𝐉𝐔𝐌'𝐀𝐓, 10.00 𝐀𝐌

492 42 11
                                    

Siapkan hati sebelum membaca part ini, ya! (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)

,•••

Jum'at, pukul sepuluh WIB, menjadi waktu terakhir bagi pelaksanaan ujian semester ganjil di lingkungan Gardapati. Usai akan semua mata pelajarannya, para siswa pun berbondong-bondong meninggalkan gedung sekolah.

Adhisti dan Samudra termasuk yang melakukannya. Mereka memutuskan pulang bersama dengan dijemput oleh Pak Harun. Atas paksaan Samudra, Adhisti juga akan menemani Samudra ke rumah sakit terlebih dahulu, mengambil surat rujukan terbarunya sekaligus berpamitan pada dokter Adam. Besok siang, Samudra akan berangkat ke Singapura untuk operasinya.

Libur memang belum terpandang mata. Setelah ini masih ada masa remedial dan ekstrakurikuler seperti biasa. Namun, itu bukanlah masalah besar. Karena memiliki kepentingan yang lebih urgent, pihak sekolah membenarkannya untuk berangkat ke luar negeri tanpa menunggu pembagian rapot terlebih dahulu.

Mereka sudah dalam perjalanan menuju ke rumah sakit itu. Samudra duduk di depan, berdampingan dengan Pak Harun. Sedangkan Adhisti, sudah barang pasti ada di banjar kedua. Ia duduk tenang di belakang Pak Harun. Matanya memandang jauh ke luar jendela, melihat benda apa pun yang terlintas selama perjalanan mereka.

Samudra membuyarkan lamunannya, dengan meminjam ponsel milik gadis itu.

"Buat apa?" Adhisti keheranan, tapi tetap memberikan benda pipih itu ke tangan Samudra.

"Mau nge-chat Arsalan. Sampai sekarang nomor gue masih diblokir dia soalnya," jelasnya, menggambarkan kisah pahitnya bersama Arsalan sampai detik ini.

Adhisti menghela nafas jengah. "Lo mau ngehubungin dia? Mau ngemis maaf lagi? Udahlah, Sam. Nggak usah. Jangan buang-buang waktu dengan hal yang nggak penting. Kalau orang udah nggak mengharapkan kehadiran kita, biarin. Setidaknya lo udah berusaha minta maaf, kan? Sekali nggak dimaafin, nggak perlu dikejar lagi."

Di mata Adhisti, Arsalan sudah begitu buruknya karena sangat tega mengabaikan penyesalan Samudra hingga selama ini. Reza saja bisa menemukan kedamaiannya kembali, kenapa Arsalan tidak?

"Setidaknya gue mau berusaha sekali lagi, Dhis. Jika yang ini nggak berhasil, maka gue berjanji akan berhenti. Ini permintaan maaf gue yang terakhir, yang gue lakukan sendiri. Setelahnya, apabila harus diwakilkan, terserah nanti."

"Stop ngomong diwakilkan. Punya mulut sendiri, kan? Minta maaf sendiri!" Samudra tersenyum polos akan kegalakan sepupunya. Adhisti memang begitu emosi jika dipandang dari luar saja, padahal di dalam ia sedang berusaha keras menepis hawa tidak enak. Menormalkan perasaannya sendiri setiap kali Samudra berkata yang tidak-tidak. Menyiratkan seolah waktunya sudah tidak banyak dan secepat mungkin akan pergi jauh.

Samudra fokus melihat ke bawah, menatap ponsel dan mengetikkan deretan kata. Adhisti kembali menatap jalan, kini bukan lagi ke arah kanan, tapi sudah berganti sudut ke sebelah kiri.

Bukannya menikmati pemandangan, Adhisti malah terpaku pada sesuatu. Mobil mereka sedang berjalan lambat, sebab ada seseorang yang tengah menyebrang di depan sana. Karenanya, Adhisti bisa melihat sebuah lorong kecil di sisi jalan ini. Dari lorong itu keluar sebuah mobil, ia melaju cepat, bahkan bisa Adhisti katakan, sangat cepat dan tak terkendali.

"PAK HARUN, AWAS!" Adhisti berteriak spontan. Matanya melebar karena mobil itu seolah tak mengenal pedal rem.

Samudra ikut terkejut akan pekikan sepupunya. Ia yang sedang fokus langsung mendongakkan kepala. Samudra awalnya melihat ke depan, tapi tidak ada apa-apa. Berpindahlah pandangannya ke samping kiri. Naas, Samudra tak sempat menyaksikan apa-apa. Karena dalam hitungan sepersekian detik, satu kendaraan lain menghantam keras mobil mereka.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora