Jilid 6

4K 73 2
                                    

Hian-ih- lo-sat angsurkan kedua tangannya, kesepuluh jari2nya yang putih halus itu pelan2 ter-angkat, katanya tertawa riang. " Lihatlah kuku jariku!"

Kuku jarinya yang terpelihara baik itu ternyata masing2 dicat warna berbeda, ada merah, putih, hijau, biru, ungu dan lain2, siapapun yang menyasikannya pasti ketarik.

"Kau pandai main racun?" tanya Kun-gi ngeri.

"Syukurlah kalau kau tahu," ujar Hian-ih-lo-sat, "racun yang ada dikuku jariku ini cukup menggores luka kulit daging orang, kena pagi tidak lewat siang, kena siang tidak lewat petang," Tapi Kun-gi hanya mendengus: "Hm, memang ganas, tak heran kau berjuluk Hian-ih-lo-sat."

"Aku telah melukai punggung tanganmu, nanti pasti kuberi obat penawar, namun "

"Tidak perlu, aku tidak takut segala macam racun," tukas Kun-gi. "Kalau begitu boleh silakan pergi."

"Baik, cayhe mohon diri," dengan beberapa lompatan dia sudah berlari kencang menyusup ke-hutan.

Sekaligus dia menuju kejalan besar, baru saja dia ayun langkahnya, tiba2 di belakangnya seorang berteriak. "Anak muda, tunggu sebentar!"

Waktu Kun-gi berpaling, tidak jauh di belakangnya berlari sesosok bayangan tinggi besar, langkahnya enteng, seperti lambat gerakannya, namun kecepatan luncuran tubuhnya sungguh amat mengagumkan, se-olah2 kedua tapak kaki tidak menyentuh tanah.

Perawakan orang ini tinggi besar, wajahnya legam seperti besi, alisnya pendek gombyok. matanya sipit, hidung singa mulut lebar, jubah warna kuning tua sudah luntur dan sepanjang lutut, kaki telanjang, tampang dan dandanannya sangat aneh, nyentrik. kata orang jaman kini.

"Tuan memanggilku?" tanya Kun-gi dengan angkuh.

Bersinar tajam mata si gede menatap Kun-gi, katanya sambil manggut2: "Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi?" .

"Tuan siapa, ada perlu apa memanggil cayhe?" tanya Kun-gi.

Terkekeh si gede, katanya dengan suara rendah: "Anak muda, besar nyalimu, menurut kebiasaan Lohu, kau hanya boleh menjawab tapi tidak boleh bertanya, tahu tidak?"

Melihat sikap orang yang sok berlagak tua, Ling Kun-gi menjadi geli, sikapnya semakin angkuh, katanya: "Itukan kebiasaanmu sendiri, tuan tahu peraturanku?"

Terbeliak mata si gede, tanyanya. "Kau juga punya peraturan segala?"

"Betul, menurut aturanku, peduli siapapun dia harus memperkenalkan namanya lebih dulu, setelah kupertimbangkan apakah dia setimpal bicara dengan aku barulah aku mau meladaninya," sudah tentu omongannya ini sengaja hendak memancing kemarahan orang.

Tak terduga setelah mendengar uraian Kun-gi, bukan saja tidak marah, si gede malah ter-bahak2. Gelak tawanya seperti suara gembreng pecah, begitu keras memekak telinga, semakin tawa suaranya semakin tinggi dan bergema laksana guntur menggelegar di lembah pegunungan.

Sedikit berobah rona muka Kun-gi, dia berdiri tegak tidak bergeming, namun hatinya kaget dan membatin: "Lwekang orang ini amat tinggi."

Lenyap gelak tawanya, mata sipit si gede melotot kereng dingin, katanya: "Kita sama mengukuhi peraturan sendiri, nah mari kita tentukan peraturan siapa lebih berguna ?"

Pelan2 lengan kanannya terangkat, dari lengan bajunya yang longgar itu terjulur keluar sebuah tangan aneh berwarna kuning legam, kelima jarinya menekuk laksana cakar elang, setiap jari2 tumbuh kuku sepanjang satu dim, runcing dan tajam laksana pisau, kiranya itulah sebuah tangan tembaga.

Ling Kun-gi pernah melihat tangan besi Hoa Thi-jiu, bentuknya menyerupai cakar. gunanya seperti alat senjata tajam umumnya, kelima jari2nya sudah tentu tidak bisa bergerak seperti jari2 tangan manusia umumnya. Tapi tangan tembaga yang dilihatnya sekarang ternyata tak berbeda dengan tangan manusia umumnya, kelima jarinya dapat terkembang dan mencengkeram dengan leluasa.

Pendekar Kidal (Cin Cu Ling) - Tong Hong GiokWhere stories live. Discover now