Jilid 51

2.1K 55 0
                                    

Cin Tek-khong dan Thio Lam-jiang mengia-kan bersama, mereka ikut Leng Tio-cong naik keatas.

Kamar tidur Ling Kun-gi terletak di sebelah kiri ruang makan, kecuali dipan, di pinggir jendela masih ada sebuah meja kecil dan dua buah kursi. Pajangan amat sederhana, tapi di atas kapal ke-adaan ini sudah cukup bagus untuk tempat tinggal. Waktu Kun-gi kembali ke kamarnya, sepoci teh kental sudah tersedia di mejanya, dia tuang secangir teh lalu duduk di kursi yang dekat jendela, didengarnya seorang mengetuk pintu pelahan.

"Siapa?" tanya Kun-gi.

Orang di luar menjawab: "Congcoh, hamba Kongsun Siang."

"Silakan masuk Kongsun-heng," seru Kun-gi.

Kongsum Siang dorong pintu melangkah masuk, katanya menjura: "Hamba tidak mengganggu Congcoh bukan."

Kun-gi taruh cangkir tehnya di atas meja, katanya berdiri: "Silahkan duduk Kongsun-heng, marilah minum secangkir," dia ambil cangkir lain hendak menuangkan air teh.

Buru2 Kongsun Siang maju sambil berkata gugup: "Biarlah hamba ambil sendiri."

"Jangan sungkan Konsun-heng, berada di kamarku ini, aku jadi tuan rumah," Kun-gi tuang secangkir air teh terus ditaruh di meja.

"Terima kasih Congcoh," Ucap Kongsun Siang.

"Usia kita sebaya, kenapa tidak mebahasakan saudara saja, dipanggil congcoh rasanya risi," kata Kun-gi berkelakar.

Bersinar biji mata Kongsun Siang, katanya: "Pertama kali hamba berhadapan dengan Congcoh lantas timbul perasaan cocok, dalam pertandingan tempo hari sungguh membuat hamba kagum dan tunduk lahir batin. Sayang jabatan membatasi kita, kalau tidak hamba ingin benar angkat persaudaraan."

Kun-gi tertawa, katanya: "Ini cocok dengan pikiranku, memang sudah kulihat Kongsun-heng punya pambek luar biasa, selanjutnya bolehlah kita saling membahasakan saudara saja?"

Haru dan terima kasih Kongsun-siang, katanya: "Maksud baik Congcoh sungguh tak terhingga terima kasih hamba, tapi ada aturan Pang kita yang membatasi diri kita, betapa pun hamba tidak berani melanggarnya."

"Pangcu, Hu-pangcu dan Congkoan serta dua belas Taycia bukankah juga saling membahasakan saudara, mereka toh tidak melanggar aturan Pang."

"Betapapun hamba tidak berani gegabah."

"Kalau Kongsun-heng kukuh pendapat, biarlah di kamarku sekarang kita tidak perlu sungkan dan kikuk. Mari silakan duduk Kongsun-heng, kita mengobrol."

"Ling-heng sudi merendahkan derajat bersahabat dengan hamba, baiklah aku menurut perintah saja," demikian ucap Kongsun Siang, lalu dia duduk di kursi di depan Kun-gi, katanya: "Guruku berwatak jujur dan setia, walau orang2 Kangouw memberi julukan Sia-long (serigala sesat) kepada beliau, yang betul beliau lurus dan bijaksana, cuma jarang bergaul, selama hidup tak pernah tunduk kepada siapapan, hanya terhadap guru Ling-heng seorang beliau tunduk dan kagum setinggi langit, pernah beliau bilang, hanya gurumu seorang di wilayah Tionggoan yang dipuja dan dikaguminya."

"Guruku juga pernah menyinggung guru Kong-sun-heng, ilmu pedangnya menyendiri merupakan aliran yang tiada bandingan, memang tidak malu beliau sebagai cikal bakal suatu aliran."

"Sudah tiga tahun aku masuk ke daerah sini, tidak sedikit kaum persilatan yang kukenal, sampai akhirnya mendarma baktikan diri pada Pek-hoa-pang, kurasa kaum Bu-lim di Tionggoan hanyalah bernama kosong belaka, bahwa guruku hanya mengagumi gurumu saja, maka akupun hanya kagum dan simpatik terhadap Ling-heng seorang."

"Mungkin inilah yang dinamakan jodoh," ujar Kun-gi.

Habis minum, mendadak ia bertanya: "Sejak kapan Kongsun-heng bekerja di Pek-hoa-pang?"

Pendekar Kidal (Cin Cu Ling) - Tong Hong GiokWhere stories live. Discover now