𝐒𝐄𝐆𝐄𝐍𝐀𝐏 𝐌𝐀𝐀𝐅

478 39 0
                                    

Berhubung Selasa lalu nggak update apa-apa. Jadi, malam ini langsung publish dua bab sekaligus. Semoga suka🤗

Happy reading🤍

•••

Sejak jam dua siang tadi, Khansa dan Samudra sudah balik ke rumah mereka. Dari saat itu pula, Khansa sudah mulai mempersiapkan diri untuk memberitahukan hasil ini kepada Samudra. Ada satu hal lagi yang Khansa syukuri dari anak itu, setelah tadi sempat mengulur waktu, sekarang malah bersikap biasa saja tanpa bertanya duluan tentang hasil pemeriksaannya. Sedikit aneh memang, tapi Khansa mencoba untuk tidak berpikir macam-macam.

Sore menjelang magrib, Khansa mengetuk pintu kamar Samudra. Membawa sebuah amplop putih di tangannya.

"Nggak dikunci." Suara anak itu terdengar dari dalam. Tanpa bertanya siapa yang datang, yang jelas itu adalah kalimat tersirat untuk mengizinkan tamu ini masuk.

Khansa membuka palang kayu itu. Menemukan Samudra yang ternyata baru selesai mandi. Anak itu sedang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Ada apa, Bun?" Samudra mendekatinya. Mengalungkan handuk kecil tadi di lehernya.

"Heem ... Bunda mau ngasih tau ini," lirih Khansa sambil menyodorkan amplop tersebut. Samudra meraihnya, kemudian mendudukkan dirinya di ujung kasur. Ia juga meminta Khansa untuk duduk di sampingnya.

Khansa memperhatikan putranya yang tengah membaca surat itu dengan seksama. Beberapa kali kepalanya manggut-manggut serta ber-oh ria tanda paham akan apa yang dituliskan. Namun, ada sedikit kejanggalan di sini. Ekspresi Samudra ...

"Kamu baca semuanya, kan, Rif?" Khansa bertanya heran.

Samudra menolehkan pandangannya ke samping. Menatap penuh pada bundanya, kemudian mengangguk.

"Itu ... Hasil pemeriksaan kamu. Diagnosanya ada di sana," tunjuk Khansa pada bagian tengah surat tersebut.

"Iya, kanker, kan?" Samudra meyakinkan dengan ekspresi yang sama herannya. "Udah Arif baca kok," sambungnya sambil kembali melipat kertas.

"H-hah?" Khansa tercengang begitu saja. Pandangannya langsung dialihkan ke samping, tidak lagi melihat Samudra. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa dia bisa biasa saja?

"Rif ..." Khansa menatap anaknya lagi.

"Hem?"

"Kamu tau kanker, kan?" Khansa benar-benar tak percaya pada reaksi ini. Anaknya itu sudah mati rasa, kah?

"Tau. Sel abnormal, kan? Kalau kanker paru, berarti tumbuh di paru," jelas Samudra yang benar adanya.

"Kamu tau itu penyakit ganas?" Rasanya Khansa ingin berteriak bahwa ini bukan sekedar flu yang beberapa hari kemudian bisa sembuh.

"Tau. Kanker paru itu salah satu penyakit yang mematikan. Terus, kenapa?"

Sial, Khansa mati kata dibuatnya. Bayangan kemarahan Samudra yang sejak tadi ia pikirkan ternyata tidak ada apa-apanya. Kenyataan bahwa anak itu bersikap biasa saja ternyata lebih membuatnya stress berkali-kali lipat.

"Nggak pa-pa. Ya udah simpan surat itu baik-baik, bunda keluar dulu," ujarnya kemudian langsung meninggalkan kamar Samudra dengan begitu cepat. Dengan keheranan yang memuncak, ia mengambil ponsel dan menghubungi suaminya.

"Mas Alzam!! Aku udah sedemikian rupanya menyiapkan diri. Kok respon dia malah di luar nalar, sih? Bayangin, deh. Dia cuma bilang, OH?!!"

"Kan udah aku bilangin, Arif Samudra itu penuh ketenangan," jawab Alzam santai dari suatu tempat yang kedengarannya ramai. Menanggapi keheranan Khansa yang sudah di ambang batas.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang