𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐒𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈

399 36 0
                                    

Malam pekat, belum terlalu larut, masih sekitar pukul sepuluh. Alzam berada di dekat lemari, sedang mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman untuk dibawa tidur. Di kasur sana, Khansa terduduk tenang.

Anak mereka memang masih di ICU, namun Aliza tak menyarankan mereka menghabiskan malam di sana. ICU bukanlah tempat yang secara bebas untuk dimasuki, jadi tak ada ruang bagi pendamping pasien untuk menginap. Jika ingin bersikeras, paling bisa tidur di kursi ruang tunggu. Bukankah itu tidak nyaman?

Tetaplah sehat jika ingin terus menjaganya, begitu pesan Aliza. Jangan menyakiti diri hanya karena menjaga orang sakit. Ada Aliza, yang memang tugasnya di rumah sakit itu. Biarlah ia yang nantinya sesekali mengunjungi ICU, mengecek sekiranya terjadi sesuatu. Selebihnya, biarlah Samudra juga tenang dalam tidurnya. Banyak dokter yang memantaunya di sana. Jika ada hal buruk yang terjadi, keluarga pasti dikabari. Sebab, menunggu di sana, semalam suntuk pun, tak akan mengubah apa-apa.

Alzam naik ke kasur, duduk di samping istrinya.

"Sa, aku mau ngomong sesuatu," ucapnya membuka topik di penghujung malam itu.

"Ngomong aja. Nggak ada undang-undang yang melarang kamu untuk berkata-kata, kan?" Khansa menatapnya. Alzam tak bisa menggambarkan nada suaranya. Akankah itu sarkas? Marah? Atau kesal karena Alzam memulainya dengan basa-basi. Sekian lama menghadapi kondisi putranya yang tak kunjung membaik, agaknya membuat Khansa jadi sedikit lebih sensitif.

Alzam tersenyum getir. Senyum yang tipis sekali. Posisi duduknya dirubah, kini menghadap penuh ke arah Khansa. Semakin dekat. Jari wanita itu digapainya.

"Bagaimana kondisi Arif?"

Khansa menghela jengah mendengar pertanyaan suaminya. "Kenapa menanyakan hal yang kamu sendiri tau itu?" Dilihat dari sudut manapun, Khansa memang kesal.

"Aku pengin dengar langsung dari mulutmu." Alzam, berlaku setenang air. Setenang embusan angin di malam hari.

Khansa menatap ke atas, mungkin sedang menghalau air mata yang mendadak datang ketika semua hal tentang anaknya disinggung.

"Buruk, tak ada perkembangan." Singkat, namun menjelaskan semuanya.

Alzam mengangguk. "Mau kah kamu ikut berpikir realistis? Untuk kali ini, mari tinggikan tahta logika dibanding perasaan."

"Maksud kamu?" Khansa terheran-heran.

Alzam menarik nafas panjang. Meski sakit, sudah saatnya hal ini ia diskusikan pada sang istri.

"Dua minggu berlalu, Arif koma, dan kondisinya stuck disitu-situ saja. Peningkatan tidak ada, penurunan dimana-mana. Gagal jantung terjadi berkali-kali. Kejadian yang tidak wajar. Kejadian yang membuat dokter saja bertanya-tanya. Kenapa itu terus terjadi?"

"Khansa …" Alzam memanggilnya dengan hati-hati. "Akankah ada sesuatu yang belum Arif selesaikan? Adakah janji yang mungkin belum sempat ia tepati? Namun, si penerima janji tidak merelakan itu. Adakah maaf yang belum tuntas?"

"Maksud kamu apa, sih?" Khansa benar-benar tak bisa memahami alur pikiran suaminya. "Kamu menganggap keberhasilan Arif yang berkali-kali lolos dari gagal jantung itu, semata-mata hanya karena ada yang menahan kepergiannya?"

Tanpa ragu, walau dicerca amarah dan linangan air mata di wajah istrinya, Alzam mengangguk yakin. "Dokter saja sempat menyinggung hal itu."

Sebuah memori terputar di kepalanya. Suatu kejadian yang tak melibatkan Khansa di dalamnya, saat-saat dimana ia berbincang berdua dengan Adam.

"Saya tidak bermaksud, mematahkan harapan keluarga akan keselamatannya. Tapi tentang ini, harus saya ceritakan. Setiap kali mengalami gagal jantung, ia pasti kembali. Namun, tak pernah ada peningkatan kondisi setelah itu. Selalu saja, menurun lagi. Kemudian, seperti siklus, hal itu akan terjadi kembali. Berulang-ulang terus seperti itu."

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now