Jilid 42

2K 59 1
                                    

Tidak nampak secercah senyum pada wajah keriput Ciok-lolo atau nenek Ciok: "Tidak usah sungkan, lekas kalian naik ke atas."

So-yok aturkan terima kasih dan ajak Kun-gi masuk. Kini mereka berada di sebuah kamar batu berbentuk lonjong persegi, di depan ada undakan batu, di sebelah kiri ada sebuah pintu, agaknya di sanalah kamar tidur Ciok-lolo.

Dari atas dinding So-yok menurunkan sebuah lampion, setelah menyulutnya dia berkata tertawa: "Ling-kongcu, ikutilah aku." Dia mendahului naik ke undakan batu. Undakan batu cukup lebar, ia menenteng lampion, maka tidak perlu bergandeng tangan lagi.

Undakan batu ini melingkar naik ke atas, langkah mereka dipercepat, setiba di ujung undakan kembali mereka dihadang dinding batu.

Diam2 Kun-gi menghitung sedikitnya dia sudah naik lima-enam ratus undakan.

Di depan dinding So-yok menekan dua kali, terdengar suara berkeriat-keriut, muncul sebuah pintu di dinding itu, pandangan mereka menjadi silau oleh benderangnya sinar matahari.

So-yok tiup padam lampion dan menggantung di atas dinding, lalu katanya: "Silakan Toako."

Kun-gi tidak rikuh2 lagi, segera dia melangkah keluar, terasa angin menghembus semilir, semangat seketika terbangkit. So-yok mengintil dibelakangnya, setelah berada diluar, dia menekan dinding dua kali pula, pintu batu pelan2 menutup sendiri.

Di luar pintu batu ini letaknya di sebuah paseban dilamping gunung, paseban ini besar dan megah, enam sakanya berwarna merah cukup sepelukan satu orang. Bunga bertaburan disegala pelosok memenuhi lereng yang terbentang luas, anehnya bunga yang tak diketahui namanya ini beraneka macam jenis dan warnanya, semuanya, mekar semerbak. Tepat di tengah paseban ini dipasang sebuah panggung batu kecil bulat halus mengkilap menyerupai meja bundar dikelilingi kursi bundar yang berbentuk menyerupai gendang, semuanya terbuat dari batu gunung..

Setelah pintu merapat, tampak di pagan batu yang besar itu, setinggi setombak berukir empat. huruf yang berbunyi "Pek-hoa-thing-kip".

"Tempat apakah ini?" seru Kun-gi heran.

"Inilah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga)," sahut So-yok. "Hayolah, setelah membelok ke lamping gunung sana, kau dilarang buka suara lagi."

Lalu dia mendahului jalan menyusuri jalanan yang dilandasi pagar batu.

Sambil mengikuti langkah orang Kun-gi bertanya: "Kenapa?"

"Thay-siang tidak senang kalau ada orang suka bertanya, apalagi beliau sudah berhasil meyakinkan Thian-ni-thong, setelah membelok pengkolan gunung itu, semua pembicaraan kita akan terdengar olehnya."

Kun-gi manggut2. Langkah mereka dipercepat, setelah keluar dari pengkolan gunung, seluas mata memandang lembah ini bagai bertaburkan bunga, beraneka warnanya, diantara bayang2 pepohonan sana ada bangunan rumah bersusur, dengan berbagai bentuk artistik, jauh di atas sana, seperti ada jembatan gantung yang menghubungkan satu rumah berloteng dengan bangunan megah yang lain. Sungguh pemandangan permai yang menyegarkan semangat dan perasaan.

Tak tertahan Kun-gi menarik napas panjang, katanya memuji: "Bile Cayhe tidak tahu tempat ini adalah tempat semayam Thay-siang, melihat keadaan lembah yang permai dan teratur rapi ini tentu membayangkan bahwa pemiliknya pasti seorang aneh dan memiliki kepandaian yang jauh melebihi orang."

Mendengar Kun-gi buka suara. So-yok tampak kaget, mau mencegah tapi tak sempat lagi. Syukurlah yang didengar adalah kata2 pujian, barulah lega hatinya.

Tapi pada kejap lain ia mendengar seseorang mendengus sajup2 dari kejauhan.

Suara dengus ini kedengarannya sangat jauh, tapi seperti juga sangat dekat sehingga sukar orang meraba dari mana datangnya.

Pendekar Kidal (Cin Cu Ling) - Tong Hong GiokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang