakan bahwa itulah suara bentakan seorang perempuan.

Diam2 Kun-gi terkesiap, pikirnya: "Memangnya terjadi apa2 di tingkat ketiga?"

Serta merta dia berdiri, tanpa banyak pikir dia tarik pintu terus melesat keluar. Malam sunyi, bentakan lirih itu dapat didengar semua orang, maka be-ramai2 bermunculan dari kamar masing2.

Menyapu pandang sekelilingnya, Kun-gi lantas berseru: "Apa yang terjadi?"

Thio Lam-jiang yang berada tak jauh di sebelah sana segera menjura, sahutnya: "Belum diketahui."

Ling Kun-gi cepat berpesan: "Lekas periksa kesegenap pelosok."

Tiba2 dilihatnya kain gordyn tersingkap, Pek-hoa-pangcu Bok-tan bersama Hu-pangcu So-yok diiringi Congkoan Giok-lan melangkah tiba, dibelakang mereka mengikut pula lima gadis bersenjata pedang, semuanya siap tempur.

Ling Kun-gi tertegun. Tengah malam buta Pangcu sendiri memerlukan turun, terang ditingkat ketiga memang telah terjadi sesuatu. Lekas dia maju menyambut, katanya sambil menjura: "Hamba menyampaikan hormat pada Pangcu."

Coh-yu hou-hoat dan para Hou-hoat juga sama memberi hormat.

Pek-hoa-pangcu hanya mengangguk sebagai balas hormat, sorot matanya yang biasa kalem dan bijak kini kelihatan penuh tanda tanya, heran dan serba curiga, sekilas dia pandang muka Kun-gi, suaranya tetap merdu halus: "Cong-su-cia tidak usah banyak adat."

Pendekar Kidal (Cin Cu Ling) - Tong Hong GiokWhere stories live. Discover now