𝐒𝐄𝐌𝐀𝐊𝐈𝐍 𝐁𝐔𝐑𝐔𝐊

529 36 2
                                    

Di pagi buta, sebelum semua aktivitas dimulai, Khansa memandang lekat putranya yang tengah menyantap sarapan. Ada yang berbeda dengan penampilannya hari ini.

"Tumben pakai hoodie?" Komentar Khansa pada pakaian tebal berwarna hitam itu.

Alzam ikut menatap anaknya, Samudra mendongak, menghentikan sebentar kegiatan makannya. "Nggak ada. Lagi pengin aja," sahutnya singkat. Padahal sejatinya ada maksud kenapa pakaian hangat itu digunakan.

"Emang dibolehin sama sekolah?" Khansa belum berhenti.

"Nggak boleh. Nanti sampai sekolah Arif lepas." Itu dusta nomor dua. Samudra selesai dengan sarapannya, langsung meraih segelas air beserta obat-obatan.

"Abang kok minum obat terus? Emang sakitnya nggak sembuh-sembuh?" Aqila yang duduk di sampingnya langsung berkomentar. Mata kecilnya tak berpindah, terus menatap sang abang yang masih menyelesaikan tegukannya.

Khansa mengambil alih. "Belum sembuh. Do'ain aja abang cepat pulih, ya, Nak. Biar nggak minum obat lagi." Wanita itu tersenyum, Aqila pun mengangguk mafhum.

"Arif berangkat, ya?" Anak itu mengitari meja makan, menyalami orang tuanya satu persatu. Perihal amarahnya dengan Alzam, mungkin sudah mereda, namun kedua insan itu belum banyak mengobrol.

Sebelum ke sekolah, Samudra akan menjemput Adhisti lebih dulu. Selama ia masih berhubungan dengan Zevan pun, mereka sering berangkat bersama. Apalagi sekarang sudah tidak punya ikatan apa-apa, maka intensitas kebersamaannya mungkin akan meningkat.

Mereka sampai ke sekolah tepat waktu, pergi ke kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.

"Samudra, kenapa pakai jaket di kelas? Lepaskan!" Di tengah pelajaran yang baru lima belas menit dimulai, guru di depan sana mulai menyadari ketidakseragaman pakaian di dalam kelasnya.

Arsalan menatap ke samping, sejak tadi ingin menanyakan ini juga, kenapa Samudra memakai hoodie?

Lelaki itu tidak menjawab di tempat, ia bangkit dan menghampiri sang guru ke mejanya. Dengan berbisik—agar tidak di dengar oleh siapa pun—Samudra berkata, "Saya lagi nggak enak badan, Bu. Mohon pengertiannya." Guru itu memperhatikannya, setelah menyadari bahwa wajah Samudra memang sedikit pucat, ia pun mengangguk memberi izin. Pembelajaran dimulai lagi.

"Ngomong apa lo sampai diizinin?" Tanya Arsalan sambil meliriknya. Heran karena ia bisa lolos dari hukuman—atau minimal perintah untuk melepas pakaian itu.

"Suka-suka saya lah, Ibu mau apa?" Jawab Samudra yang jelas bercanda. Arsalan mendelik, "Lo kira gue percaya?" Setelahnya, mereka terdiam lagi. Menyimak pelajaran hingga jam istirahat tiba.

Reza meregangkan otot-ototnya. Merileksasi tubuhnya yang sangat tersiksa karena duduk rapi selama berjam-jam. Bersamaan dengan para murid yang bangkit dan hendak menuju kantin, Reza juga berjalan ke meja belakangnya.

"Gas," ajakannya serupa; ayo ke kantin.

Arsalan mengangguk, namun aneh, Samudra malah sebaliknya. Ia menjatuhkan kepalanya ke permukaan meja dengan sebelah lengan yang dijadikan bantalan.

"Kenapa lo?" Arsalan semakin merasa ada yang tidak beres.

"Nggak ada. Malas aja. Sana, ah! Gue mau tidur," ketusnya.

"Nggak mau nitip juga?" Reza memastikan. Tidak ke kantin bukan berarti harus menahan lapar, kan? Namun, Samudra kembali menggeleng. Ia dan Arsalan serempak bersitatap, tapi beberapa saat kemudian hanya mengedikkan bahu. Biarlah kalau memang tak mau, dua insan itu pun berlalu untuk mengisi perut.

Samudra benar-benar tertidur sampai jam istirahat usai. Ia bahkan tak menyadari ketika Reza dan Arsalan kembali, pun saat guru sudah memasuki ruangan.

"Heh!" Bukannya menggoyangkan bahu, Reza langsung menoyor kepala Samudra. Memintanya untuk bangun. Tapi, ada sesuatu yang terasa aneh hingga Reza mengernyit.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now